Jejak pelayaran dan pelabuhan Surabaya dimulai dari sini. Pelabuhan tradisional yang terus eksis di tengah metropolis.
Surabayastory.com – Lupakan revolusi industri 4.0. Di sini masih berderap proses ekonomi yang katanya tradisional. Semua masih dikerjakan secara manual. Alat bantu juga sangat sederhana. Tetap eksis walau tanpa otomatisasi, tetap bergerak meski dengan peralatan berserak dengan tenaga otot kuat dan peluh tanpa mengeluh. Namun, manusia selalu mampu beradaptasi dan berjuang dengan keadaan yang ada. Tentang Kali Mas dulu dan sekarang, mari kita nikmati cerita di bawah ini.
*****
Amukan buldoser sudah stop, rumah-rumah atau gubuk sudah rontok, jerit tangis sudah menguap. Kali Surabaya tetap menghilir. Mengaliri, menyaksikan, dan mencatat semua peristiwa. Kebangkitan dan kemunduran sebuah kota dalam kesaksian alirannya, deras atau lamban, mampat atau banjir, beriak atau tenang, pasang atau surut.
Sepanjang pinggiran sungai dan rel kereta, aktif maupun pasif, adalah naungan sekaligus lampiasan mengadu, mengaduh, protes, serah diri, pasrah, dan tegakkan bendera gombal, batang ranting, karton, plastik, tali-temali, untuk sekadar bernama gubuk, bagi yang belum berumah atau sudah kehilangan rumah. Dan harus siap hengkang lagi jika diterjang buldoser, banjir, atau gerbong langsir.
Di sinilah wajah ketegangan, ketertekanan, dan kemiskinan kota, wajah yang sebenarnya, yang ditopengi hias rias dan hingar-bingar kota berupa gedung tinggi berkaca, boulevard teduh, restoran siap saji, pusat belanja-jajan-hiburan, apartemen dan kampus, kantor birokrasi dan bank, hotel dan rumah musik-minum-dansa.
Menurut hasil penelitian yang masih dianggap akurat, jumlah penduduk miskin di desa ternyata lebih kecil dibanding di kota. Kota lebih membengkak kelompok miskin dan kawasan slum-nya. Ditopengi “benteng” baja-beton-kaca.
Di kampung-kampung Surabaya dulu ada arsitektur khas kampung yang disebut “rumah topeng”, atau “gaya topengan”. Bentuknya ruang depan berdinding tembok, berjendela kaca lebar, berlantai ubin atau keramik; pokoknya rapi dan terang benderang. Dari kamar tidur sampai dapur berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu (gedhek sesek). Topeng-(an) depan menyembunyikan segala tempel-menempel pating srentel (tergantung berserakan) dan tambal-menambal pating srekal (saling bertumpuk) di belakang, sumur dengan timba turun-naik pakai senggot bambu, bambu kakus jumbleng, dan kubangan limbah.
Rupanya gaya “topengan” justru diambil alih jadi wajah kota kita, menyembunyikan segala kekumuhan kampung yang gangnya berliku-liku, dari gang lebar, sempit, pertolongan, buntu, teritis, sisiran, sampai, “kelinci” dan “tikus”, bagai labirin. Dan juga menutup-nutupi “tamasya” panjang kekumuhan dipinggir sungai, kali, kalen, kalimir, got; dan jalur-jalur rel yang masih dipakai maupun yang sudah berkarat, terkubur, hilang, terlupakan.
Kali Mas yang membelah jantung kota, sebenarnya simbol sumber kehidupan. Di pedalaman sungai mengairi lahan, menyuburkan sawah, menggenangi kolam ikan, menghasilkan panen, memakmuran desa. Pemanfaatan sungai secara intensif dan proporsional. Kali Mas seharusnya bisa dimanfaatkan sepenuhnya dan sewajarnya bagi kesejahteraan penduduk.
Ada kisah lama di zaman Raden Rahmat/ Sunan Ampel, abad ke-15, yang tanah pemberian dari Raja Majapahit meliputi Ngampel Dento, barangkali dari Botoputih sampai Kalimas, menyebutkan bahwa setiap perahu ikan masuk kota orang perahu melemparkan dua-tiga ikan besar ke daratan timur yang dijaga santri. Ikan-ikan itu untuk Kanjeng Sunan dengan permohonan berkah dan doanya.
Episode lain Raden Rahmat memerikan (mendiskripsikan) bahwa ketika wudlu di Kali Mas menemukan sebutir delima hanyut. Dia ingin makan temuannya, maka sebelum itu dia menyusuri ke arah udik untuk minta izin pada sesiapa yang kehilangan delima atau si empunya kebun yang delimanya jatuh ke sungai. Tak satu pun ada orang mengaku atau tak ada kebun delima sepanjang tepian, dia telusuri makin ke udik dan menemukan kebun delima di suatu kawasan (Darmokali sekarang). Kebun delima itu milik Mbah Bungkul, cikal-bakal di kawasan situ (Darmo sekarang). Raden Rahmat menemui si pemilik dan minta izin makan delima temuannya. Mbah Bungkul sangat terkesan kejujuran Raden Rahmat, dan Raden diambil menjadi menantu. (Di bawah kacamata penelitian sejarah Sunan Ampel sebagai pemegang kuasa spiritual, dan Ki Ageng Bungkul kuasa “praja”, bukan dalam hubungan menantu-mertua. Mertua Sunan Ampel adalah Sunan Giri, Gresik, dan Mbah Karimah, Kembang Kuning.)
Untuk mengurangi kesemrawutan lalu lintas darat, apa tidak bisa dikembangkan lagi lalu lintas air, dengan, tentu saja, manajemen sungai yang harus lebih siap dan andal kinerjanya, tidak saling menohok dan menyalahkan sesama instansi atau pihak lain? Jika lalu lintas membuka “lahan basah” yang menjanjikan, tentu wajah arsitektur kota berubah, seperti dulu banyak menghadap ke sungai, dan berangsur kekumuhan menghilang di sepanjang tepian.
Rel kereta api dalam kota sekarang tinggal jalur-jalur: yang ganda dari Wonokromo ke Semut, yang tunggal Pasarturi-Jakarta, Pasarturi-Gresik lewat simpangan Kandangan, Tandes. Dari Gubeng ke stasiun barang Sidotopo, Sidotopo-Pasarturi lewat jembatan di atas Jalan Kapasari, Bunguran, Semutkali, Pahlawan, bersambung ke Tanjung Perak. Dari Semut ke depo-lokomotif Sidotopo.
Jalur-jalur lain sudah tak terpakai dan hilang tertimbun. Jalur trem listrik dari Wonokromo, Darmo, Keputran, Embing Kaliasin, Simpang Lonceng, Tunjungan, Kebonrojo, Jembatan Merah, ke Tanjung Perak. Dari Sawahan, Tidar, Embong Malang, Simpang Lonceng, ke Gubeng.
Trem uap dari Karangpilang, Wonokromo, Diponegoro, Arjuno, Pasarturi, Kebonrojo, Jembatan Semutkali, Halte Bibis, ke utara menyebrangi Kembang Jepun, menyusuri Jalan KH Mas Mansyur, Benteng, Petekan, sepanjang pinggiran timur Kali Mas, dan berhenti di halte terakhir Ujung, untuk naik feri ke Kamal. Dermaga penyeberangan yang sekarang sebutannya Ujung Baru. Ujung (lama) sudah berubah menjadi bangunan gedung baru, termasuk dalam kompleks Angkatan Laut.
Dua kekayaan antik, trem listrik dan uap, lenyap dari kesibukan Surabaya. Akan tetapi, pengalaman kota-kota besar dunia, justru berbagai jenis trem tetap berseliweran dan menambah keantikan khas bagi kota yang sudah berumur tua namun masih berjaya. Justru itu yang didambakan para turis. Kota besar dunia menyedot perhatian karena kontrasnya yang artistik. Surabaya kita tercinta tampilannya kontras tragis: “topeng indah selubung buritan kumuh”. – Akhudiat, budayawan
Ok web bagus