Surabayastory.com – Kisah perjalanan hidup anak manusia bak anak panah yang melesat. Hanya bergerak maju tanpa tahu ke mana akhir akan dicapai. Dalam perjalanannya, arah maju itu bisa berbelok tertiup angin, terbentur dinding, terpelanting, jatuh, bangkit lagi. Menelusuri hambatan-tantangan kehidupan yang tiada akhir. Namun soal cinta dan rasa, manusia juga kerap tak sanggup menolaknya.
Putaran kehidupan yang menantang, juga menghinggapi dr Soetomo. Kita buka tirai sejenak, mari kita baca kisahnya.
Soetomo, salah satu pendiri Boedi Utomo di STOVIA, langsung mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, agar kontaknya dengan para nasionalis terputus, dokter kelahiran Nganjuk, 30 Juli 1888 itu pun dipindah-pindahkan tugas. Antara tahun 1911-1919, ia ditempatkan di tujuh pos berbeda di berbagai tempat di Jawa serta di Sumatra Selatan dan Sumatra Timur. Tugasnya mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam, Deli Serdang (Sumatera Utara), lalu kembali lagi ke Malang (Jawa Timur). Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda Magetan. Tahun 1912, Soetomo juga dipekerjakan di rumah sakit misionaris di Blora meski ia bukan penganut Kristen. Biasanya, Dokter Jawa yang beragama Kristen-lah yang dikirim ke klinik-klinik misionaris.
Dari Simpati dan Empati
Tugas di Blora itu memberi berkah lain. Soetomo bertemu wanita Belanda bernama Everdina Broering yang bersedih ditinggal suami. Berawal dari simpati dan empati, hubungan mereka berkembang. Mereka terus berjuang di antara banyak perbedaan. Hingga akhirnya tahun 1917, Soetomo menikahi Everdina. Tentu saja pernikahan ini kontroversial. Soetomo, yang setiap saat menggelorakan nasionalisme, ternyata malah menikahi wanita kerkebangsaan penjajah. Pun di pihak Everdina. Keluarga besarnya tidak setuju ia menikah dengan pribumi. Namun Everdina tetap pada keyakinannya hingga hubungan dengan keluarga besarnya harus terputus.
Namun, Everdina bukan tipe Belanda penjajah. Wanita kurus ini benar-benar menjadi isteri setia. Everdina rela menyediakan jamuan sederhana pada rekan-rekan Soetomo yang datang ke rumah untuk berdiskusi soal kebangsaan.
Soetomo, atas prestasinya di Indonesia, mendapat beasiswa untuk mendalami penyakit kulit dan kelamin di Belanda. Antara 1919 hingga 1923, Soetomo dan Everdina tinggal di Amsterdam dengan kehidupan sederhana dari uang beasiswa. Di Belanda, Soetomo ditemani Everdina juga bertemu dengan sejumlah pemuda pergerakan.
Kembali di Surabaya, pada 1924, Soetomo bekerja di RS Central Buggerlijk Ziekenhuis (CBZ) di Karangmenjangan. Pada saat yang sama, ia juga memberi kuliah penyakit kelamin di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) yang sudah berdiri sejak 1913. Di sela-sela bekerja dan memberi kuliah, Soetomo pada 11 Juli 1924 mendirikan Indonesische Studie Club atau Pandu Bangsa Indonesia. Kemudian, pada 1930, ia terjun ke politik dengan mendirikan Partai Bangsa Indonesia yang bertujuan memerdekakan Indonesia. Tahun 1935 terjadi fusi antara PBI dengan Boedi Oetomo –yang sama-sama diketuai Soetomo– hingga terbentuklah Partai Indonesia Raya. Tanggal 15 Mei 1937, Parindra mengadakan Konggres dan Soetomo ditunjuk sebagai ketuanya.
Perjuangan besar dr Soetomo mendapat ujian. Siapa yang akan menyangka, di tengah gemuruh semangat perjuangan, Everdina mendadak sakit. Cuaca panas dan lembab di Surabaya mempengaruhi kondisi Everdina fisik yang kelewat keras bekerja di garis belakang. Tubuhnya makin rapuh, dan dibawa ke Celaket di Malang di lereng Gunung Penanggungan, untuk mendapatkan udara lebih segar. Di tengah perjuangannya melawan penyakit tubuhnya, Everdina membantu penduduk setempat dengan memberi obat-obatan, merawat luka dan memberi bantuan uang. Sementara dr Soetomo harus tetap melanjutkan perjuangan di Surabaya. Dr Soetomo mengunjunginya setiap akhir pekan.
Namun siapa yang sanggup menolak, kondisi Everdina semakin lemah hingga akhirnya meninggal dengan tenang di pangkuan Soetomo pada 17 Februari 1934. Kehilangan besar dirasakan oleh dr Soetomo dan warha Celaket dan Surabaya yang mengenalnya.
Prosesi pemakaman isteri dr. Soetomo itu mendapat perhatian besar dari masyarakat Indonesia dan Belanda. Dr. Soetomo menulis pidato yang dibacanya saat prosesi pemakaman dengan hati hancur. Naskah pidatonya sangat indah dan romatis yang membuktikan cintanya yang teramat dalam kepada mendiang isterinya.
Everdina kemudian dimakamkan di Pemakaman Umum Kembang Kuning Surabaya. Hingga saat ini, makam itu masih bisa dijumpai.
Sepeninggal Everdina, membuat dr Soetomo seakan kehilangan sebagian jiwanya. Ia menjadi “melemah” secara perlahan. Hanya berselang empat tahun, jiwa dr Soetomo sepenuhnya menyusul Everdina. Dr Soetomo wafat pada 30 Mei 1938 dalam usia 50 tahun. Hidup Soetomo diabadikan untuk kesetiaan terhadap isteri dan bangsa Indonesia. –ik
Saya kok baru dengar ini, bahwa Dr. SUTOMO pernah bertugas di BLORA dan bertemu wanita Belanda disana yang akhirnya menjadi istri setianya….. Padahal saya hidup di Blora 9 Tahun tidak pernah mendengar kisah ini