Indonesia tidak sedang mencari pemimpin negara. Lebih jauh dari itu, negara ini membutuhkan pemimpin bangsa.
Surabayastory.com – Tidak lama lagi, Indonesia akan menentukan calon pemimpin baru dalam Pemilu 2019. Untuk itu, kita harus belajar dan mendalami sosok, jatidiri, dan Jiwa Soekarno, presiden pertama Indonesia. Indonesia sedang membutuhkan seorang bapak bangsa.
Sosok Soekarno seakan seperti sumur tanpa dasar. Ditimba setiap hari, tapi pernah ada habisnya. Dieksplorasi dari banyak sisi juga tak kunjung menciut. Soekarno justru membesar dari waktu ke waktu. Tak ada rasa bosan untuk membaca dan menggali Soekarno, tak pernah kunjung usai untuk mendalami pikiran dan sepak terjangnya yang telah mengguncang dunia. Dengan slogan ingin bangsa Indonesia tidak minder, sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia, Soekarno telah membangkitkan jiwa bangsa Indonesia sepanjang hayatnya.
Kini, saat bangsa Indonesia memasuki babak baru, dengan pemimpin baru yang lebih bekerja nyata untuk rakyat, tema dan semangat Soekarno seakan kembali merasuki jiwa bangsa Indonesia. Bangsa yang mandiri, berdikari, dan mampu berjalan dengan kepala tegak di hadapan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia, bangsa yang besar ini, kembali mencari Bapak Bangsa.
Kita seperti merasakan kerinduan terhadap figur Bung karno. Kita semua tahu kerinduan itu hanya akan menjadi sebatas kerinduan atau nostalgia, karena sang figur tak pernah bisa kembali lagi.
Tetapi orang toh banyak yang mencoba mengenangnya. Apalagi di saat banyak kalangan menggelar peringatan 100 tahun kelahirannya, 6 Juni 2001. Berbagai kegiatan dilakukan bukan hanya oleh kalangan orang kecil yang selama ini mengklaim paling berhak atas sang tokoh, tetapi juga kalangan artis, ilmuwan dan siapa saja. Maka kita lihat aneka seminar, lomba, diskusi, penerbitan buku, pamphlet, penjualan semua atribut berbau Soekarno laris bukan hanya di desa-desa, tetapi juga di kampus-kampus kota besar. Hampir semua media massa juga menyajikan laporan yang mengisahkan pribadi tokoh yang berjiwa besar ini.
Kharisma Bung Karno seperti melesat melewati batas-batas sekat sosial dan menghujam ke hati orang-orang kecil. Seorang penjual nasi di salah satu trotoar Kota Blitar mengisahkan, bersama orang-orang lain akan segera berkumpul di depan radio milik lurah untuk mendengarkan pidato Bung Karno yang memukau, menggelegar, bahasanya indah, menggetarkan syaraf, menggerakkan emosi orang kecil yang merasa disapa secara pribadi dan penuh kekuatan magis.
Bagaimana dengan generasi muda sekarang yang sama sekali tak pernah berkenalan atau dikenalkan dengan Soekarno ? Pastilah mereka punya penjelasan sendiri tentang perasaannya terhadap ini.
Sebagian besar bangsa kita saat ini beruntung meski tak pernah langsung berada dalam payungan kharismanya, tetapi memilik kesempatan yang lapang untuk mendalami pemikiran, perasaan dan mengenal perilaku dari karya-karya bukan saja yang ditulis orang lain, orang dekat, kerabat tetapi juga dari tangan Bung Karno sendiri.
Dari pribadi semacam itu rasanya kita mendapat cermin besar untuk selalu mengaca, sebab begitu nampak jelas relevan dengan keadaan kita. Mari kita ambil salah satu sisi saja soal gelar,misalnya. Kini orang begitu tergila-gila pada gelar, sehingga berlomba-lomba mendapatkannya tanpa ada jaminan sama sekali atas kualitas para pemegangnya. Sementara dalam catatan Cindy Adams, pengarang buku Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Bung Karno memiliki 26 gelar Doktor HC selama kurun waktu 1951-1965. Dan semuanya dari universitas bergengsi baik dalam maupun luar negeri. Dan lagi dengan spesifikasi gelar yang sangat jelas, karena kehebatan Bung Karno.
Rangkaian kejadian-kejadian kecil atas hidup Bung Karno juga terasa menjadi indah, karena begitu beretika dan manusiawi. Ia, misalnya, meminta putra-putrinya agar selalu mencintai orang-orang kecil. Menghormati mereka. Di samping itu juga agar berlaku sopan terhadap pengawal istana, meski pangkatnya hanya prajurit rendah. Tak boleh menyebut namanya saja, tetapi harus dengan panggilan Pak. Terhadap pembantu wanita juga harus menyapa dengan kata “Bu”.
Tetapi ada yang jauh lebih penting bagi kita sebagai bangsa ketika mengenang Bung Karno. Sebagai tokoh tentu ia paham konsekuensinya, dicintai dan dibenci. Bagi rakyat kecil yang jauh dari lingkaran kekuasaan, tentu tidak cukup paham atas kesalahan-kesalahan yang ditimpakan kepada Bung Karno. Dan karena itu akan ikhlas memaafkannya.
Satu hal yang pasti bagi masyarakat bangsa kita yang mayoritas masih hidup dalam kesengsaraan adalah kerinduan mereka pada Bung Karno, karena merasa Bung Karno ada di pihak mereka, melindungi dan menyapa.
Kepada yang tertunduk lesu lantaran minder, bermental jongos dan karenanya gampang gegeran menjadi tengadah, tegak memandang masa depan.
Meski perjalanan bangsa ini telah cukup panjang, namun agenda kita sebagai bangsa masih cukup banyak yang harus ditangani. Sementara kemampuan kita untuk menanganinya justru tiada, tertatih-tatih.
Berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat untuk mengenang Bung Karno haruslah kita sambut dengan senang hati. Hal itu haruslah kita pandang sebagai bagian dari upaya bangsa ini untuk menemukan kekuatan dan udara segar, hal yang akhir-akhir ini tak menghampiri bangsa kita. Kemampuan rakyat kecil untuk member maaf kepada siapapun termasuk para pimpinannya jelas merupakan jiwa besar yang harus kita tumbuhkan justru di saat seperti sekarang ini. –sa