Surabayastory.com – Tulisan ini adalah bagian dari ceramah Ki Ageng Suryomentaram pada 31 Oktober 1959 di Jakarta. Karya ini mengulas esensi dasar tentang hidup bahagia seorang manusia. Karya ini terkenal dengan sebutan Ilmu Jiwa Kramadangsa.
Dalam ceramahnya ini, Ki Ageng Suryomentaram telah berhasil menemukan cara bagaimana kita menanggulangi nafsu dan emosi manusia atas dunia, sehingga ia tidak menguasai seluruh keadaan hidup kita. Kemudian menempatkan kelahiran rasa kemanusiaan yang bebas dari ciri-ciri pribadi. Manusia tanpa ciri inilah yang membawa kedamaian dalam pergaulan.
Agar dapat mengetahui proses “penemuan diri sendiri” kita perlu membaca dengan pikiran “setengah isi, setengah kosong” atau justru dengan kosong sama sekali alias suwung. Bebas dari purbasangka, pendapat dan kesimpulan lama, karena kebebasan ini akan membuka kesempatan untuk melihat sebuah pandangan dan perspektif yang baru.
Bagaimana jiwa kita bisa menjadi sehat 100%? Kita akan bisa meraihnya dalam hening. Bukan saja hening suasana, namun juga hening pikiran, hati, perasaan, sehingga mampu mengontrol emosi, nafsu, dan keinginan. Karena semua itulah yang menjadi akar perusak bagi kehidupan manusia dan dunia.
Berjuta-juta catatan-catatan tentang keinginan dunia dan nafsu dunia itu menggerombol, mendekati yang sama sifat coraknya dan menjauhi yang lain. Ki Ageng Suryomentaram membaginya menurut kehendak masing-masing, tidak terikat. Di luar kelompok-kelompok nafsu-nafsu manusia, masih banyak lagi catatan-catatan yang khusus, misalkan ada barang-barang baru, ingin kelihatan lebih hebat, ingin lebih kaya, merasa berkuasa lebih dari yang lain, dan sebagainya. Semua itu terangkum sebagai catatan-catatan yang tersimpan dalam bawah sadar dan mempengaruhi emosi.
Catatan itu hidup dalam ukuran kedua, sama dengan kehidupan binatang. Misalnya seekor anjing sedang menyusui anak anaknya, tiba-tiba orang datang mengganggunya. Menggonggonglah anjing itu, siap untuk menggigitnya. Bila merasa menang ia mengejar, dan bila merasa kalah ia lari. Langkah demikian itu bagi semua anjing adalah sama.
Beda Cara Memahami Kramadangsa
Bagi manusia, bila anaknya diganggu orang, ia pun segera marah, karena anak itu termasuk catatan “keluargaku”. Tapi tindakannya tidak seperti anjing, dipikirkan cara melaksanakan amarahnya. Yaitu catatan “keluargaku” memerintah tukang pikirnya, si Kramadangsa. Cara memikir Kramadangsa bagi setiap orang berbeda-beda, disebabkan berbeda-bedanya catatan pengalaman masing-masing orang. Sedangkan memikir adalah melihat catatan-catatan itu. Misalnya si Suta, mengetahui bahwa anaknya di sekolah di ganggu oleh anak lain. Ia lantas marah dan setelah berpikir diambilnya keputusan untuk melaporkan pada guru sekolah. Tapi bila hal tersebut terjadi pada si Naya, lain pula tindakannya, mungkin ia mengadukan pada polisi.
Dan lain lagi bagi si Waru, mungkin didamaikan dengan orang tua anak yang mengganggu. Buah pikiran mereka berlainan karena catatan-catatan pengalaman mereka pun berlainan.
Demikian perbedaan hidup manusia dari binatang, walaupun reaksi rasanya sama, tetapi tindakannya berlainan. Karena manusia punya tukang memikir yaitu Kramadangsa, yang bertindak menurut perintah catatan-catatannya. Jadi Kramadangsa ini dapat dikatakan, sebagai seorang buruh yang mengabdi pada sebelas orang.
Sebagai “sesuatu yang hidup”, catatan-catatan itu ingin hidup subur, oleh karenanya jika diganggu marah, tetapi jika dibantu ketawa senang. Bagi binatang, jika diganggu ia lantas menggigit, dan jika disayang bergoyang-goyanglah ekornya.
Ilmu Jiwa Kramadangsa ini sebenarnya bagian dari khazanah pemikiran dan wawasan ilmu psikologi Jawa yang sebenarnya telah dipahami dan dilakoni masyarakat Nusantara sejak lama. Karya ini sudah sekian lama tidak ditemukan dan tidak bisa dibaca kembali oleh masyarakat Indonesia. Dengan memahami Ilmu Jiwa Kramadangsa, paling tidak akan membuka kembali pemikiran para leluhur Nusantara yang telah lalu untuk kembali dipelajari di zaman milenial yang semakin kompleks dan kehilangan akarnya ini. –sa