Surabayastory.com – Seberapa jauh integritas dan kepribadian mengisi jati diri manusia? Integritas adalah bagian penting dari kepribadian seseorang. Seseorang yang sifatnya baik tanpa memiliki integritas kemungkinan hanya bermanfaat bagi dirinya saja, belum bisa mendatangkan keuntungan bagi sesamanya.
Integritas harus dimiliki setiap orang yang masih menginginkan keadaan yang lebih baik bagi dirinya dan lingkungannya. Keadaan lebih baik bukan sekadar ditandai keberhasilan materi, rumah mewah, mobil terbaru, simpanan kekayaan yang bisa disimpan dalam safe deposit box, melainkan kebaikan yang lebih kekal sifatnya, tak bisa digeledah untuk disita, sehingga tak lekang oleh masa, bahkan kematian.
Penanaman integritas dimulai dari hal-hal kecil sejak dini. Nilai-nilai sederhana yang nampaknya sepele, tetap tidak bisa kita abaikan. Dengan landasan yang mantap dan penuh kelembutan, integritas yang terbangun tidak semata-mata bersifat keras dan kasar, namun bisa diterapkan dalam perilaku yang mengesankan.
Orang dengan integritas bisa punya ciri-ciri seperti kejujuran, bertanggung jawab, kedewasaan, kerja keras, dan anti korupsi. Dengan kualitas-kualitas semacam ini, maka seseorang menjadi bisa diandalkan dan dipercayai oleh sesamanya untuk membimbing mereka meraih cita-cita bersama. Namun demikian, tidak semua dari mereka yang memiliki kualitas-kualitas tersebut bisa tampil memimpin sesamanya.
Sebagian besar orang dengan nilai-nilai terpuji masih belum memiliki keberanian untuk mengambil risiko atas perjuangannya. Oleh karenanya perlu ditanamkan jiwa pemberani dan tak tergoyahkan di antara moralitas yang baik ini. Dengan demikian orang berintegritas pantang mundur menghadapi segala rintangan yang bisa dipastikan akan muncul bertubi-tubi menghalangi langkahnya.
Keberanian moral tanpa diimbangi kearifan tentu tak akan mencapai hasil maksimal. Orang yang bisa diandalkan tentu diharapkan berani sekaligus bijak. Terdengar begitu sempurna dan nyaris mengawang-awang dengan mengharapkan semua kebaikan dimiliki dalam satu sosok manusia. Apa boleh buat, sebagai makhluk dengan kemampuan berpikir paling tinggi, inilah yang bisa kita lakukan untuk menyempurnakan kehidupan agar bisa menjadi rahmat di bumi.
Jika kita melakukan penelitian terhadap para eksekutif yang mempunyai posisi penting, baik di perusahaan milik pemerintah maupun swasta, kita akan menemukan berbagai tipe individu yang berbeda –tinggi, pendek, gemuk, kurus, tampan, biasa, sedang, jelek, kuning langsat, gelap, botak, berambut lebat, berkaca mata, dan sebagainya. Masing-masing orang penting ini mempunyai satu kesamaan, yaitu kepribadian. Kepribadian seperti apakah yang dimiliki oleh setiap petinggi atau eksekutif sukses, namun jarang dipunyai orang awam? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena kepribadian tidak termasuk dalam kualitas khusus atau grup kualitas tertentu, melainkan merupakan perpaduan dari berbagai kualitas. Gabungan beragam kualitas yang membentuk suatu kepribadian yang diperlukan oleh seseorang ini bisa saja berbeda antara orang tertentu dengan yang lainnya, layaknya dua kutub yang berlawanan. Ada orang yang mungkin akan berteriak dan membentak untuk menyuruh orang lain menyelesaikan suatu pekerjaan atau menuntut ketaatan dan kedisiplinan dari orang tersebut.
Sedangkan yang lain mungkin lebih memilih bersikap tenang dan penuh pertimbangan, tetapi akibat yang ditimbulkan, dalam hal ini jumlah pekerjaan yang terselesaikan, tetap sama, tuntas dalam kualitas yang sama, serta mendapatkan ketaatan dan kesetiaan yang sama dari bawahannya. Dengan kata lain, mungkin ada orang yang berbadan tinggi dan selalu bersikap tegas mengenai suatu masalah, namun ada pula orang yang bertubuh kecil dan lemah lembut sekaligus memahami cara mengatur dan memimpin yang baik.
Oleh karena itu, kita tidak perlu memulai ajaran kepribadian dari akibat akhir yang ditimbulkan. Mari kita analisis beragam kepribadian, sekaligus mencari tahu kekuatan dan kualitas baik seperti apakah yang dimiliki oleh kepribadian tersebut, sehingga dari sini setahap demi setahap kita bisa kembali ke hal-hal yang menjadi penyebabnya.
Kita mungkin sudah tahu bahwa yang membedakan antara orang-orang yang memiliki kepribadian dengan orang awam yang tidak memiliki kualitas ini terdapat pada kesan pertama yang mereka perlihatkan. Kesan ini bisa teramati dari cara mereka berkomunikasi dan bertindak. Seseorang akan dihormati dari caranya bertutur kata. Dia juga bisa menciptakan kesan yang baik dari sikap dan gerakan tubuhnya, bagaimana cara dia duduk, cara dia berdiri, berjalan, melihat sekeliling, atau cara dia memandang ketika bertatapan dengan orang lain. Dalam kondisi apapun, mereka akan selalu memandang dengan tatapan yang tajam dan menusuk, sementara orang yang tidak memiliki kepribadian akan menunduk kan atau mengalihkan pandangan atau tatapannya.
Kelebihan atau kekurangan fisik yang biasanya dimiliki atau tidak dimiliki oleh seseorang yang berkepribadian bukan merupakan hal yang penting jika kita mengingat bahwa kepribadian mereka tidak dilihat dari penampilan fisik, melainkan reputasi. Mereka mampu menciptakan kesan yang baik tentang diri mereka bagi orang lain. Bukan karena menyukai ketampanan atau kecantikan seseorang sehingga ribuan khalayak dari berbagai tempat rela datang berbondong-bondong untuk mengelilingi mimbar tempat si pembicara mencoba menyentuh hati mereka. Melainkan karena kata-kata, kepercayaan diri, harapan, kepastian dan ketulusan hatinya yang membuat orang-orang hadir untuk mendapatkan sesuatu dari sosok yang populer dan mereka cintai ini.
Dalam prosesnya, hadirin merasa lebih hidup setiap mendengar kata-kata dan arahan sang pembicara, petunjuk nyata dan gambaran tentang masa depan yang dia sampaikan, orang-orang tidak mengindahkan apakah mereka sedang mendengarkan kata-kata dari orang yang bertubuh kecil atau besar, seseorang yang masih muda dan tampan, atau seorang yang lanjut usia dan jompo. Sama halnya apabila si pembicara adalah seorang lelaki atau perempuan, tak ada bedanya, selama dia mampu memikat para hadirin maka tak akan ada seorang pun yang mau repot-repot mendiskriminasi si pembicara dari jenis kelamin atau perbedaan lainnya.
Di sini kita juga akan membahas perbedaan antara popularitas dan kepribadian. Orang yang populer bisa jadi tidak memiliki kepribadian yang baik. Ada banyak bintang besar sepak bola dan olah raga kriket yang sangat ter kenal, dan tak seorang pun mempermasalahkan kepribadian mereka, sehingga mereka sendiri juga tidak merasa terbebani masalah ini. Singkatnya, mereka lebih mengutamakan popularitas ketimbang kepribadian, karena mereka merasa berat dan sulit untuk membentuk suatu kepribadian, toh mereka tetap bisa meraih kepopuleran dan mempunyai banyak penggemar dengan bersikap apa adanya.
Namun masih ada tokoh besar yang benar-benar mencintai penggemar dan khalayak ramai dalam batas tertentu. Mereka merasa patut menunjukkan rasa kasih dan syukur kepada jutaan penggemarnya. Ini menandakan orang yang berbakat tersebut punya kualitas pa da pikiran dan hatinya, sehingga orang-orang sudi menjadikan dia sebagai tumpuan, dan mendengarkan setiap kata-katanya. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa ketampanan, kemudaan, bakat, dan kepribadian, telah membentuk suatu perpaduan yang selaras, dan artis ini benar-benar memiliki kepribadian sejati.
Mengapa Kepribadian Harus Dibangun?
Harus diakui bahwa suatu kemajuan dalam bentuk apapun pasti akan mendatangkan kebahagiaan. Kelesuan dan stagnansi merupakan dua sayap keputus-asaan dan ke tidakpuasan.
Ketika merujuk pada kemajuan, kita ti dak hanya mengacu pada kemajuan dari sisi materi, misalnya menjadi kaya atau mengalami kemajuan karir, dan seba gai nya. Kita harus bisa melihat dari setiap sisi dan mempertimbangkan kepribadian dari orang yang mengalami peningkatan materi.
Peningkatan materi akan mengubah kepribadiannya, dan pada akhirnya mengubahnya menjadi orang yang baru dengan kualitas tindakan dan pengertian yang meningkat, yang tidak dimilikinya ketika dia masih berjuang untuk memperoleh kemajuan, paling tidak belum mencapai tingkatan yang sekarang dia miliki.
Dalam sebuah kasus, manakah yang bisa kita anggap sebagai penyebab, dan manakah yang bisa kita nilai sebagai akibat? Bisakah kita mengatakan, bahwa karena dia kaya dan dihargai, maka dia bisa mencapai tingkatan kualitas tertentu yang tidak bisa diraihnya jika dia miskin dan tidak dikenal?
Bagaimanapun juga ini mungkin benar. Peningkatannya dari sisi materi membantunya dalam mengubah kebiasaan lama, gagasan-gagasan lama, dan cara hidupnya dulu. Tetapi kita tidak bisa juga mengatakan bahwa kekayaannya merupakan penyebab dari perubahan kepribadiannya. Ini dikarenakan cara hidupnya sekarang hanya bisa menyinggung bagian luar dari kualitas kepribadiannya, dan tidak mempengaruhi inti kepribadiannya.
Inti kepribadian mencakup ambisi, kerja-keras, harapan, dan ketetapan hati. Berbekal unsur-unsur tersebut, dan sifat-sifat positif lainnya, dia berusaha menaklukkan dunia dan akhir nya mencapai kesuksesan. Oleh karena itu, kepribadian bukan dibentuk dari kekayaan yang diperolehnya, justru sebaliknya, kekayaan bisa dia peroleh terutama karena dia memiliki kepribadian yang menunjang untuk meraihnya.
Jadi, kekayaan merupakan akibat dari kepribadiannya?
Lalu, apakah yang menjadi sebab atau pemicu dari kepribadiannya? Singkatnya, pemicu dari kepribadian tertanam pada peningkatan moral dan kejiwaan yang berhasil dia peroleh sebagai buah dari keuletan, kemauan keras, dan kebaikan-kebaikan lain. Dia telah mengembangkan dan membangun dirinya sendiri, dan sebagai konsekuensi dari bentuk diri yang telah dia bangun melalui usaha yang tak kenal lelah tersebut, kesuksesan material pun mengikutinya, dan secara alami menempatkannya di tengah-tengah kesuksesan besar dan kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, sudah jelas bahwa apakah kita mencari keuntungan material ataupun hanya peningkatan moral, penyebabnya terletak pada kepribadian kita. Kepribadian yang matang dan dewasa membantu kita untuk bertindak tenang dalam menghadapi naik turunnya kehidupan, mengarahkan kita dalam menikmati kegembiraan, kesenangan, dan hadiah-hadiah kehidupan.
Untuk mencapai kesuksesan dan memeliharanya dalam jangka panjang, kepribadian kuat merupakan suatu kondisi yang sangat menunjang. Peningkatan moral dan material pada akhirnya akan menyatu, dan kita pun menyimpulkan bahwa dua hal tersebut tidaklah berbeda, bahkan merupakan satu kesatuan. Perolehan materi tidak akan bertahan lama jika akar dari perolehan ini adalah kejahatan. Hanya peningkatan materi yang berbasis pada kebijakan moral yang dapat bertahan, sementara kejayaan dan gemerlap duniawi lainnya hanya bersifat sementara. –sa