Bagi para penggemar jalan-jalan makan di pagi hari, pilihan makanan ini pantang dilewatkan. Berjualan sejak 1952!
Surabayastory.com – Ini nih kuliner asli Surabaya yang legendaris. Yang namanya legendaris, soal rasa tak usah banyak ditanya. Yang pasti enak dan enak sekali. Tapi soal selera, itu masing-masing orang bisa berbeda.
Nama kuliner ini adalah Lontong Kikil Bu Sugeng. Lokasinya ada di ujung Jl. Mustika, kawasan raya Ngagel depan aliran Kalimas, sebelah pabrik IGLAS. Jangan bingung dengan tulisan Jl. Ratna II/ 20 di spanduk hijau yang dipasang. Ini adalah lokasi rumah Bu Sugeng, tempat orang datang kalau akan melakukan pesanan khusus untuk sebuah acara.
Lontong kikil merupakan salah satu makanan khas Surabaya. Di wilayah lain di Indonesia juga ada, namun citarasa dan teknik pengolahannya tentu saja berbeda. Kikil adalah bagian dari kaki sapi, bagian kulit sapi yang menempel pada daerah di sekitar kaki sapi. Ada urat, teracak, daging, dan sumsum. Penampilan dan tekstur kikil yang kenyal dan putih transparan, membuat makanan ini tampak bersih ketika disajikan. Sebagian kikil masih mengandung sedikit tulang lunak, jadi bisa langsung digigit.
Dalam anatomi sapi, bagian kikil berdekatan dengan tulang. Karena itu, kikil memiliki kandungan kalsium yang tinggi, sekaligus berfungsi sebagai kolagen. Yang perlu dipertimbangkan, memiliki kolestrol tinggi dan memiliki kandungan lemak jenuh. Karena itu, makan kikil sewajarnya, tak perlu berlebihan, sehingga Anda bisa tetap bisa makan kikil di kemudian hari.
Dengan teksturnya yang lembut dan kenyal, membuat kikil punya penggemar tersendiri. Rasanya yang gurih dan cenderung berminyak, membuat kikil tak pernah kehabisan pelanggan. Di Indonesia cukup banyak makanan yang menggunakan kikil sebagai bahan utamanya.
Apa nikmatnya Lontong kikil Bu Sugeng? Mari kita bahas perlahan. Bagi para pemakan kikil, yang pertama diharapkan adalah pilihan kikil yang bagus dan segar. Maksudnya, tidak bau dan penampilannya bersih.
Kuahnya segar, dan bumbunya tak terlalu tebal. Maksudnya, kuah masih bisa disruput dengan lancar. Akan sangat tidak nyaman untuk menikmati kuah jika terlalu berminyak dan nempel di bibir atau langit-langit mulut. Kikil dengan terlalu banyak minyak di kuahnya juga memberi petunjuk jika kikil kurang segar atau kurang bersih.
Dari kuahnya yang terbukti sedhut (enak sekali), kita akan beranjak mulai memakan kikilnya. Di Bu Sugeng, meskipun urat, tetap bisa dipotong dengan mudah pakai sendok. Tak perlu perjuangan besar, apalagi sampai ditarik-tarik pakai gigi dan tangan. Walau empuk, ciri khas kikil tidak hilang: sensasi kenyal dengan sedikit berminyak. Di luar urat, akan tambah empuk. Bagaimana dengan sumsum? Kalau ini harus datang lebih pagi, paling tidak pukul 06.00. Lebih dari jam itu, bisa dipastikan sudah ludes. Apalagi di akhir pekan, Sabtu-Minggu. Kikil Bu Sugeng buka jam 05.30. Penggemar sumsum sangat banyak.
Semakin dalam mencicipi rasanya, kita bisa menangkap jika pemakaian bumbu jangkep pegang peranan di sini. Selain itu rempah-rempah juga lengkap, namun tidak terlalu menonjol. Ini mengikuti selera Jawa Timuran yang tidak ingin kekuatan rempah menyita gurihnya makanan. Kuah bening dengan ornament merah menunjukkan jika penggunaan cabe merah besar cukup banyak, sehingga ketika digonggso (digoreng dengan minyak sedikit), minyak cabe merah akan keluar. Ini menunjukkan jika proses pemasakan awal bumbu delakukan dengan sempurna. Perlu waktu lama dan ketelatenan agar tidak gosong.
Sedangkan kikilnya, sudah pasti diolah dengan seksama dan teliti. Dari pengalaman makan di sana, selalu bersih dan tidak berbau. Perebusan dan pengecekan pembersihan menjadi kunci utama untuk menghasilkan kikil yang bersih, empuk, dan tidak berbau.
Penyajiannya
Di sajikan di atas piring dengan ornamen kembang-kembang khas tahun 1980-an, lontong kikil Bu Sugeng tampak menarik. Sejalan dengan kekhasan makanan yang telah dikenal lebih dari 50 tahun di Surabaya. Makanan ini bisa dipadu dengan karbo nasi atau lontong. Seperti pada umumnya, lontong menjadi pilihan utama.
Setelah tersaji, dengan uap yang masih mengepul, lebih sedap untuk ditambahkan jeruk pecel sebagai penyegar dan sedikit sambal. Bagi yang doyan pedas, bisa nambah sambal semaunya. Tapi hati-hati, hari masih pagi benar, takut perut berontak. Sementara bagi penyuka agak manis (seperti selera Mataraman) bisa ditambahkan kecap manis. Perlu diingat, semuanya self-service. Jangan nuntut dilayani karena gak sempat, yang beli berderet.
Untuk yang pesan sumsum, di atas piring kembang tadi akan tersaji dua balungan sumsum plus sedotan. Jadi, cara makannya sumsum dalam tulang itu disedot lalu disruput bersama kuah gurih. Lembut dan mak nyes, sedap sekali.
Anti-Marketing
Karena sudah mempunyai pembeli yang fanatik, maka ilmu marketing yang banyak diajarkan dan dipelajari semuanya runtuh. Coba tengok saja, dari segi lokasi biasa-biasa saja, cuma kelas warung jalanan. Penyajian, juga jauh dari sempurna. Ini karena banyaknya pembeli yang nyaris tanpa putus, sehingga tak sempat lagi penataan makanan atau tata cara di atas standar. Semuanya dibuat simpel. Pun soal pelayanan, sering kali lontong sudah habis lebih dahulu, yang ada tinggal nasi putih. Kalau tidak setuju, boleh meningalkan tempat. Nyatanya, banyak yang tak mempermasalahkan. Bahkan ketika lontong dan nasi habis, mereka rela untuk menunggu. Belum cukup sampai di situ. Lagi-lagi karena banyaknya pembeli dan kurangnya pelayan, kadang pembeli harus rela membersihkan sendiri mejanya sebelum duduk. Kalau butuh jeruk atau kecap kadang juga hadus mencari sendiri di meja lainnya. Dan yang pasti, semuanya tetap happy.
Apa yang membuat mereka rela seperti itu? Bukankah mereka juga harus membayar Rp 28.000/ porsi? Yang ada di sini adalah makanan enak dan kerinduan untuk datang lagi. Interaksi yang hangat dengan penjual, tidak kaku, menjadi para pelanggan datang lagi, datang lagi. Kangen datang lagi, atau dalam bahasa mereka adalah sekadar absen.
Dari cerita yang dihimpun surabayastory, para pembeli kikil Bu Sugeng adalah pelanggan lama. Rata-rata sudah di atas lima tahun. Kalau pun ada yang baru, justru mereka yang akan menyesuaikan diri.
Lontong Kikil Bu Sugeng memang legendaris di Surabaya. Buka sejak tahun 1952, dan kini dikelola generasi ketiga. Tempat ini potret warung-warung zaman dulu di Surabaya, buka pagi-pagi, mencegat orang-orang yang baru pulang dari pasar atau menyiapkan bapak-bapak yang berangkat kerja belum sarapan. Zaman dulu, sarapan pasti makan berat: nasi atau lontong sepiring dengan lauk lengkap. Belum zaman sarapan sereal, roti bakar, atau buah-buahan saja.
Lokasi awal kikil Bu Sugeng, kalau sekarang, di ujung Jembatan Ujung Galuh di sisi jalan Ngagel. Ya, di pinggir kali kala itu masih dikelola ibunya. “Masih sepi sekali nak waktu itu. Tidak ada kendaraan bermotor, jalan juga masih sempit dan tanah. Pembelinya rata-rata pegawai pabrik yang ada di sepanjang kali Ngagel itu,” kata Bu Sugeng suatu pagi yang dingin. Dari sana kemudian berkembang para pembeli mengajak anak dan saudaranya, dan kemudian tumbuh menjadi pelanggan loyal.
Setelah area awal mulai sempit, pindah ke seberang jalan. Kemudian geser-geser, hingga saat ini di pelatana ruko di pojok Jl. Mustika.
Kikil Bu Sugeng sudah terbukti ampuh melewati putaran waktu. Zaman yang terus berganti, namun soal selera tetap tak bias ke lain hati. Rasa memang memegang segalanya. –sa