Dunia Barat dan Timur sejak dulu kala menarik untuk ditelisik. Penyair, filsuf, pemikir, hingga spiritualis berusaha menyelami dua dunia yang berbeda. Tagore memberikan pemikirannya.
.

.
.
Surabayastory.com – Dua dunia, Timur dan Barat, adalah sebuah keniscayaan dengan kelebihan dan kelemahannya. Dua polar yang sangat berbeda adalah hidup hingga menurunkan kehidupan dengan segala aspeknya yang juga berbeda. Timur dan Barat adalah karunia semesta yang tak perlu dipertentangkan tentang mana yang lebih baik, lebih unggul atau lebih hebat. Keduanya tetap bagian dari keeping kehidupan. Di satu sisi mengandung kebaikan, di sisi yang lain menyimpan keburukan.
Rabindranath Tagore, penyair dan filsuf dari Kolkota (India) memberikan sudut pandangnya yang panjang. Dengan kedalaman pemikirannya Tagore yang juga seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali, adalah orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913).
Timur dan Barat yang menarik itu, mari kita nikmati.
I
.
TIDAK selalu minat besar dalam diri manusia yang membawa para petualang dewasa ini ke negeri-negeri jauh. Lebih sering hal itu disebabkan oleh tersedianya sarana perjalanan yang cepat. Karena tidak memiliki cukup waktu dan demi mudahnya, maka kita menggeneralisasi dan memasukkan fakta-fakta manusia kita kedalam paket-paket didalam kotak-kotak baja yang menyimpan laporan-laporan perjalanan kita.
Pengetahuan kita tentang penduduk Negara kita dan perasaan-perasaan kita tentang mereka pelan-pelan dan tanpa disadari telah bertumbuh dari segudang kenyataan-kenyataan yang penuh dengan kontradiksi dan cenderung selalu berubah. Mereka memiliki misteri kehidupan yang sukar dijajaki dan selalu berubah. Kita tidak bisa menjelaskan kepada diri kita apa kita ini sebagai sebuah keseluruhan karena kita mengetahui terlalu banyak; karena pengetahuan kita itu lebih dari sekedar pengetahuan. Ia adalah suatu kesadaran seketika atau kepribadian, dan penilaiannya membawa emosi, kebahagiaan dan kesedihan, malu dan kebanggaan. Tetapi di negeri asing kita mencoba menemukan kompensasikita bagi keminiman data-data kita dengan melakukan generalisasi kaku yang dipengaruhi pembentukkan oleh perasaan simpati kita yang tidak sempurna. Ketika seorang asing dari Barat berpetualang didunia Timur dia mengambil fakta-fakta yang tidak menyenangkan baginya dan menggunakan fakta-fakta itu untuk membentuk kesimpulan-kesimpulan yang kaku, yang didasarkan pada otoritas tak terbantah pengalaman pribadinya. Seperti seorang yang memiliki perahunya sendiri untuk menyeberangi sungai di desanya, tetapi, karena terpaksa berjalan menyeberangi sungai tempat lain, dengan maraha dia membuat pembandingan-pembandingan selagi dia berjalan dari setiap kubangan dan setiap kerikil yang diinjaknya.
Otak kita memiliki sifat-sifat yang universal, tetapi kebiasaan-kebiasaanya khas. Terdapat orang-orang yang menjadi jengkel dan marah terhadap ketidaknyamanan walau kecil sekalipun ketika kebiasaan-kebiasaan mereka tidak terpenuhi. Dalam gagasan mereka tentang dunia akhirat, barangkali mereka membayangkan roh-roh memakai sandal dan gaun tidur, dan mengharapkan anak kunci yang membuka pintu rumah mereka di dunia cocok untuk membuka pintu depan rumah mereka di akhirat. Sebagai petualang mereka gagal; karena mereka sudahmenjadi terlalu terbiasa dengan kursi malas mental mereka, dan dalam watak intelektual mereka, mereka menyenangi kenyamanan rumah yang disesuaikan dengan keadaan local, ketimbang realitas-realitas kehidupan, yang seperti bumi itu sendiri, penuh dengan naik dan turun, tetapi dalam satu keseluruhannya.
Zaman modern telah membawa geografi bumi ke dekat kita, tetapi membuat kita kesulitan untuk saling berhubungan dengan manusia. Kita pergi kenegeri-negeri jauh dan mengamati; kita tidak hidup disana. Hampir-hampir kita tidak bertemu orang-orang: melainkan hanya specimen-spesimen pengetahuan. Kita tergesa untuk mencari tipe-tipe umum dan mengabaikan perorangan-perorangan.
Ketika kitamenjadi terbiasa mengabaikan penggunaan pengertian yang datang dari simpati dalam perjalanan-perjalanan kita, maka pengetahuan kita tentang bangsa-bangsa asing menjadi tidak peka, dan karena itu mudah menjadi tidak adil dan juga kejam wataknya, dan juga egois dan merendahkan dalam penerapannya. Sering sekali seperti itulah keadaannya dizaman kami dulu pada orang-orang Barat yang tidak merasa berkewajiban menganggap kerabat terhadap orang lain yang mereka temui.
Telah diakui bahwa hubungan-hubungan antara berbagai ras berbeda itu bukan hanya antara individu-individu; bahwa pengertian timbal balik itu kita dibantu atau dihambat, oleh luapan-luapan umum yang membentuk suasana social. Luapan-luapan ini adalah cita-cita kolektif kita dan perasaan kolektif kita, yang ditimbulkan menurut situasi historis khas.
Misalnya, gagasan kasta sebagai suatu gagasan kolektif di India.ketika kita mendekati seoarang India yang dipengaruhi oleh gagasan kolektif ini, dia bukan lagi merupakan suatu individu murni dengan kesadarannya yang bangun sepenuhnya untuk dipertimbangkan nilainya sebagai seorang mahluk manusia. Dia sedikit banyak adalah suatu medium pasif untuk member ekspresi kepada perasaan dari seluruh komunitas.
Teryatalah bahwa gagasan tentang perbedaan kasta ini tidak produktif; gagasan ini hanya konstitusional. Gagasan ini meletakankan manusiasesuai dengan sesuatu tata mekanis. Ia menekankan sisi negative individu-keterpisahannya. Gagasan ini merusak kebenaran penuh dalam diri manusia.
Juga di Barat, orang-orang memiliki suatu gagasan kolektif tertentu yang mengkaburkan kemanusiaan mereka. Baiklah aku coba jelaskan apa yang kurasakan tentang hal ini.
II
.
Baru-baru ini aku mengunjungi beberapa medan perang Perancis yang telah hancur selama peperangan. Ketenangan sepi mencekam, yangmasih membawa kerut-merut~ perjuangan maut yang membentuk bukit-bukit jelek~ mengingatkan aku kepada bayangan sesosok iblis raksasa yang tidak berbentuk tidak bermakna, namun memiliki dua lengan yang bisa memukul, memecah, dan mencabik, satu mulut menganga yang bisa menelan, dan otak-otak mengembung yang bisa menghasut dan merencana. Ia adalah suatu tujuan, yang memiliki tubuh hidup, tetapi tanpa kemanusiaan lengkap untuk mengendalikannya. Karena ia adalah nafsu~ milik kehidupan, meski demikian tidak memiliki kepenuhan kehidupan~ maka ia adalah musuh-musuh kehidupan yang paling mengerikan.
Sesuatu yang memiliki perasaan tertekan yang sama dalam tingkat yang berbeda, kesenyapan yang sama dalam suatu aspek yang berbeda, muncul dalam otakku ketika aku menyadari pengaruh Barat terhadap kehidupan Timur~ Barat yang, dalam hubungannya dengan kita, hanyalah merupakan rencana dan tujuan mewujud, tanpa memiliki kemanusiaan yang berlebihan.
Aku sangat merasakan kontrasnya kehidupan di Jepang. Di negeri itu dunia lama menampilkan dirinya dengan suatu gagasan kesempuranan yang didalamnya manusia memiliki berbagai peluang pengungkapan diri dalam seni, dalam upacara, dan keyakinan agama, adat istiadat yang mengekpresikan puisi hubungan social. Disana orang merasakan kebahagiaan yang dalam dari keramahan yang ditawarkan kehidupan kepada kehidupan. Dan berdampingan, di tanah yang sama, berdirilah dunia modern, yang sangat besar dan kuat, tetapi tidak ramah. Dunia ini tidak memiliki selamat datang yang tulus bagi manusia. Ia hidup, namun ketidak lengkapan gagasan kehidupan didalamnya hanyalah merugikan kemanusiaan.
Belalai-belalai yang melingkar-lingkar dari utilitarianisme yang tidak pedulian, yang oleh Barat dipakai untuk merampas semua bagian yang enak dan mudah diambil dari Timur, menimbulkan kepedihan dan kemarahan diseluruh Negara Timur. Barat datang kepada kita, bukan dengan imajinasi dan simpati yang mencipta dan menyatukan, melainkan dengan suatu kejutan nafsu~ nafsu kekuasaan dan kekayaan. Nafsu ini hanya suatu kekuatan, yang memiliki di dalamnya asas pemisahan, asas konflik.
Aku beruntung memiliki hubungan dekat dengan laki-laki dan wanita dari Negara-negara Barat, dan telah merasakan kesedihan-kesedihan mereka dan berbagi aspirasi-aspirasi mereka. Aku telah mengetahui bahwa mereka mencari Tuhan yang sama, yang adalah Tuhanku~ bahkan mereka yang mengingkari-Nya. Aku merasa pasti bahwa, seandainya cahayanya gemilang budaya mati di Eropa, maka cakrawala kita di Timur akan berduka dalam kegelapan. Tidak mengurangi harga diriku sedikitpun untuk mengakui bahwa di zaman sekarang, kemanusiaan Barat telah menerima misinya menjadi guru dunia; bahwa sainsnya, melalui penguasaan hokum-hukum alam, adalah untuk membebaskan jiwa-jiwa manusia dari penjara gelap kebendaan. Di sisi lain, justru dengan semua ini aku telah menyadari, bahwa gagasan kolektif dominan di Negara Barat itu tidak kreatif. Ia siap memperbudak atau membunuh individu-individu, membius suatu bangsa besar dengan racun pembunuh –jiwa, menggelapkan keseluruhan masa depan mereka dengan kabut hitam kebodohan, dan mengebiri seluruh ras manusia ke tingkat ketak berdayaan yang terdalam. Gagasan ini sama sekali tidak memiliki kekutan spiritual untuk melebur dan menyelaraskan; ia tidak memiliki rasa kepribadian agung manusia.
Fakta yang terpenting dari zaman modern ini adalah bahwa Barat telah bertemu Timur. Pertemuan kemanusiaan yang sangat penting ini, agar bisa dipetik buahnya, harus memiliki gagasan emosional besar yang dermawan dan kreatif di dalam intinya. Tidak ada kesangsian lagi bahwa pilihan Tuhan telah jatuh pada ksatria Barat untuk melayani zaman sekarang ini; senjata dan baju besi telah diberikan kepada mereka; tetapi sudahkah merekamenyadari, di dalam hati mereka, kesetiaan penuh pada perjuangan mereka yang bisa melawan semua godaan suapan dari setan? Dunia dewasa ini di tawarkan kepada Barat. Ia akan menghancurkannya, jika ia tidak menggunakannya untuk suatu penciptaan agung manusia. Bahan-bahan untuk penciptaan seperti itu sudah berada di tangan-tangan sains; tetapi si genius kreatif berada dalam cita-cita spiritual manusia.
III
.
Ketika aku masih muda, seorang asing dari Eropa datang di Benggala. Dia memilih berdiam diantara rakyat negeri ini, memakan makanan mereka yang sederhana, dan sukarela member mereka pelayanannya. Dia memcari pekerjaan dirumah-rumah orang kaya, mengajar mereka bahasa perancis dan Jerman, dan uang diperolehnya dengan cara itu dihabiskan untuk membantu pelajar-pelajar miskin membeli buku-buku. Ini berarti dia harus berjalan berjam-jam ditengah hari yang panas dimusim panas tropis; karena sangat ingin berhemat, dia tidak mau menyewa kendaraan. Dia tidak ragu sedikitpun menghabiskan sumber dayanya, uang, waktu dan tenaga, sampai hampir miskin; dan semua ini demi sebuah bangsa yang tidak dikenalnya, sedangkan dia tidak dilahirkan sebagai bangsa itu, namun sangat dicintainya. Dia tidak datang kepada kami membawa suatu misi professional mengajarkan agama-agama sectarian; dalam dirinya tidak ada sedikitpun kebaikkan yang belagak, yang menghinakan mereka yang diberinya dengan hadiah-hadiah dari kebaikan hati yang kurang ajar. Walau dia tidak mengenal bahasa kami, dia selalu berusaha menghadiri pertemuan-pertemuan dan upacara-upacara kami; namun dia selalu khawatir kalau menganggu, dan sangat cemas kalau-kalau dia menjengkelkan kami karena tidak mengenal adat istiadat kami. Akhirnya, akibat tekanan kerja dalam suatu iklim, dan lingkungan yang asing, dia jatuh sakit. Dia meninggal, dan dikremasi dilapangan kremasi kami, menurut keinginannya sendiri.
Sikap pikirannya, cara hidupnya, tujuan hidupnya, kesederhanaanya, pengorbanan dirinya yang rela dan besar bagi suatu bangsa yang bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mempublikasikan setiap pemberian yang diberikan kepada mereka, sungguh berbeda dengan apa pun yang bisa kita ketemukan pada diri orang-orang Eropa di India, sehingga menimbulkan rasa cinta yang dilputi rasa kagum dalam diri kami.
Kita semua memiliki suatu wilayah, suatu surga pribadi, dalam pikiran kita dimana berdiam kenangan-kenangan abadi tentang orang-orang yang memberikan cahayaIlahi kepada pengalaman hidup kita, yang mungkin tidak dikenal orang lain, dan nama-namanya tidak terdapat dalam halaman-halaman sejarah. Izinkan aku mengaku bahwa orang hidup sebagai salah satu amerta-amerta dalam surge kehidupan pribadiku.
Dia berasal dari Swedia, namanya Hammargren. Yang sangat menarik dalam peristiwa kedatangannya kepada kami di Benggala adalah kenyataan bahwa di negaranya dia secara kebetulan membaca beberapa karya dari saudaraku setanah air, Ram Mohan Roy, dan menjadi sangat memuja kegeniusan dan kepribadiannya. Ram Mohan Roy hidup pada awal abad yang baru lalu, dan bukannya membesar-besarkan kalau aku katakana bahwa dia adalah salah satu dari pribadi-pribadi amerta zaman modern. Pemuda Swedia ini memiliki bakat luar biasa sebagai intelek yang berpandangan jauh dan bersimpati, yang memungkinkan dia bahkan dari jarak dan waktu yang jauh, dan dengan perbedan rasial, untuk menyadari kebesaran Ram Mohan Roy. Ini sangat mengharukan hatinya sehingga dia bertekad pergi ke Negara yang menghasilkan tokoh besar ini yang menberikan pelayanannya kepada Negara ini. Dia miskin dan harus menunggu beberapa lama di Inggris sebelum dia bisa mengumpulkan uang untuk ongkos pelayaran ke India. Akhirnya dia tiba di sana, dan dalam kedermawanan cinta yang tak ragu, menghabiskan dirinya sampai nafas terakhir, jauh dari rumah dan keluarga dan semua warisan tanah airnya.masa tinggalnya di antara kami terlalu singkat untuk menampakkan hasil yang nyata. Dia bahkan tidak berhasil mencapai cita-cita hidupnya, yaitu mendirikan dengan bantuan penghasilannya yang sedikit itu sebuah perpustakaan sebagai kenangan kepada Ram Mohan Roy, untuk meninggalkan suatu symbol nyata dari pemujanya. Tetapi yang paling aku hargai dari pemuda Eropa ini, yang tidak meninggalkan catatan kehidupannya, bukanlah kenangan akan pelayanan jasa baik, melainkan hadiah yang sangat berharga yaitu penghormatan yang diberikannya kepada suatu bangsa yang mengalami kemalangan, yang terlalu mudah untuk dilupakan atau dihinakan. Untuk pertama kalinya dalam zaman modern tokoh tak dikenal dari Swedia ini membawa ke Negara kami penghormatan ksatria dari Barat, salam persaudaraan manusia.
Sungguh suatu kebetulan yang sangat mengejutkan dan menggembirakan ketika Hadiah Nobel diberikan kepadaku dari Swedia. Tentu, sebagai pengakuan atas jasa individual hadaiah itu sangat berharga bagiku; tetapi pengakuan terhadap Timur sebagai rekan kerja benua-benua Baratlah, dalam menyumbangkan kekayaan-kekayaannya bagi kekayaan peradaban bersama, yang memiliki keberatian utama bagi zaman sekarang. Ini berarti bergandengan tangan dalam perkawanan oleh dua belahan besar bumi dunia manusia melintasi lautan.
IV
.
Dewasa ini Timur yang sejati tetap tak terjelajahi. Penghinaan yang membabi buta itu sama tak bergunanya dengan kebutaan dan kebodohan; karena penghinaan mematikan cahaya yang oleh kebodohan hanya tidak dinyalakan. Timur menunggu untuk dipahami oleh ras-ras Barat, agar bukan hanya bisa memberi apa yang sejatinya dalam dirinya, tetapi juga merasa yakin akan misinya.
Dalam sejarah India, pertemuan umat Islam dengan Hindu menghasilkan Akbar, yang mengimpikan penyatuan hati dengan cita-cita. Impian itu memiliki semua semangat menyala suatu agama, dan membuahkan hasil yang segera dan besar bahkan semasa hidupnya.
Tetapi kenyataanya tetap saja bahwa pikiran Barat, setelah berabad-abad berhubungan dengan Timur, belum mengembangkan semangat suatu cita-cita ksatria yang bisa membawa abad ini kepada pemenuhannya. Pikiran Barat itu dimana-mana memunculkan ujung-ujung tajam pengucilan dan memberikan korban-korban manusia kepada pencarian diri bangsa. Ia telah membangkitkan perasaan-perasaan saling iri diantara ras-ras Barat sendiri, sementara mereka memperebutkan harta rampasan dan menunjukkan suatu kebanggaan yang rakus dalam gigi-gigi mereka yang menyeringai.
Kita lagi-lagi harus menjaga pikiran-pikiran kita dari rong-rongan kecurigaan individu-indivdu suatu bangsa. Cinta aktif kemanusiaan dan roh pengorbanan untuk perjuangan demi keadilan dan kebenaran yang telah aku temukan dinegara-negara Barat merupakan pelajaran dan ispirasi bsar bagiku. Aku tidak sangsi lagi bahwa Barat berutang kebebasan sejatinya, bukan kepada pendidikan inteleknya yang tinggi, melainkan kepada semangat pelayanan yang diabadikan untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, aku berbicara dengan perasaan kepedihan dan kesedihan pribadi tentang kekuatan kolektif yang mengarahkan kemudi peradaban Barat. Ia adalah nafsu, bukan cita-cita. Semakin banyak keberhasilan yang dibawanya ke Eropa, semakin merugi Eropa pada akhirnya nanti, ketika semua perhitungan telah diselesaikan. Dan tanda-tanda sudah jelas bahwa perhitungan-perhitungan telah diminta. Saatnya telah tiba ketika Eropa telah mengetahui bahwa parasitisme paksaan yang telah dipraktikannya terhadap dua benua besar dunia~ dua jumlah manusia yang sangat besar~ tentunya telah pelan-pelan mengerdilkan dan memerosotkan hakikat moralnya.
Sebagai contoh, biarlah aku mengutip sari-sari berikut dari bab akhir From the Cape To Cairo, oleh Grogon dan Sharp, dua penulis yang mampu menanamkan doktrin-doktrin mereka dengan pedoman dan contoh. Dalam acuan mereka kepada orang Afrika mereka berterus terang, seperti ketika mereka berkata, “Kita telah mencuri tanahnya.” Dua kalimat ini, yang diutarakan dengan cermat, dengan sedikit humor, telah lebih dijelaskan dalam peryataan berikut, dimana sekelumit kesadaran yang adalah roh lemah dari sebuah nurani yang telah mati, mendorong para penulis tersebut untuk menggunakan ungkapan “kerja paksa” sebagai pengganti kata yang berteur terang “perbudakan “; seperti juga politisi modern dengan terampil menghindari kata “perintah” dan menggunakan kata “mandate”. “ Kerja paksa dalam suatu bentu,” kata mereka, “adalah bagian tak terpisahkan dari pendudukan kita atas negeri ini.” Dan mereka menambahkan: “ Memang kasihan, tetapi itulah sejarah,” menunjukkan bahwa perasaan-perasaan moral tidak memiliki pengaruh serius dalam sejarah mahluk manusia.
Di tempat lain mereka menulis: “Kita harus membebaskan perdagangan negeri ini, atau kita paksa orang Afrika bekerja. Dan mengecam mereka yang menunjukkan kesia-siaannya tidak bisa mengubah fakta-faktanya. Kita harus memutuskannya, dan segera. Atau lebih tepat orang kulit putih Afrika Selatan yang memutuskan.” Para penulis itu mengakui bahwa mereka telah terlalu banyak melihat dunia “untuk memiliki suatu keyakinan bahwa peradaban Barat menguntungkan ras-ras pribumi”.
Logikanya sederhana~ logika egisme. Tetapi argument itu disederhanakan dengan memotong bagian besar dari premisnya. Karena para penulis ini tampaknya menyatakan bahwa satu-satunya pertanyaan penting bagi orang-orang kulit putih Afrika Selatan adalah, berapa lamanya mereka akan menjadi gemuk dari bulu-bulu burung unta dan tambang-tambang intan, dan menarikan dansa jazz di atas penderitaan dan degradasi suara ras sesame manusia yang warna kulitnya berbeda dengan warna kulit mereka. Mungkin mereka yakin bahwa hukum-hukum moral memiliki konsesi-konsesi khusus yang lebih lunak untuk melayani orang-orang yang berkuasa. Barangkali mereka mengabaikan kenyataan bahwa kanibalisme komersial dan politik, yang dipraktikkan dengan menguntungkan ras-ras asing, akan merayap mendekati Negara sendiri; bahwa penanaman nafsu-nafsu makan tidak sehat memiliki konsekuensi-konsekuensi akhir terhadap perut yang dipakai untuk memuaskan nafsu tersebut. Karena pada akhirnya manusia adalah mahluk spiritual, dan bukan hanya semacam kantong uap hidup yang meloncat dari satu keuntungan ke keuntungan lain, dan mematahkan tulang punggung ras-ras manusia dalam loncat meloncat financial itu.
Namun hal seperti itu merupakan kondisi yang berlaku selama lebih dari satu abad; dan dewasa ini, mencoba masa depan dengan penerangan nyala kebakaran Eropa, kita di seluruh dunia Timur bertanya kepada diri sendiri: “Apakah kekuasaan yang gemuk buruk ini benar-benar besar? Ia bisa melukai kita dari luar, tetapi bisakah ia memperkaya jiwa kita? Ia bisa menanda tangani perjanjian perdamaian-perdamaian, bisakah ia memberi kedamaian?”
Sekitar dua ribu tahun yang lalu Roma yang maha kuasa dalam salah satu propinsinya di timur mengekssekusi dia atas tiang salib seorang guru sederhana dari suatu suku nelayan yang tidak dikenal. Pada hari itu Gubernur Roma tidak merasa terganggu nafsu makan atau tidurnya. Pada hari itu, di satu sisi, terdapat kepedihan, penghinaan, kematian; di sisi lain, hiruk pikuk kebanggana dan pesta di Istana Gubernur.
Dan dewasa ini? Maka kepada siapakah kita mesti membungkukan kepala?
Kasmai devaya havisha vidhema?
(Kepada Tuhan yang mana kita haturkan persembahan?)
Kita tahu contoh dalam sejarah India kita, ketika satu pribadi agung, baik dalam kehidupannya maupun dalam suaranya, mengalunkan kunci nada music jiwa yang khusus cinta bagi semua mahluk hidup. Dan music itu menyeberangi lautan, gunung-gunung, dan gurun. Ras-ras dari iklim-iklim, kebiasaan-kebiasaan, dan bahasa-bahasa yang berbeda bersatu, bukan dalam adu senjata, bukan dalam konflik eksploitasi, melainkan dalam keselarasan kehidupan, dalam persahabatan dan perdamaian. Itulah penciptaan.
Ketika kita pikirkan masalah itu, kita segera melihat bahwa kebingungan pikiran adalah yang dimaksudkan oleh penyair Barat, ketika memikirkan tentang perbedaan antara Timur dengan Barat, dia berkata: “Tidak akan keduanya bertemu.” Memang benar bahwa mereka belum memperlihatkan tanda untuk bertemu. Tetapi alasannya adalah karena Barat belum mengirimkan kemanusiaannya untuk bertemu dengan manusia Timur, melainkan hanya mengirimkan mesinnya. Karena itu, baris penyair harus berubah, mungkin menjadi seperti ini:
Manusia adalah manusia, mesin adalah mesin,
Dan tidak akan keduanya bertemu.
Anda harus mengetahui bahwapita merah tidak akan pernah menjadi ikatan bersama manusia; bahwa materi kontrak tidak akan pernah memberikan sarana untuk ikatan timbale balik; bahwa sangat menyakitkan bagi manusia untuk harus menerima pelayanan dari loket-loket bermanusia, dan penghinaan deari maklumatmaklumat tercetak yang member pengumuman, tetapi tidak bisa berbicara. Kehadiran orang-orang Barat di Timur adalah kenyataan manusiawi. Jika kita hendak memperoleh sesuatu dari mereka, maka itu hendaknya jangan hanya hukum-hukum legal dan system layanan sipil dan militer. Manusi jauh lebih besarketimbang itu. Kita memiliki hak lahir kita untuk menuntut pertolongan langsung dari orang Barat, jika dia memiliki sesuatu yang besar untuk diberikan kepada kita. Dia harus datang kepada kita, bukan hanya melalui kenyataan-kenyataan yang berdampingan, tetapi melalui pengorbanan spontan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kewajiban member, dank arena itu memiliki tanggung jawab.
Aku minta dengan sungguh-sungguh kepada penyair dari dunia Barat untuk merealisasi dan menyanyikan kepadamu dengan semua kekuasaan besar music yang dimilikinya, dan hendaknya Timur dan Barat selalu mencari satu sama lain, dan hendaknya mereka bertemu bukan hanya dalam kepenuhan kekuatan fisik, tetapi dalam kepenuhan kebenaran; dan tangan kanan, memegang pedang, membutuhkan tangan kiri, yang memegang tameng keselamatan.
Timur menghuni dataran-dataran luas yang di awasi oleg gunung-gunung berpuncak salju dan disuburkan oleh sungai –sungai yang membawa aliran-aliran air yang besar ke laut. Di sana, dibawah terik matahari tropis, kehidupan fisik telah menyuramkan cahaya kekuatannya dan mengecilkan tuntutan-tuntutannya. Di sana manusia memiliki ketenangan pikiran yang selalu mencoba menyesuaikan dirinya selaras dengan nada-nada batin eksistensi. Dalam keheningan fajar dan petang, dan malam-malam bertabur bintang, dia telah duduk berhadap-hadapan dengan yang Tak-Terhingga, menunggu datangnya wahyu yang membuka hati semua yang ada disana. Dia telah berkata, dalam kegairahan kesadaran:
“Dengarkan aku, kalian anak-anak dari yang Amerta, yang berdiam dalam Kerajaan surge. Aku telah melihat, dari balik kegelapan, Pribadi Tertinggi, bersinar dengan kecemerlangan matahari.”
Manusia dari Timur, dengan keyakinannya terhadap yang abadi, yang dalam jiwanya telah menemukan sentuhan Pribadi Tertinggi~ apakah dia tidak pernah datang kepadamu diBarat dan berbicara kepadamu tentang Kerajaan Surga? Tidakkah dia mempersatukan Timur dan Barat dalam kebenaran, dalam kesatuan dari satu ikatan spiritual antara semua anak-anak dari yang Amerta, dalam kesadaran dari satu kepribadian Akbar dalam semua pribadi-pribadi manusia?
Ya, Timur pernah bertemu dengan Barat secara mendalam dalam pertumbuhan kehidupannya. Pertemuan seperti itu menjadi mungkin karena Timur datang ke Barat dengan cita-cita kreatif, dan bukan dengan nafsu yang menghancurkan ikatan moral. Kesadaran mistis dari yang tak-terhingga, yang dia bawa bersamanya, sangat diperlukan oleh manusia Barat untuk memberikan keseimbangan.
Di sisi lain, Timur harus menemukan keseimbangan sendiri dalam Sains~ hadiah agung yang bisa di berikan Barat kepadanya. Kebenaran memiliki sarang selain memiliki langit. Sarang itu tegas bentuknya, akurat dalah hukum konstruksi; dan meski ia harus diubah dan dibangun kembali berulang-ulang, kebutuhan terhadapnya tidak pernah berakhir dan hukum-hukumnya adalah abadi. Sejak berabad-abad Timur telah mengabaikan pembangunan sarang kebenaran. Dia lalai untuk mempelajari rahasiannya. Mencoba menyeberangi yang tak-terhingga yang tak terpeta, Timur telah bergantung hanya kepada sayap-sayapnya. Dia menolak bumi, sampai, diombang-ambingkan topan, sayap-sayapnya terluka dan dia letih. Sangat membutuhkan pertolongan. Tetapi apakah kemudian dia harus di beri tahu bahwa utusan langit dan pembangun sarang tidak akan pernah bertemu? (*)