“Setiap malam roh saya kembali ke Paris dan berkeliaran di antara rumah-rumahnya. Dan setiap pagi, saya bangun memikirkan hari-hari yang kami habiskan di tengah-tengah kuil seni dan dunia mimpi.”
- Kahlil Gibran, Letter to Youssef Howayek
Surabayastory.com – Selain New York, Kahlil Gibran juga punya kesan yang mendalam pada Paris (Prancis). Kota yang menyita banyak perhatian para penulis-penyair dunia, Paris sejak dulu telah menjadi magnet bagi para “pencipta rasa”.
Gibran menulis naskah drama pertamanya di Paris, tahun 1901 hingga 1902. Saat itu usianya baru menginjak 20 tahun. Setelah itu ia tinggal di New York City, Amerika.
Tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy hingga tahun 1910.
Naskah di bawah ini ditulis di Paris (Prancis), 6 Desember 1908. Selamat menikmati.
*****
PADA hari ini ibuku telah melahirkanku.
Hari ini adalah dua puluh lima tahun yang lalu keheningan menempatkanku di antara tangan kehidupan, yang penuh dengan tangisan, perkelahian, dan pergaulan.
Demikian dua puluh lima kali sudah aku jalan mengelilingi matahari. Namun, aku tak tahu berapa kali rembulan telah mengelilingi diriku. Juga aku belum menyingkapkan selubung rahasia kehidupan, yang juga tak kukenal benda kegelapan yang tersembunyi.
Dua puluh lima kali sudah aku berjalan bersama bumi dan rembulan serta planet mengitari Hukum Semesta.
Lihatlah kini jiwaku membisikkan nama Hukum itu laksana gua mengumandangkan debur gelombang samudra. Raganya ada di dalam raga-Nya, namun tak memahami esensi-Nya; dia mengerkan lagu pasang-surut-Nya, namun tak memahami dirinya.
Dua puluh lima tahun yang lalu rentangan tangan waktu menuliskan diriku bagai sepatah kata di buku asing dunia yang mengerikan ini. Lalu, lihatlah diriku, sebuah kata yang maknanya samar-samar dan membingungkan; kadang kala tak bermakna; kadang kala bermakna banyak hal.
Pada hari ini dari tiap-tiap tahun pikiran, renungan, dan kenangan sling berdesakan di dalam jiwaku. Mereka tegak di hadapanku bagai iring-iringan hari yang berlalu dan memperlihatkan padaku hantu malam yang telah lama meninggal. Lalu, mereka berpencar bagai angin memancarkan awan-awan yang tersesat di senja kala. Mereka mengecil dan menjadi redup di sudut kamarku bagai nyanyian arus di lembah-ngarai yang sunyi dan jauh.
Pada hari ini yang tiba tiap tahun, jiwa itulah yang telah membentuk jiwaku, bergegas menuju diriku dari seluruh penjuru bumi, melingkari diriku dengan lagu kenangan yang menyedihkan.
Lalu, dengan hati-hati mereka berlalu dan bersembunyi di balik benda yang kasat mata. Mereka laksana kawanan burung yang turun di atas sebuah lantai penebah yang ditinggalkan dan tak menemukan biji padi-padian di sana, mengambang sejenak sebelum terbang lagi ke tempat yang lain.
Pada hari ini, makna kehidupan lampauku memberontak di hadapanku bagai sebuah cermin suram yang kupandang lama namun tak melihat apa pun di sana kecuali wajah tahun yang pucat bagaikan wajah kematian; dan roman muka berkerut dari harapan, impian, serta gairah bagaikan roman muka orang jompo.
Lalu, kupejamkan mataku dan kulihat lagi untuk kedua kalinya ke dalam cermin namun tak kusaksikan apa pun kecuali wajahku;
Dan, aku memandang wajahku dan melihat suatu kesedihan di sana. Kuperiksa kesedihan ini dan ketemukan dirinya bisu, tak bisa bicara. Sesungguhnya kesedihan demikian in dapat berbicara, dia lebih manis daripada kebahagiaan.
Banyak sudah yang kucintai selama dua puluh lima tahun ini. Dan, banyak yang kucintai justru dibenci oleh orang; dan banyak yang telah kubenci justru dikagumi oleh mereka. Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai. Dan, apa yang kucintai kini akan kucintai sampai akhir hidupku. Karena cinta ialah semua yang dapat kucapai dan taka da yang akan mencabut diriku daripadanya.
Sering kali aku mencintai kematian dan menyebutnya dengan serabutan yang manis serta mencumbunya di tempat rahasia maupun umum, Kehidupan juga telah kucintai. Karena kematian dan kehidupan satu bagiku dalam keindahan, sederajat dalam kesenangan, serta pasangan dalam kerinduan dan hasratku yang tumbuh. Mereka telah berbagai antara cinta dan kelembutanku.
Aku telah mencintai kebebasan dan cintaku yang tumbuh bersama dengan tumbuhnya pengetahuanku tentang perbudakan, demi kebodohan dan penipuan. Dan, dia telah menjalar bersama pemahamanku tentang ketundukan mereka terhadap berhala yang diciptakan oleh abad kegelapan dan diasuh oleh kebodohan serta dipelitur oleh sentuhan bibir yang memujanya.
Namun, aku pun mencintai budak ini dengan cintaku yang tak terkenang. Ya, aku mengasihani mereka karena mereka butu dan mengecup bibir berdarah dari seekor hewan buas namun tiada menyadari; dan menghirup racun ulat berbisa namun tak merasakan. Mereka menggali kuburnya sendiri dengan kuku-kuku jarinya namun tak mengetahui.
Aku mencintai kemerdekaan karena telah kutemukan dirinya menjelma menjadi seorang dara yang terkucil, sakit-sakitan, dan menjadi hantu, yang gentayangan di antara gedung, berdiri di jalan dan menyuruh orang melintas, namun tak mendengar dan memperhatikannya.
Selama dua puluh lima tahun telah kucintai kebahagiaan sebagaimana yang dimiliki semua orang. Aku terbiasa bangun setiap pagi dan mencarinya sebagaimana mereka telah mencarinya. Tapi, aku taak menjumpainya di jalan mereka; pun tak kulihat jejak langkah kakinya pada pasir di luar rumah mewah mereka; pun tak kudengar gema dari suaranya yang dating dari dalam kuil-kuil mereka.
Namun, kala kucari dalam kesunyian, aku mendengar jiwaku berbisik ke telingaku, sambil berkata,:Kebahagiaan itu seorang anak yang dilahirkan dan dibawa ke kehidupan di dalam relung kalbu; dia bukan berasal dari ketiadaan.”
Dan, kala kubuka hatiku demi melihat kebahagiaan, di sana kutemukan cermin dan ranjang serta busana. Dirinya sendiri kutemukan.
Aku telah mencintai semua orang, banyak sudah aku mencintai mereka. Dalam pandanganku ada tiga jenis manusia. Dalam pandanganku ada tiga jenis manusia. Seseorang yang mengutuk kehidupan; seseorang yang memberkati; seseorang yang merenungi. Pertama, aku mencintai karena keputusasaan; kedua, karena kedermawanan; ketiga, karena pengertian.
Demikianlah puluh lima tahun berlalu. Kemudian melintaslah hari-hariku dan malam-malamku, susul-menyusul, yang satu memiringkan yang lain; rontok dari kehidupanku bagai dedaunan sebatang pohon diterpa angin musim gugur.
Dan, hari ini, hari ini aku berdiri mengenangkan laksana seorang musafir yang lelah, berdiri di tengah jalan pada jalan yang mendaki, dan aku menoleh ke sana kemari namun tiada melihat sesuatu pun dalam masa lampau kehidupanku yang dapat kubanggakan di hadapan matahari dan berkata: inilah diriku.
Pun tak kutemukan dalam musim dari tahunku panen apa pun jua kecuali lembaran yang diwarnai dengan tetesan tinta, dan asing tersebar di sana-sini, jejak yang dipenuhi dengan garis dan warna, yang harmonis dan yang tidak.
Pada halaman dan gambar yang acak-acakan ini telah kupendam dan kukuburkan perasaan, pikiran dan mimpiku sebagaimana petani membuang biji-bijian di tanah.
Namun petani yang pergi ke ladang dan menaburkan biji-bijian di tanah kembali ke rumahnya pada senja kala bersama harapan dan menantikan musim panen tiba. Tidak demikian dengan diriku. Karena telah kumuntahkan biji-bijian dari hatiku dan tiada harapan di sana, pun tiada penantian di sana.
Dan, kini aku menyaksikan masa lalu dari balik kerudung masa lampau, aku tegak dan memandang kehidupan dari jendelaku.
Kupandangi wajah orang dan mendengar suara mereka menjulang ke langit. Kudengar derap langkah kaki mereka di antara rumah kediaman dan merasakan sentuhan jiwa mereka dan gelombang dari gairah mereka serta kerinduan hati mereka.
Kusaksikan kanak-kanak bermain berlarian, berloncatan dan saling melemparkan gumpalan tanah sambil tertawa dengan riang.
Dan, anak-anak muda itu kulihat berjalan dengan langkah yang tetap, kepalanya menengadah seolah-olah mereka akan membaca sebuah puisi yang ditulis buat anak muda pada tepi awan-awan yang digarisi dengan cahaya sang surya. Dan, gadis yang berjalan melenggang bagai reranting muda dan tersenyum bagai bunga, seraya mereka memangdang anak-anak muda itu dari pelupuk mata yang berkedip bersama cinta dan gairah.
Kulihat para orang tua berjalan dengan tenang dengan tenang dengan punggung bungkuk, bertumpu pada tongkat dan memandang tanah, seolah mencari di antara celah-celah batu permata mereka yang hilang.
Lalu, aku berdiri di jendelaku dan melihat serta merenungkan citra dan bayangan ini dalam perjalanan diamnya melintasi jalan dan gang kota.
Kemudian aku memandang ke seberang kota dan menyaksikan hutan belantara dalam keindahannya yang dahsyat dan kebisuan yang bersuara, serta bukit kecil yang menjulang dan lembah-ngarai yang sempit. Pepohonan tegak dan rerumputan bergoyang lembut dan semerbak bunga; sungai berdendang dan kawanan burung berkicau.
Aku memandang ke seberang hutan belantara, kulihat samudra dengan kedalaman yang sungguh menakjubkan dan mengagumkan, rahasia dan benda terdalamnya. Gelombangnya yang berbuih dalam kemarahan dan cemoohannya; percikan dan busanya; naik dan turunnya. Semua ini telah kusaksikan
Dan, aku memandang seberang samudra, dan aku merasakan angkasa tak terbatas beserta planet yang mengapung di angkasa, dan bintang serta matahari dan rembulan yang bersinar cemerlang. Dan, planet serta bintang tetap, dan semua kekuatan yang menentang dan mendamaikan dari daya tarik dan daya tolak telah kusaksikan. Tunduk kepada suatu Hukum sementara yang tiada berawal dan tiada berakhir.
Melalui jendelaku kusaksikan dan kurenungkan benda ini serta kulupakan dua puluh lima tahunku dan abad yang telah mendahului serta abad yang mengikuti. Dan, tubuhku serta kehidupanku terejawantah di hadapanku, timbul tenggelam, bagai hantu dari seorang bocah yang mengeluh, menggigil di keluasan angkasa yang lestari. Dan, aku merasakan eksistensi hantu, roh, esensi, diri ini yang kupanggil “Aku”. Aku merasakan yang menggemparkan dan mendengar keriuhannya. Kini dia mengangkat sayapnya ke angkasa dan mengulurkan tangannya ke seluruh penjuru, dan terayun-ayun gemetar pada hari ini yang menuntun dia menuju ke kehidupan. Kini dengan suara yang berasal dari kekudusannya yang paling kudus, dia meratap.
“Kedamaian, o kehidupan. Kedamaian, o yang terjaga. Kedamaian, o penglihatan.
“Salam padamu, o siang hari, yang cahayanya menaklukkan kegelapan bumi. Salam padamu, o malam hari, yang kegelapannya menyingkapkan cahaya dari cakrawala.
“Salam padamu musim semi, yang memperbarui keremajaan bumi; musim panas, yang memperkaya kemegahan matahari. Salam buat musim gugur, pemberi bebuahan kerja dan ganjaran kerja keras; pada musim dingin, yang membawa kembali kekuatan alam di dalam praharanya.
“Kepada tahun yang menyiapkan dari yang telah tahun sembunyikan. Kepada abad yang telah memperbaiki kesalahan abad: salam.
“Kedamaian, o waktu, yang membawa kami maju menuju kesempurnaan. Dan, damai untukmu, roh yang membimbing, yang menguasai kehidupanku; yang bersembunyi dari kita di balik kerudung matahari.
“Damai dan salam untukmu, o kalbu, karena kau bersemedi seraya tetap menguasai dengan tangisan.
“Dan, untukmu, wahai bibir, salam dan damailah, karena sesungguhnya kau yang menghaturkan kedamaian sambil tetap merasai kegetiran.
*****