Rabindranath Tagore berpihak pada humanisme yang dibalut sastra dan eksotika kata-kata.
Surabayastory.com – Sebuah ekstravaganza sastra dari Rabindranath Tagore salah satu penyair terhebat India dan komposer lagu kebangsaan India yang merdeka, juga Bangladesh. Pengetahuannya luas tentang setiap subjek yang berkaitan dengan aspek spiritual, humanism, dan semesta. Menurutnya, fisik dari alam dan manusia, ada hanya untuk tujuan penciptaan daripada produksi.
Rabindranath Tagore adalah Pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra (1912). Ia berhasil menulis dalam semua genre sastra. Ia seorang penyair, menerbitkan lebih dari 50 volume puisi. Dia adalah seorang penulis Bengali yang lahir di Calcutta dan kemudian bepergian ke seluruh dunia. Dia dianugerahi gelar bangsawan pada tahun 1915, tetapi menyerahkan kembali gelar bangsawannya setelah pembantaian demonstran di India pada tahun 1919.
Creative Unity (Kesatuan Kreatif) adalah salah satu karya terhebat Tagore. Ini adalah salah satu bagiannya. Mari kita nikmati….
*****
Dalam sebuah buku Sansekerta tua terdapat sebuah sajak yang menjelaskan unsur-unsur yang esensial dari sebuah lukisan. Yang pertama adalah Viùpa- bhédáh – “keterpisahan bentuk-bentuk”. Bentuk-bentuk itu banyak jumlahnya, bentuk-bentuk itu beragam, masing-masing memiliki batasnya. Tetapi ini jika absolute, jika semua bentuk terpisah dengan kaku, maka akan ada suatu kesepian majemuk yang mengerikan. Tetapi bentuk-bentuk yang beragam, justru dalam keterpisahan mereka, harus membawa sesuatu yang menunjukkan paradoks dari kesatuan puncak mereka karena, kalau tidak maka tidak ada nada penciptaan.
Maka dalam sajak yang sama itu, setelah dijelaskan tentang keterpisahan datang penjelasan tentang Pramanani- proporsi-proporsi. Proporsi menunjukkan hubungan, asas dari saling menyesuaikan. Sebuah kaki yang dipisahkan dari tubuh tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi, sebagai sebuah anggota tubuh, ia memiliki tanggung jawab kepada kesatuan hidup yang mengatur tubuh; ia harus berlaku dengan benar, ia harus menjaga proporsinya. Jika, dengan sebuah kerakusan fisiologi yang mengerikan, ia bisa tumbuh lebih cepat dari kaki yang lain, maka kita tahu gambaran seperti apa yang tampak di mata para penonton dan kerepotan apa yang akan ditimbulkan kepada tubuhnya sendiri. Suatu upaya untuk mengatasi hukum proporsi sepenuhnya dan mendesakkan keterpisahan absolut adalah pemberontakan, artinya akan dihukum oleh lainnya atau tetap terpisah.
Kata Sansekerta yang sama, yaitu Pramanani, yang dalam buku estetika berarti proporsi, dalam buku logika yang berarti bukti yang dipakai untuk membuktikan kebenaran suatu dalil. Semua bukti tentang kebenaran adalah bukti-bukti hubungan. Fakta yang individual harus menghasilkan bukti-bukti itu guna memperlihatkan bahwa mereka tidak terasing, bahwa mereka bukan suatu sempalan dalam kesatuan dari keutuhan, hubungan logis yang ada dalam suatu dalil intelektual, dan hubungan estetik yang ditunjukkan dalam proporsi suatu karya seni, keduanya sepakat tentang satu hal. Mereka menegaskan bahwa kebenaran itu terdapat bukan dalam fakta melainkan keselarasan fakta itu. Mengenai pemikiran dasar tentang realitas dikatakan oleh penyair, “ keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan”.
Proporsi, yang membuktikan relativitas, membentuk bahasa luar dari cita-cita kreatif. Sekelompok manusia itu tidak teratur tetapi dalam barisan serdadu setiap orang menjaga proporsi waktu dan ruangnya dan gerakan relatifnya, yang membuatnya bersatu dengan keseluruhan pasukan yang besar itu. Tetapi ini belum semuanya. Penciptaan suatu pasukan memiliki satu gagasan tunggal dari jendralnya sebagai asas internal. Menurut sifat dari gagasan pengatur itu, sebuah produksi adalah suatu karya seni atau hanyalah konstruksi semata. Semua material dan aturan dari suatu perusahaan perseroan memiliki kesatuan suatu motif internal. Tetapi ekspresi kesatuan ini sendiri bukanlah tujuannya; ia selalu menunjukkan suatu tujuan tersembunyi. Di sisi lain, pengungkapan suatu karya seni adalah suatu pemenuhan itu sendiri.
Kesadaran akan kepribadian, yang merupakan kesadaran akan kesatuan dalam diri kita sendiri, menjadi sangat menonjol ketika diwarnai oleh kebahagiaan atau kesedihan, atau emosi lainnya. Seperti langit, yang tampak karena ia biru, dan yang mengambil aspek yang berbeda sesuai dengan perubahan warna-warna. Karena itu dalam penciptaan seni, energi dari suatu cita-cita yang emosional itu diperlukan; karena kesatuannya bukanlah seperti kesatuan dari suatu kristal yang pasif dan statis, melainkan ekspresif aktif. Timbanglah, misalnya sajak berikut:
Oh, jangan terbang kesenangan, kesenangan yang besar hati,
Lipatlah sayap-sayapmu,aku mohon, diamlah dulu,
Karena hatiku tidak tahu ukuran
Juga harta lain
Untuk membeli sebuah karangan bunga bagi cintaku hari ini.
Dan engkau pun, kesedihan,kesedihan yang lembut,
Engkau yang berduka bermata coklat, jangan terbang dulu.
Karena aku ingin meminjam
Semak kesedihanmu esok hari
Untuk membuat karangan duka bagi cintaku yang kemarin.
Kata-kata dalam kutipan ini, kalau hanya menunjukkan jumlah ketukan, tidak akan menarik hati kita, dengan segala kesempurnaannya dan proporsinya, irama dan ketukannya, ia hanya akan menjadi sebuah konstruksi. Tetapi ia merupakan tubuh luar dari suatu gagasan batin, maka ia menyandang suatu kepribadian. Gagasan mengalir melalui ritme, meresapi kata-kata dan bergetar dalam naik dan turunnya. Di sisi lain gagasan dari puisi yang dikutip dari atas, yang diungkapkan dalam prosa tak bersajak, hanya akan merupakan suatu kenyataan yang statis dan diam, yang tidak layak dihafalkan. Tetapi gagasan emosional, yang terwujud dalam suatu bentuk ritmis, memperoleh suatu kualitas dinamis yang diperlukan oleh semua yang ikut serta dalam arak-arakan megah abadi dari dunia.
Misalnya pantun di bawah ini:
Tiga puluh hari di bulan September,
Bulan April, Juni, dan November.
Jumlah ketukan yang cocok, dan ia merangsang gerakan kehidupan. Tetapi tidak menemukan tanggapan sinkron dalam ketukan jantung kita; ia tidak memiliki gagasan hidup pada intinya yang menciptakkan suatu kesatuan tak terpecahkan bagi dirinya sendiri. Ia seperti sebuah tas yang boleh dipakai atau tidak, dan bukan seperti sesosok tubuh yang tidak bisa ditolak.
Kebenaran ini, yang tersirat dalam karya-karya seni kita, member kita petunjuk ke arah misteri penciptaan. Kita menemukan bahwa ritme-ritme dunia yang tanpa akhir bukan hanya konstruktif; mereka memetik dawai-dawai hati kita dan menghasilkan musik.
Jadi, kita merasakan bahwa dunia ini adalah sebuah penciptaan; bahwa dalam intinya terdapat suatu gagasan hidup yang mengungkapkan dirinya dalam suatu simfoni abadi, dimainkan pada instrumen-instrumen yang tak terbilang jumlahnya, semua bermain pada ketukan yang benar. Kita tahu bahwa sajak dunia yang agung ini, yang meluncur dari langit ke langit, tidak dibuat hanya untuk menyebutkan fakta-fakta- ia bukan “ tiga puluh hari di bulan September”- ia memiliki ungkapan langsungnya dalam kegembiraan kita. Kegembiraan ini member kita kunci menuju kebenaran eksistensi; ia adalah kepribadian yang bertindak pada kepribadian-kepribadian melalui manifestasi yang terus menerus. Pengacara tidak bernyanyi kepada kliennya, tetapi pengantin pria bernyanyi kepada pengantin putri. Dan ketika jiwa kita digerakan oleh lagunya, kita tahu ia tidak meminta upah dari kita; tetapi ia membawa persembahan cinta dan panggilan sang pengantin pria.
Boleh dikatakan bahwa dalam seni lukis dan seni lainnya terdapat beberapa desain yang sepenuhnya dekoratif dan tanpaknya tidak memiliki ekspresi hidup atau nilai-nilai batin. Tetapi ini tidak benar. Dekorasi-dekorasi membawakan motif emosional si seniman yang berkata: “ aku menemukan kebahagiaan dalam ciptaanku; ini bagus.” Semua bahasa kebahagiaan adalah keindahan namun perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan adalah kesenangan, dan keindahan bukan hanya kecantikan semata. Kebahagiaan adalah hasil dari penjauhan diri dan hidup kebebasan roh. Keindahan adalah ekspresi realitas yang memuaskan hati kita tanpa iming-iming selain nilai puncaknya sendiri. Ketika dalam saat-saat kegairahan murni kita menyadari hal ini dalam dunia sekeliling kita, maka kita lihat dunia, bukan hanya eksis semata, melainkan dalam bentuknya, suaranya dan garis-garisnya yang didekorasi; kita merasakan dalam hati kita bahwa satu adalah engkau yang dalam semua hal meproklamasikan: “Aku menemukan kebahagiaan dalam ciptaanku”.
Itulah kenapa sajak Sansekerta itu telah memberi kita bukan hanya kemajuemukan bentuk-bentuk dan kesatuan proporsi-proporsinya sebagai unsur-unsur esensial sebuah lukisan, tetapi juga bhvah, gagasan emosional.
Tidak perlu dikatakan bahwa tidak ada kriteria seni yang didasarkan hanya pada ekspresi emosi semata meski ekspresinya yang terbaik. Puisi berikut dijelaskan oleh penyairnya sebagai “Suatu permohonan kepada Cintanya yang Kejam”:
Dan akankah engkau meninggalkan aku begini saja?
Katakan tidak, katakan tidak, malulah!
Menyelamatkan engkau dari kesalahan
Semua sedih dan piluku.
Dan akankah engkau meninggalkan aku begini?
Katakan tidak, katakan tidak!
Aku yakin bahwa si penyair tidak akan marah bila aku menyatakan kesangsian-kesangsianku tentang kesungguhan permohonannya, atau kebenaran dari kebutuhannya yang sungguh-sungguh. Dia bertanggung jawab untuk liriknya dan bukan perasaannya, yang hanyalah material belaka. Api mengambil warna-warna yang berbeda sesuai dengan bahan bakar yang dipakai; tetapi kita tidak membahas bahan bakarnya, hanya apinya. Sebuah lirik itu jelas lebih dari perasaan yang diekspresikan di dalamnya, seperti juga sekuntum mawar lebih dari sekedar substansinya.
Marilah kita lihat sebuah sajak dalam mana kesungguhan perasaan itu lebih lanjut dan lebih dalam ketimbang yang aku kutip di atas:
Matahari,
Menutup berkatnya, tenggelam dan udara yang menyuram
Bergetar dengan perasaan malam yang menang,~
Malam dengan jubah bintang-bintangnya
Dan anugerah tidurnya yang agung
Hendaknya demikianlah aku berlalu!
Tugasku selesai dan siang sudah lama berlalu
Upahku sudah kuambil, dan dalam hatiku
Biarlah aku undur ke Barat yang tenang,
Senja indah nan agung
Kematian.
Perasaan yang diekspresikan dalam puisi ini adalah suatu subyek bagi seorang psikolog. Tetapi bagi sebuah puisi subyeknya sepenuhnya lebur dalam puisi, seperti arang dalam sebuah pohon hidup yang tidak terlihat oleh para pecinta pohon, terserah pada pembakar arang untuk menemukannya.
Itulah kenapa, ketika suatu topan perasaan menyapu negara, seni dirugikan. Dalam suasana seperti itu nafsu yang bergejolak mendobrak jajaran keselarasan dan mengemukakan dirinya sebagai subjek, yang dengan besarnya dan tekanannya menjungkirkan kesatuan penciptaan. Untuk alasan yang sama kebanyakan hymne-hymne yang dipakai digereja-gereja tidak puitis. Karena dalam hymne itu subjeknya dipentingkan, sehingga membekukan atau mematikan puisi. Kebanyakan puisi-puisi patriotik memiliki kekurangan yang sama. Mereka seperti aliran-aliran sungai dari bukit yang dilahirkan oleh hujan tiba-tiba, yang lebih bangga pada dasar sungai mereka yang berbatu ketimbang pada arus airnya; dalam diri mereka, subjek yang atletis dan arogan menganggap pasti bahwa puisi itu bagi mereka adalah kesempatan untuk memamerkan kekuatannya. Subjek adalah kekayaan material yang untuknya puisi jangan sampai tergoda untuk menukarkan jiwanya, walau godaan seperti itu harus datang dalam nama dan bentuk kemaslahatan umum atau suatu kemanfaatan. Antara seniman dengan seninya harus ada keterpisahan sepenuhnya yang merupakan medium dari cinta. Dia tidak boleh menggunakan cinta ini kecuali demi ekspresinya sendiri yang sempurna.
Dalam kehidupan sehari-hari, kepribadian kita bergerak dalam suatu lingkaran sempit kepentingan –diri yang terdekat. Dan karena itu, perasaan-perasaan dan peristiwa-peristiwa kita, di dalam jangkauan yang pendek itu. Menjadi subyek menonjol bagi kita. Dalam ekspresi-diri mereka yang kuat, mereka mengabaikan kesatuan mereka dengan semua. Mereka bangkit bagaikan halangan-halangan dan menutupi latar belakang mereka sendiri. Tetapi seni memberi kepribadian kita kebebasan abadi yang tak memihak, dan di sana menemukan hal itu sebagai perspektif sejatinya. Melihat rumah kita sendiri terbakar api bukanlah berarti kita melihat api itu dalam bentuk sejatinya. Tetapi api di bintang-bintang adalah api di dalam inti dari yang Tak-Terhingga; di sana, api adalah skenario penciptaan.
Matthew Arnold, dalam puisinya yang ditujukan kepada burung bulbul, bernyanyi:
Dengar! Ah, bulbul~
Berleher kuning coklat!
Dengar, dari pohon cadar dalam cahaya bulan
Dengar nyanyiannya!
Nyaringnya! Dengar!~ pedihnya!
Tetapi kepedihan, ketika ditemui didalam batas-batas realitas terbatas, menampik dan menyakiti; ia tidak selaras dalam cakup sempit kehidupan. Tetapi kepedihan dari suatu kesyahidan besar yang dilunakkan oleh keabadian. Ia muncul dalam semua keagungannya, selaras dalam konteks kehidupan abadi; seperti kilat-petir dilangit bertopan, bukan pada kawat laboratorium. Kepedihan pada skala itu memiliki keselarasannya dalam cinta agung; karena dengan menyakiti cinta ia mengungkapkan ke tak terhinggaan cinta dengan segala kebenaran dan keindahannya. Sebaliknya, kepedihan yang terlihat dalam kebangkrutan bisnis itu tidak selaras, ia membunuh dan membakar sampai tidak ada sisa kecuali abu.
Penyair bernyanyi lagi:
Betapa padat nyanyian menyerbu menembus daun-daun!
Nafsu abadi!
Pedih abadi!
Dan kebenaran kepedihan dalam keabadian telah di nyanyikan oleh penyair-penyair Veda yang berkata, “Dari kebahagiaan muncul semua penciptaan.” Mereka berkata:
Sa tapas tapatvá sarvam asrajata yadidam kincha
(Tuhan dari inti kepedihannya menciptakan semua yang kini ada.)
Pengorbanan, yang terdapat dalam inti dari penciptaan, adalah kebahagiaan dan kepedihan sekaligus pada saat yang sama. Tentang ini, menyanyilah seorang mistik desa di Benggala:
Mataku tenggelam dalam kegelapan kebahagiaan,
Hatiku, seperti teratai, mengatupkan kelopaknya dalam kebahagiaan malam gelap.
Lagu ini berbicara tentang sebuah kebahagiaan yang dalam seperti laut biru, tak terbatas seperti langit biru; yang memiliki keagungan malam dan dalam kegelapannya yang tak –terhingga itu melingkupi dunia-dunia yang bersinaran dalam kedamaian yang mencekam; ia adalah kebahagiaan terdalam dalam mana semua penderitaan menjadi satu.
Seorang penyair Abad Pertengahan India mengatakan tentan sumber ilhamnya dalam sebuah puisi yang berisi sebuah pertanyaan dan sebuah jawaban:
Di manakah lagu-lagumu, burungku, ketika engkau habiskan malam-malammu dalam sarang?
Bukankah segala kesenanganmu tersimpan di dalamnya?
Apa yang membuatmu melepaskan hatimu ke langit-langit yang tak terbatas itu?
Burung menjawab:
Aku nikmati kesenanganku saat beristirahat dalam sarang.
Ketika aku melayang ke ketak terbatasan, aku temukan lagu-laguku!
Untuk melepaskan gagasan individual dari kurungan fakta sehari-hari dan member kebebasan semesta kepada sayap-sayap terbangnya: inilah fungsi puisi. Ambisi Macbeth, kecemburuan Othello,paling-paling akan merupakan sensasi dalam proses kepolisian; tetapi dalam drama-drama Shakespeare-lah mereka terbawa di antara konstelesi-konstelesi yang menyala-nyala di mana penciptaan bergetar dengan nafsu abadi, kepedihan abadi. (*)