Keheningan nan Tentram
Surabayastory.com – Kebahagiaan sejati merupakan kebahagiaan hakiki yang sebaiknya menjadi dasar dari segala aktivitas kemanusiaan kita. Tanpa itu segala kesenangan maupun kegembiraan yang kita rasakan hanya akan menjadi kebahagiaan relatif, bahkan mungkin semu dan palsu belaka.
Untuk memahami, mencapai dan menghayati kebahagian sejati, kita mesti memahami apa milik kita dan siapakah kita. Dengan mengetahui apa milik kita, akan kita ketahui siapa sebenarnya kita.
Sesungguhnya kita tidak memiliki apa-apa! Sekali lagi: sebenarnya kita tidak mempunyai apa-apa! Kita tidak berkuasa atas apa yang ada, baik yang ada pada kita ataupun yang kita lihat ada pada orang lain. Kepemilikan kita bersifat relatif, bahkan sebenarnya ilusif.
Maka sesungguhnya: kita tidak punya apa-apa! Bahkan apa yang kita sadari sebagai badan, pikiran dan perasaan kita hakikatnya bukan milik kita! Dan semua itu bukan kita!
Kita tidak berkuasa atas raga, jasmani, fisik, tubuh atau apapun kita menyebut badan kita tersebut. Kepemilikan dan penguasaan kita atasnya bersifat relatif dan sangat terbatas.
Dalam batas tertentu kita memang bisa menjaga kesehatan kita, namun hanya dalam batas tertentu. Kita pun dapat mengupayakan kebugaran, tetapi selalu pasti ada usaha keras penuh disiplin yang terus menerus dan tidak seketika terjadi semau kita.
Tak Punya Kuasa
Begitu halnya dengan usia. Kita tidak dapat menghentikan laju usia kita, peremajaan permanen maupun kembali ke masa kanak-kanak.
Soal kekuatan fisik? Kita sangat terbatas bukan? Bentuk, keindahan dan berat badan tidak serta merta seketika dapat kita ubah semau kita. Begitu halnya dengan fungsi organ tubuh dan penyakit yang menghampiri. Butuh upaya yang tidak sederhana untuk mengatasi gangguan penyakit dan memaksimalkan fungsi organ tubuh.
Begitu halnya dengan pikiran kita. Tidak selamanya kita mampu mengingat apa yang mau kita ingat. Logika, nalar, memory dan juga IQ tak mudah kita mengaturnya. Ketajaman analisa dalam mengolah data/informasi perlu selalu dilatih dengan tekun. Tidak selalu kita mampu membuat kesimpulan yang akurat dalam memecahkan masalah.
Demikian pula dengan perasaan. Tidak mudah mengontrol emosi, melawan rasa malas, menumbuhkan belas kasih perikemanusiaan maupun perikebinatangan. Tidak mudah mengatasi stress, depresi, frustasi, dsb. Kadang terlena oleh pujian. Kadang tersinggung oleh kritikan. Mengendalikan nafsu dan rasa cinta dalam dada? Tidak mudah bukan?
Maka sekali lagi ditegaskan bahwa kita bukanlah raga, pikiran maupun perasaan kita. Kita bukan pemilik sejati atas semua itu. Kita sesungguhnya juga tidak berkuasa atas semua itu. Kepemilikan dan penguasaan kita atasnya hanya bersifat sementara, relatif dan sangat terbatas.
Maka dengan sendirinya, kita pun tidak berkuasa atas sesama dan alam semesta. Oleh karenanya bebaskan diri dari keterikatan, kemelekatan dan ketergantungan dari apapun yang kita pikir sebagai milik kita maupun diri kita. Minimalisirlah ego, bahkan tiadakan. Dengan menerima dan menghayati kenyataan bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki apa-apa dan tidak berkuasa atas apapun, maka seketika kita akan merasakan ketentraman yang tak terbayangkan dan tak terjelaskan. Saat itulah kita telah memasuki gerbang Kebahagiaan Sejati.
Langkah berikutnya tentu saja memasuki semakin dalam kebahagiaan sejati. Gunakan semua daya kita untuk mengamati dan menganalisa “Sistem Operasional Semesta”. Hingga akhirnya apakah kita mengetahui akan adanya aturan tata tertib semesta yang senantiasa berlaku? Adanya rangkaian atas semua peristiwa? Adanya dinamika perubahan yang berlangsung terus menerus?
Apakah kita paham bahwa kita adalah bagian dari kinerja semesta? Apakah kita menyadari adanya rangkaian kesinambungan antara tindakan kita dengan alam yang berdampak bolak-balik? Hingga kita tiba pada kesimpulan bahwa ada Kecerdasan Tunggal Universal dengan Kuasa Total yang Senantiasa Berkarya secara Adil dan Konsisten yang dengan sendirinya merupakan Pemilik Sejati semuanya?
Setelah menerima keberadaanNya, apa yang dapat kita lakukan selain berserah diri kepadaNya? Dialah Tuhan.
Kita dapat mempelajari kinerja kehidupan semesta dari mikro hingga makro dan mungkin sampai pada pencapaian kesimpulan seperti Stephen Hawking yang meyakini bahwa apa yang disebut Tuhan itu tidak ada dan tidak perlu ada. Namun kita juga sangat mungkin tiba pada pencapaian Albert Einstein yang melihat keteraturan tertib Semesta Raya hingga meyakini bahwa “Tuhan tidak bermain dadu”.
Dengan mengamati manusia beserta fenomena sosial, kita dapat berpendapat seperti Friedrich Nietzsche, yang berseru: “Tuhan sudah mati. Jika belum, kita harus membunuhnya”. Atau seperti Rene Descartes yang mengawali langkah dengan meragukan segala sesuatu yang dianggap telah mapan, namun tiba pada kesimpulan akan eksistensi Ilahiah.
Dengan menganalisa kedalaman jiwa mungkin saja kita sependapat dengan Sigmund Freud yang menganggap bahwa kepercayaan kepada Tuhan tak lebih dari sebuah ilusi kanak-kanak belaka, maka sebaiknya ditinggalkan saja. Atau kita pun bisa sependapat dengan Carl Gustav Jung yang melihat bahwa Tuhan yang walau gambaran tentang-Nya sangat subyektif dalam setiap individu, tetapi merupakan fakta psikologis. Maka kehadiran-Nya memang dibutuhkan.
Kita Hanya Berserah
Bukan mengekor atau ikut-ikutan, keyakinan kita akan Yang Maha Kuasa haruslah mandiri. Karena keyakinan yang mandiri adalah sumber kekuatan. Temukan Dia dengan cara kita masing-masing.
Kesimpulan dari semua uraian di atas adalah: Dengan menerima dan menghayati bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki apapun dan tak berkuasa atas apapun,… Dan menerima serta menghayati bahwa semuanya adalah milik Tuhan dan sesungguhnya Dialah yang Maha Kuasa,… Dan kita berserah diri kepadaNya, maka kita telah berada di dalam Kebahagiaan Sejati. Karena Dialah Kebahagiaan Sejati itu.
Mari kita menjalani hidup dengan senantiasa berserah diri kepadaNya. Itulah hidup yang merdeka, yang tidak tergantung dan bergantung kepada siapapun atau apapun. Kita hanya tergantung dan mau tak mau memang tergantung kepadaNya.
Seorang teman pernah berkata, “Aku berbahagia bila anak-anakku berbahagia.” Saya pun mengomentari, “Ok, good parent, tapi kebahagiaanmu tergantung pada orang lain. Bagaimana bila anak-anakmu tidak berbahagia? Akankah engkau menderita karenanya?” Dia segera bereaksi, “Lho, masa kita tak peduli pada penderitaan orang lain, apalagi anak sendiri? Dimana kepekaan sosial kita?” Saya tersenyum, “Empati, simpati, peduli, adalah hal yang berbeda dengan bersedih hati.” ,Biri.
Bahagia sejati adalah menggantungkan hidupnya hanya kepada Yang Maha Kuasa, tidak pada yang lain, bahkan termasuk kepada anak sendiri. Oleh karenanya maka sebenarnya tidak ada apapun lagi yang perlu kita takuti dan cemaskan, karena semua dalam kekuasaan Tuhan. Berserah dirilah kepada-Nya, seketika itu kita akan berbahagia.
Ada seorang kawan lain lagi yang berkata, “Kalau mau bahagia, aku akan mendengarkan musik sambil berjoget. Hal itu membuat aku sangat bahagia.” Respon saya, “Ok, engkau berbahagia, tapi cobalah berserah diri kepadaNya, maka engkau akan merasakan jenis kebahagiaan yang sangat berbeda dengan kebahagiaan yang diperoleh lewat cara mendengarkan musik sambil berjoget.” Saya pun melanjutkan, ”Mendengarkan musik dan berjoget dalam kesadaran berserah diri pada Ilahi juga sangat berbeda rasanya dengan sekedar hanya mendengarkan musik sambil berjoget saja.”
Kebahagiaan sejati yang dimaksud di sini adalah “Keheningan nan Tentram”. Jadi bukan kebahagiaan yang meledak-ledak, euphoria, gembira berlebihan hingga lupa segala-galanya, lupa diri, menjadi lengah, hilang kewaspadaan, hingga berbuah celaka.
Rasa bahagia yang diperoleh dan langkah apapun yang diambil selanjutnya merupakan aktivitas yang disadari secara penuh, tenang, khidmat, waspada, penuh mawas diri dan selalu berorientasi kepada Yang Maha Kuasa. Tentu saja pengejawantahannya pada kebaikan bersama.
Maka juga bukan kebahagiaan yang sekedar asal bahagia. Bukan kebahagiaan tanpa kesadaran: “Semua adalah milik Tuhan yang dapat terenggut sewaktu-waktu”. Karena jika demikian, hal tersebut membuat kita tak ubahnya seperti hewan yang juga dapat merasakan bahagia walau tanpa kesadaran dan kewaspadaan.
Anak kucing (kadang juga kucing dewasa) sering bermain kejar-kejaran, bergelut, dan lainnya. Begitu pun dengan anjing. Mereka gemar bermain mengejar bola, jalan-jalan dengan pemiliknya, dan sebagainya. Lalu coba perhatikan jika pemiliknya pulang ke rumah, anjing dengan suka cita menyambutnya. Mereka juga merasakan bahagia, bukan?
Selanjutnya ada pula yang bertanya: “Bagaimana cara menghayati dalam kehidupan sehari-hari bahwa sebenarnya kita tidak punya apa-apa? Mungkin kita bisa mengakui dan menerima gagasan itu, tapi untuk menghayati dalam kehidupan sehari-hari?… Sungguh teramat sulit!”
Saya bertanya kepada banyak kawan, ”Dapatkah engkau mencintai seseorang atau sesuatu, tetapi seseorang atau sesuatu tersebut tidak dapat melukai perasaanmu?” Mereka pun menjawab, “Sulit!”
Saya pun melanjutkan, “Ok, pertanyaannya saya ubah. Maukah engkau mencintai seseorang atau sesuatu, tetapi seseorang atau sesuatu tersebut tidak dapat melukai perasaanmu? Mereka pun menjawab, “Sangat mau.”
Nah, maka pilihan kita adalah: Apakah kita akan menyerah begitu saja pada kesulitan tersebut, hingga nekat menjalin cinta dengan paket resiko derita-sengsaranya pula? Atau kita mau cari aman saja dengan tidak menjalin hubungan cinta dengan siapapun? Atau kita tetap dapat menjalin hubungan cinta dengan tetap berbahagia apapun situasinya?
Untuk memecahkan masalah itu, sebaiknya kita benar-benar memahami perihal rasa ingin memiliki dan rasa ingin mengabdi. –hs