MEMPERBINCANGKAN pendidikan di Indonesia bukanlah tugas yang mudah. Ibarat seorang pelari maraton yang harus berlari penuh 42,195 km, tak hanya stamina tangguh yang dibutuhkan, melainkan juga waktu yang melebihi kewajaran orang awam berlari.
Ibarat maraton tak semua kapasitas pelari layak menjadi pesertanya. Banyak peserta yang berlari sekadar bergaya sambil mematut-patut penampilan di depan kerumunan. Hanya sebagian saja yang serius mencoba menaklukkan seluruh jarak yang terbentang. Dan meski berusaha keras hingga stamina terkuras, toh tidak banyak orang sanggup bertahan hingga garis akhir.
Di sepanjang perjalanan berlaga, seorang pelari dipaksa terus ketat bersaing dan berkompetisi. Tidak tersisa kesempatan sedetik pun berleha-leha. Inilah salah satu laga yang paling bengis dan tanpa ampunan, meski sesungguhnya juga penuh kegembiraan. Bandingkan dengan tenis dan atletik yang sudah diharuskan berhenti jika hujan menderas di lapangan. Panahan bahkan sudah buru-buru melipat busur tatkala mendung tampak menggelayut rendah.
Syahdan, para penembus palagan maraton tidak mungkin berkompromi dengan alam. Mereka tidak akan dimanjakan jalur berlari yang serba mulus, layaknya para pegolf yang boleh dimanjakan kelembutan beludru rumput ketimbang lapangan hijau tempat kambing digembala. Begitu pun cabang olahraga lain, malah hanya bisa dihelat di ruangan sejuk berpendingin atau di kamar kedap bunyi.
Para pelari maraton, seperti halnya pejuang-pejuang pendidikan, tidak akan pernah sempat lama bersolek atau lebay menikmati privilege berlebihan. Sebaliknya mereka harus menyiapkan susah-payah melebihi kapasitas fisiknya. Sadar sepenuhnya bahwa berlari marathon pastilah digantang terik matahari, digelincirkan jalan becek dan berbatu, pun dihadang angin dari tujuh penjuru.
Realitas Perjuangan
Inilah realitas dunia pendidikan kita hari ini. Sebuah bentang perjuangan yang jauh dari singkat dan sederhana. Ia mewujud bagaikan kumparan benda yang acapkali digambarkan (atau sengaja dibuat) begitu rumit nan ruwet pula. Melibatkan banyak sekali kekuatan yang tampak mata seperti fasilitas dan sarana, sekaligus daya tak tampak seperti moralitas dan etika.
Dengan menggambarkan kerumitan itu, sekilas tampaklah begitu bobrok dan menyeramkan dunia pendidikan kita. Ibarat porselin retak, dengan hanya satu senggolan ringan saja, akan luluh-lantak berkeping-keping seluruhnya. Pleonasme ini hanya akan menimbulkan rasa ngeri bagi setiap insan cerdas dan kreatif, yang ingin menghampiri dunia pendidikan kita dengan sentuhan pesona.
Agaknya dibutuhkan cara penghampiran yang berbeda. Kita perlu sejenak menarik diri dari kumparan masalah. Menjaga garis pemisah dengan melambungkan pikiran kita di ketinggian, menggunakan mata-elang (hawk eye) agar kita dapat melihat jelas peta masalah yang terhampar. Dengan cara menatap tajam seperti itulah kita akan mampu menukik, menyambar, dan mengeksekusi berbagai-bagai masalah pendidikan langsung di titik lemahnya.
Bukankah teknologi hawk-eye juga telah membuktikan dirinya berhasil mengatasi perdebatan panjang tentang bola masuk dan bola keluar pada badminton dan tenis? Lama sudah para pemain jadi pesakitan belaka, takluk pada hegemoni kekuasaan absolut para wasit dan penjaga garis yang menetapkan jatuhnya bola.
Jangan-jangan kita suka menempatkan dunia pendidikan sebagaimana ‘pesakitan’, dan menikmati betapa gagahnya kita mengumbar kuasa layaknya wasit dan penjaga garis. Patut kita bertanya, siapa sesungguhnya yang sedang ‘sakit’. Apakah pemain badminton sebagai simbol dunia pendidikan (bernasib pesakitan) ataukah kita (pelaku, pengamat, pejuang pendidikan) yang nyaman menggenggam otoritas wasit dan penjaga garis? Terjadilah debat sengit siang-malam.
Sementara itu para pelari maraton yang hebat sukses menembus finis dengan wajah-wajah berseri. Sejenak saja mereka tampak letih, selebihnya senyum menebar dan mata berbinar, menikmati pertarungan panjang yang amat menggairahkan. Sayup terdengar mereka asyik berdendang, merayakan kalah-menang sesamanya tanpa sehelai pun perbedaan.
Mereka inilah para petualang sejati, penjelajah masalah (pendidikan) tak kenal lelah. —Tjuk Suwarsono