Kangen pada kenangan masa lalu?
Cari inspirasi untuk menyampaikan nilai-nilai lewat dongeng pada anak-anak?
Ini jawabnya!
Cerita (story) ini adalah salah satu karya mahsyur Hans Christian Andersen, seorang legenda dongeng dunia. Karya-karyanya telah dinikmati milyaran anak dari berbagai penjuru dunia dan dari beberapa generasi. Puisi, cerpen, dan novelnya telah diterjemahkan ke lebih dari 150 bahasa. Dongengnya telah menginspirasi drama, balet, gambar gerak, films animasi, dan banyak lagi.
*****
Surabayastory.com – Di ujung suatu desa kecil di Denmark, ada sebuah rumah. Di bagian atas rumah itu, ada keluarga burung bangau bersarang. Ibu bangau duduk di dalam sarang bersama empat bangau muda anaknya. Untuk berebut makanan dari sang induk, bangau-bangau kecil itu mengulurkan leher dan paruh mereka. Paruh mereka masih berwarna hitam dan belum berubah menjadi merah seperti paruh induknya. Agak jauh dari sarang, tapi tetap di bagian atap rumah, berdiri ayah bangau. Ia berdiri tegak, kaku dan nyaris diam. Ia mengangkat satu kaki, dan berdiri dengan satu kaki lainnya. Kaki yang panjang dan langsing itu begitu kuat menahan seluruh tubuhnya, sehingga tampak seolah-olah dipahat di kayu. “Pasti hebat sekali istriku menjadi pengurus sarang,” pikir dia, sambil terus berdiri dengan satu kaki.
Sementara itu, di jalan desa di bawah rumah, sejumlah anak manusia sedang bermain. Ketika melihat sejumlah bangau di atap rumah, salah satu anak yang paling berani mulai menyanyikan lagu olok-olok. Serta-merta, nyanyian olok-oloknya disusul anak-anak yang lain. Syair lagunya berbeda-beda menurut apa yang terlintas di benak masing-masing anak. Namun, kira-kira inti kata-kata lagunya adalah sebagai berikut;
“Hai bangau, hai bangau, terbanglah pergi,
Janganlah kau hanya berdiri di satu kaki,
Lihat istrimu yang ada di dalam sarang,
Dengan anak-anak sedang berdendang.
Kami akan menjerat yang pertama,
Setelah itu, menggoreng yang kedua,
Kemudian, kami tembak yang ketiga,
Dan akhinrya kami panggang sisanya.”
“Dengar, apa yang dinyanyikan anak-anak manusia itu,” kata seekor anak bangau; “Mereka mengatakan kita akan dijerat, digoreng, ditembak, dan dipanggang.”
“Ah…., jangan pedulikan apa yang mereka katakan; Kalian tidak perlu mendengarkan,” kata induk bangau. “Mereka tidak bisa membahayakan kita.”
Namun, anak-anak manusia itu terus bernyanyi berolok-olok sambil menunjuk-nunjuk ke arah burung-burung bangau –kecuali salah satu dari mereka yang bernama Peter. Si anak baik ini justru berkata, “Kalian memalukan sekali, mengolok-olok binatang.” Peter sama sekali tidak mau ikutan teman-temannya yang memperolok burung-burung bangau.
Di atas atap, ibu bangau terus menghibur anak-anaknya. Ia juga meminta anak-anaknya tidak menghiraukan nyanyian olok-olok dari bawah. “Lihat…,” katanya, “… ayahmu tetap bisa tenang berdiri, meski ia hanya menggunakan satu kaki.”
“Tapi kami sangat ketakutan,” kata anak-anak bangau itu, dan mereka menyembunyikan kepala ke dalam sarang.
Keesokan harinya, ketika anak-anak manusia kembali bermain bersama di bawah, dan melihat burung-burung bangau di atas atap rumah, mereka kembali menyanyikan olok-olok;
“……..
Kami akan menjerat yang pertama,
Setelah itu, menggoreng yang kedua,
…………”
“Apakah kita akan benar-benar dijerat dan digoreng?” tanya anak-anak bangau.
“Tidak. Tentu saja, tidak,” kata Sang Ibu. “Aku akan mengajari kalian untuk terbang. Kalau kalian sudah selesai belajar, kita akan terbang ke padang rumput, lalu mengunjungi katak-katak. Mereka akan menundukkan diri pada kita di dalam air, lalu berteriak ‘kroak… kroak’. Kemudian, kita akan makan mereka. Sungguh menyenangkan.”
“Lalu, apa setelah itu?” tanya anak-anak bangau.
“Lalu…,” jawab sang induk, “… semua bangau di kawasan ini akan berkumpul bersama-sama, dan terbang dengan manuver besar musim gugur. Karena itu, sangat penting bagi kalian untuk mengetahui bagaimana terbang dengan baik saat ada seleksi rombongan nanti. Jika tidak, sang pimpinan bangau akan mematuk kalian dengan paruhnya. Kalian bisa terbunuh kalau tidak bisa terbang dalam kelompok. Karena itu, kalian harus rela bersusah payah untuk belajar terbang, sehingga siap ketika waktunya dimulai.”
“Berarti, kita mungkin saja tetap akan terbunuh seperti yang dinyanyikan anak-anak manusia itu. Tuh, dengar! Mereka bernyanyi lagi.”
“Dengar baik-baik ucapan Ibu, jangan dengar mereka,” kata ibu bangau. “Setelah berhasil melakukan penerbangan besar, kita akan sampai ke daerah-daerah jauh dari sini yang cuacanya hangat dan tidak ada salju. Kita akan menemukan gunung-gunung dan hutan. Kita akan sampai di Mesir. Kita akan bisa melihat rumah-rumah besar yang dibangun dari batu. Rumah-rumah itu berbentuk segitiga, dengan ujung lancip atasnya bisa menjangkau awan. Rumah-rumah itu disebut Piramid. Usia mereka jauh lebih tua daripada yang pernah dibayangkan setiap bangau. Di Mesir juga ada sungai yang airnya sering meluap menggenangi tepiannya, dan kemudian surut kembali dengan meninggalkan lumpur. Di sana kita dapat berjalan-jalan, dan makan katak yang berlimpah-ruah.”
“Oh, o-h!” seru anak-anak bangau.
“Ya, itu tempat yang menyenangkan. Sepanjang hari, kita tidak perlu melakukan apa-apa kecuali makan dan terus makan. Nah, saat nanti kita akan sangat berkecukupan di sana, di sini bakal tidak ada lagi satu pun daun hijau pada pohon-pohon. Cuaca di sini akan begitu dingin sehingga awan membeku, dan jatuh ke bumi seperti serpihan kain putih kecil.”
Ibu bangau itu ingin bercerita tentang bentuk salju, tapi ia tidak menemukan cara yang lain untuk menjelaskannya. Ia juga ingin menjelaskan tempat tinggalnya sekarang di Denmark di benua Eropa yang selalu berselimut salju ketika musim dingin. Ia juga ingin menjelaskan Mesir di benua Afrika yang tidak mengenal salju di musim apa pun.
Tapi, perhatian para anak bangau masih tertuju pada masalah yang mereka hadapi saat itu. “Apakah anak-anak manusia yang nakal itu juga membeku lalu pecah berkeping-keping?”
“Tidak. Mereka tidak akan beku dan pecah berkeping-keping,” kata sang ibu, “Tetapi mereka akan menjadi sangat kedinginan, sehingga mereka diharuskan duduk sepanjang hari dalam kamar yang gelap, yang suram. Pada saat yang sama, kita akan beterbangan di wilayah yang jauh dan asing, di mana ada bunga-bunga dan sinar matahari yang hangat.”
*****
Waktu pun berlalu, dan anak-anak bangau itu sudah tumbuh begitu besar sehingga mereka bisa berdiri tegak di atas sarang dan bisa memandangi diri mereka sendiri. Sang ayah setiap hari membawakan mereka katak gemuk, ular kecil, dan segala jenis makanan yang ia bisa temukan. Kemudian, ia sesekali merasa betapa lucunya melihat permainan yang ia tampilkan untuk menghibur para bangau muda. Misalnya, ia meletakkan kepalanya yang cukup bulat itu di atas ekornya, dan mengoceh dengan paruhnya. Kemudian, ia juga bercerita pada mereka tentang rawa-rawa dan semak-semak di sekitar Denmark.
Lalu, pada suatu hari, si Ibu berkata. “Ayo…., sekarang waktunya bagi kalian untuk belajar terbang.”
Keempat bangau muda itu diwajibkan keluar dari sarang di atap rumah. Oh, betapa mereka tertatih-tatih pada awalnya. Mereka diwajibkan menyeimbangkan diri dengan sayap. Jika tidak, mereka akan jatuh ke tanah di bawah sana.
“Perhatikan aku,” kata si Ibu, “Kalian harus menahan kepala seperti begini, dan menata kaki seperti begitu. Satu, dua,… satu, nah seperti itu. Sekarang kalian akan segera dapat menjaga diri sendiri di dunia ini.”
Kemudian ibu bangau terbang agak jauh dari mereka. Anak-anak pun melakukan lompatan untuk mengikutinya. Tapi, mereka jatuh. Rupanya tubuh mereka masih terlalu berat.
“Aku tidak mau terbang,” kata salah satu bangau muda, sambil merayap kembali ke sarang. “Aku tidak peduli tentang pergi ke kawasan-kawasan yang bercuaca hangat.”
“Apakah kau ingin tinggal di sini dan membeku saat musim dingin tiba?” kata ibunya, “Atau, sampai anak-anak manusia datang untuk menangkapmu, atau memanggangmu? Kalau itu maumu, aku akan panggil mereka.”
“Oh, tidak, jangan… jangan,” kata si bangau muda, sambil melompat ke atap, diikuti saudara-saduaranya.
Sekarang, mereka semua jadi lebih penuh perhatian. Maka, pada hari ketiga, mereka mulai bisa terbang sedikit. Lalu, mereka mulai merasa senang karena bakal bisa terbang tinggi, sehingga mereka berusaha keras melakukannya, dengan bertumpu pada sayap-sayap muda mereka. Tapi mereka jatuh lagi, dan harus mengepakkan sayap secepat mungkin. Begitu terus hingga beberapa kali.
Kemudian, anak-anak manusia datang lagi di jalan dan menyanyikan lagu olok-olok mereka:
“Hai bangau, hai bangau, terbanglah pergi,
Janganlah kau hanya berdiri di satu kaki,
………..”
“Haruskah kita terbang ke bawah, dan mematok mata mereka?” tanya seekor bangau muda dengan nada tinggi.
“Ah, tidak usah. Jangan ganggu mereka,” kata ibunya. “Dengarkan baik-baik; masih ada hal yang jauh lebih penting daripada olokan anak-anak manusia itu. Belajar terbang adalah jauh lebih penting. Sekarang, satu, dua, tiga,… ke kanan. Sekarang, satu, dua, tiga, ke kiri. Terbang ke sekeliling cerobong asap. Nah, itu bagus. Bagian terakhir dari kelepak sayap itu begitu mudah dan anggun. Kalau sudah begitu, aku izinkan kalian terbang besok ke rawa-rawa. Akan ada jumlah lebih banyak bangau di sana bersama keluarga. Aku berharap kalian menunjukkan pada mereka bahwa anak-anakku sudah dibesarkan sebaik mungkin. Kalian harus membusungkan dada dengan bangga. Itu akan tampak lebih baik dan membuat kalian dihormati.”
“Tapi, apa kita tidak perlu menghukum anak-anak manusia yang nakal itu?” tanya seekor bangau muda.
“Tidak usah lah. Biarkan mereka berteriak-teriak sebanyak yang mereka suka. Sekarang, kalian sudah terbang meninggalkan mereka. Kalian bisa terbang tinggi ke tengah-tengah awan, dan akan tiba di negeri piramida, ketika anak-anak manusia itu membeku dan tak punya daun hijau pada pohon atau apel untuk dimakan.”
Tapi, para bangau muda itu masih jengkel pada anak-anak manusia. Ketika kembali bergabung untuk latihan, mereka saling berbisik, “Kita akan balas dendam sendiri nanti.”
Dari semua anak manusia di jalan yang menyanyikan lagu ejekan tentang bangau, tidak ada yang begitu bertekad meneruskannya selain anak yang pertama kali memulainya. Yang lain hanya ikut-ikutan dan bernyanyi sekadarnya. Anak yang selalu usil memperolok bangau-bangau itu masih kecil dan usianya tidak lebih dari enam tahun. Meski demikian, bagi bangau-bangau muda, anak kecil itu tampak setidaknya seratus kali lipat lebih besar. Itu karena si anak manusia berukuran jauh lebih besar daripada induk bangau. Itu karena bangau tidak tahu perkembangan usia anak-anak dan manusia dewasa. Tak pelak, para bangau muda bertekad membalas dendam pada anak ini, karena ia lah yang mulai olokan dan melanjutkannya hingga sekarang. Bangau-bangau muda itu sangat marah pada anak itu, dan semakin marah ketika mereka semakin besar. Saking kuat amarah mereka, sampai-sampai si induk bangau tak kuasa menahan niatan dendam anak-anaknya. Akhirnya, sang induk bangau berjanji bahwa mereka boleh membalas dendam –tapi itu baru boleh dilakukan sesaat menjelang keberangkatan mereka dalam perjalanan panjang ke negeri hangat.
“Kita harus lihat dulu bagaimana kalian lolos seleksi saat menggabungkan diri ke dalam barisan besar,” kata induk bangau. “Jika kalian tidak bisa lolos, maka pimpinan rombongan akan mematuk kalian. Itu bisa membuat kalian mati seperti yang dikatakan anak manusia itu, meski caranya tidak persis sama. Jadi, kita harus tunggu dan lihat dulu.”
“Ibu akan bisa lihat nanti,” kata anak-anak bangau itu, lalu mereka berusaha keras berlatih setiap hari, sehingga akhirnya mereka senang karena bisa terbang begitu ringan dan lembut.
Akhirnya, musim gugur mulai datang. Semua bangau mulai berkumpul bersama-sama sebelum berangkat terbang ke kawasan yang lebih hangat selama musim dingin di Eropa. Maka, seleksi barisan terbang pun dimulai. Burung-burung bangau terbang beriringan dalam rombongan besar di bawah komando bangau paling kuat yang terbang di depan. Rombongan itu terbang di atas hutan-hutan dan desa-desa untuk menunjukkan apa yang mereka bisa lakukan, karena mereka akan mengikuti perjalanan panjang beberapa saat kemudian. Para bangau muda itu pun melakukan tugas mereka dengan baik. Selain lolos seleksi, mereka bahkan menerima tanda kehormatan berupa hadiah katak dan ular. Hadiah ini adalah bagian terbaik dari upaya mereka. Maka, dengan bangga, mereka makan katak dan ular dengan sangat cepat.
“Nah, sekarang kita sudah lolos seleksi. Mari kita balas dendam pada anak-anak manusia,” teriak mereka.
“Ya, tentu saja. Aku juga sudah memikirkan cara terbaik untuk balas dendam,” seru ibu mereka. “Aku tahu kolam tempat semua anak kecil berbaring, menunggu, sampai burung-burung bangau datang untuk membawa mereka ke orang-orang tua. Bayi-bayi kecil cantik berbaring di sana dengan mimpi yang lebih manis daripada semua mimpi mereka di masa datang. Semua orang tua akan sangat senang memiliki bayi kecil, dan anak-anak akan sangat senang dengan adik kecil. Sekarang, kita bisa terbang ke kolam itu dan mengambil seorang bayi kecil yang lucu untuk masing-masing anak yang tidak menyanyikan lagu nakal yang memperolok bangau.”
“Tapi, bagaimana dengan anak nakal yang memulai lagu olok-olok itu? Apa yang akan kita lakukan pada dia?” teriak si bangau muda.
“Di kolam itu ada jenazah bayi kecil yang sejak awal telah memimpikan dirinya mati,” kata sang ibu bangau. “Kita akan membawa bayi mati itu ke si anak nakal. Tentu dia akan menangis karena kita telah membawakan adik yang sudah mati. Tapi, kalian juga jangan sampai lupa pada anak manusia yang baik hati. Jangan lupakan anak yang merasa malu untuk memperolok binatang. Kita akan membawa seorang adik yang baik, karena ia baik. Anak yang baik itu bernama Peter. Kalian semua juga akan disebut Peter juga di masa depan.”
Maka, semua bangau muda itu melakukan apa yang ibu mereka sarankan. Sejak itu, bahkan sampai sekarang, semua burung bangau dinamai Peter. (*)