Kangen pada kenangan masa lalu?
Cari inspirasi untuk menyampaikan nilai-nilai lewat dongeng pada anak-anak?
Ini jawabnya!
Cerita (story) ini adalah salah satu karya mahsyur Hans Christian Andersen, seorang legenda dongeng dunia. Karya-karyanya telah dinikmati milyaran anak dari berbagai penjuru dunia dan dari beberapa generasi. Puisi, cerpen, dan novelnya telah diterjemahkan ke lebih dari 150 bahasa. Dongengnya telah menginspirasi drama, balet, gambar gerak, films animasi, dan banyak lagi.
*****
Surabayastory.com – Di Cina, yang jadi kaisar orang Cina dan yang diperintah juga umumnya orang Cina. Dongeng yang saya akan ceritakan ini terjadi bertahun-tahun yang lalu. Ada baiknya untuk mendengar dongeng ini sekarang sebelum nanti terlupakan.
Istana kaisar Cina adalah yang paling indah di dunia. Dibangun sepenuhnya dari porselen, dan sangat mahal, tapi begitu lembut dan rapuh sehingga siapa pun yang menyentuhnya wajib untuk berhati-hati. Di tamannya bisa dilihat bunga paling indah, dengan kelopak seperti lonceng perak cantik yang terikat pada mereka, yang berdenting sehingga setiap orang lewat mau tak mau harus memerhatikannya. Memang, segala sesuatu dalam taman kaisar adalah luar biasa. Tamannya juga terus diperluas begitu jauh sehingga para tukang kebun sendiri tidak tahu di mana ujungnya. Orang-orang yang sempat berjalan-jalan hingga di batasnya tentu tahu bahwa itu taman hutan yang bagus, dengan pohon-pohon tinggi doyong ke laut biru, dan kapal-kapal besar berlayar di bawah bayangan dari cabang-cabangnya.
Dalam salah satu pohon-pohon besar ini hiduplah seekor burung bulbul, yang bisa bernyanyi begitu indah. Begitu indahnya nyanyian itu sehingga nelayan miskin pun, yang punya begitu banyak hal lain untuk dikerjakan, akan berhenti bekerja sejenak untuk mendengarkan. Kadang-kadang, ketika para nelayan pergi malam hari untuk menebar jala, mereka bisa mendengar bulbul bernyanyi, lalu berkata, “Oh, bukankah itu sangat indah?” Tetapi, ketika kembali ke pencarian ikan, mereka sejenak melupakan burung itu sampai malam berikutnya. Kemudian, mereka akan mendengarnya lagi, lalu berseru, “Oh, betapa indahnya nyanyian burung bulbul itu!”
Para wisatawan dan pelaku perjalanan dari berbagai negara di dunia berdatangan ke kota kaisar, dan sangat menaguminya, dan mengagumi istana dan taman-tamannya. Tapi, ketika mendengar nyanyian burung bulbul, mereka menyatakan itu menjadi bagian terbaik dari semuanya. Sekembali ke tanah air masing-masing, mereka mengisahkan apa yang mereka lihat. Kaum terpelajar menuliskan buku-buku berisi deskripsi tentang kota, istana, dan taman, tetapi mereka tidak melupakan burung bulbul yang benar-benar menjadi keajaiban terbesar. Para penyair bisa menuliskan puisi indah tentang burung bulbul yang tinggal di hutan dekat laut.
Buku-buku semacam itu beredar ke berbagai penjuru dunia, dan sebagian sampai ke tangan Kaisar. Saat duduk di kursi emas, dan membacanya, Kaisar mengangguk-angguk tanda setuju, karena ia senang mendapatkan deskripsi begitu indah tentang kota, istananya, dan tamannya. Tapi, ketika ia sampai pada tulisan, ‘Burung bulbul adalah yang terindah dari semuanya,’ sang Kaisar langsung berseru; “Apa ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang burung bulbul. Apakah ada burung seperti itu dalam kerajaanku? atau, di tamanku? Aku belum pernah mendengar tentang hal itu. Tampaknya, ada sesuatu yang dapat dipelajari dari buku-buku.”
Untuk menjawab tantangan itu, Kaisar memanggil calon pewaris kekuasaannya. Orang ini bangsawan keturunan tingkat-tinggi, sehingga ketika ada pejabat dari peringkat lebih rendah berbicara kepadanya, atau mengajukan pertanyaan, ia hanya menjawab, “Bah,” yang berarti tidak tahu.
Kaisar berkata padanya, “Ada burung sangat indah yang disebutkan di buku ini; namanya burung bulbul. Mereka mengatakan, ini hal terbaik dalam kerajaan besarku. Mengapa aku tidak diberitahu tentang hal itu?”
“Hamba tidak pernah mendengar nama itu,” jawab si bangsawan yang angkuh itu; “Burung semacam itu belum pernah disajikan di istana.”
“Akan jadi kenikmatan bagi aku andai ia bisa muncul malam ini,” kata Kaisar, “Seluruh dunia lebih tahu tentang apa yang kumiliki daripada aku sendiri.”
“Hamba belum pernah mendengar binatang itu,” kata si bangsawan angkuh; “Tapi hamba berusaha mencarinya.”
Tapi, di mana burung bulbul itu dapat ditemukan? Bangsawan itu naik dan turun tangga, melalui aula dan lorong, namun tak satu pun dari orang-orang di istana yang ditemui pernah mendengar tentang burung itu. Maka ia kembali kepada Kaisar, dan mengatakan bulbul tentu cuma dongeng yang ditemukan oleh para pengarang. “Yang Mulia Kaisar…,” kata dia, “… tentu tidak harus percaya pada sesuatu yang terkandung dalam buku. Kadang-kadang itu hanya khayalan, atau apa yang disebut seni kelam.”
“Tapi, buku yang aku baca ini dikirim oleh kaisar yang besar dan perkasa dari Jepang,” kata Kaisar, “Jadi, tidak mungkin itu kebohongan. Aku pasti akan mendengar kicauan burung bulbul. Dia tentu berada di sini malam ini. Ia akan menjadi favorit. Jika dia tidak datang, seluruh penghuni istana akan dihukum injak setelah makan malam berakhir.”
Maka, bangsawan calon pewaris kekaisaran jadi cemas. “Tsing-pe!” seru bangsawan itu, dan sekali lagi ia berlari naik-turun tangga, menembus semua lorong dan koridor; dan setengah isi istana berlarian bersamanya, karena mereka tidak mau dihukum. Maka, ada pencarian besar-besaran bagi burung bulbul luar biasa ini; yang seluruh dunia sudah tahu, tapi sama sekali tidak diketahui kekaisaran Cina.
Akhirnya, mereka bertemu seorang gadis kecil miskin dari dapur, yang berkata, “Oh, ya. Hamba cukup tahu burung bulbul. Memang, dia bisa menyanyi. Setiap malam hamba mendapat izin membawa pulang burung itu untuk ibuku yang miskin dan sakit-sakitan; Ia tinggal di dekat pantai, dan ketika pulang lalu merasa lelah, aku duduk di hutan untuk istirahat, dan mendengarkan nyanyian burung bulbul. Air mataku sampai keluar, karena rasanya seperti kalau ibu menciumku.”
“Gadis kecil…,” kata bangsawan itu, “… aku akan memberimu pekerjaan permanen di dapur istana, dan kau diizinkan melihat makan Kaisar, jika kau mau membawa kami ke tempat burung bulbul. Sebab, burung itu diundang ke istana malam ini.” Maka, ia pergi ke hutan tempat burung bulbul bernyanyi, dan setengah pejabat istana mengikutinya.
Ketika mereka pergi bersama, sapi mulai melenguh.
“Oh,” kata seorang punggawa muda, “Sekarang kita telah menemukannya. Sungguh dahsyat kemampuan makhluk kecil ini. Aku tentu sudah pernah mendengarnya.”
“Oh, bukan. Itu hanya suara sapi melenguh,” kata gadis kecil itu, “Kita masih jauh.”
Sesampai mereka di rawa-rawa, beberapa katak mulai memperdengarkan suara.
“Cantik sekali,” kata punggawa muda itu lagi. “Sekarang aku mendengarnya. Suaranya berdenting seperti lonceng kecil.”
“Bukan, bukan. Mereka itu katak,” kata gadis kecil itu, “Tapi, rasanya kita akan segera mendengar ia sekarang.”
Dan, sekarang burung bulbul mulai menyanyi.
“Itu dia,” kata gadis itu. “Di sana,” gadis itu menunjuk burung kelabu kecil yang bertengger di dahan.
“Apa mungkin itu?” tanya bangsawan pewaris tahta, “Aku tak pernah bayangkan hewannya bakal kecil, polos, dan sederhana seperti itu. Ia tentu telah berobah warna begitu melihat banyak orang agung di sekelilingnya.”
“Bulbul kecil,” seru gadis itu, “Kaisar kami yang paling murah hati ingin kau bernyanyi di hadapannya. Maukah kau?”
“Dengan senang hati,” kata si bulbul, dan mulai menyanyi dengan cara paling menyenangkan.
“Terdengarannya seperti lonceng kaca kecil, jika menilik begitu kecil tenggorokannya,” kata bangsawan congkak itu. “Cukup mengejutkan jika kami belum pernah mendengar hal ini sebelumnya. Ia akan menjadi sukses besar di istana.”
“Bolehkah aku bernyanyi sekali lagi di hadapan Kaisar?” tanya si bulbul, yang mengira Kaisar hadir di situ.
“Bulbul kecil yang sangat baik… ,” kata seorang punggawa, “… kami dengan senang hati mengundangmu ke festival kerajaan malam ini. Kau akan mendapatkan kenikmatan ala kekaisaran lewat lagu yang mempesona.”
“Lagu saya hanya terdengar sangat baik di hutan hijau,” kata si burung berendah hati, tapi dia tetap saja dengan senang hati datang ketika ia mendengar keinginan Kaisar.
Menyambut kedatangan si burung bulbul, istana dihias sangat elegan. Dinding dan lantai porselennya berkilauan dalam cahaya seribu lampu. Bunga-bunga indah, yang diikatkan ke lonceng-lonceng kecil, berdiri tegak di koridor, yang bergoyang ke sana dan ke mari. Lonceng berdenting ini begitu keras sehingga tak seorang pun bisa mendengar apa yang dibicarakan. Di tengah aula besar, ranting emas telah dipasang untuk tempat duduk burung bulbul. Seluruh anggota istana hadir. Gadis kecil dari dapur telah menerima izin untuk berdiri di dekat pintu, walau belum ditetapkan sebagai juru masak istana. Semua yang hadir berada dalam baju pesta. Semua mata tertuju pada burung abu-abu kecil ketika kaisar mengangguk ke arahnya untuk menandai dimulainya acara. Burung bulbul bernyanyi begitu manis sehingga air menetes dari mata Kaisar, dan kemudian bergulir ke pipinya saat lagunya menjadi lebih menyentuh dan masuk ke hati setiap orang. Kaisar sangat senang sehingga ia menyatakan bulbul itu patut dianugerahi sandal emasnya untuk dikalungkan di leher. Tapi, burung itu menolak dengan hormat, sambil mengucapkan terima kasih. Ia merasa sudah cukup dihargai. “Hamba telah melihat air mata dari seorang kaisar,” katanya, “Itu adalah penghargaan terkaya. Air mata seorang kaisar memiliki kekuatan luar biasa, dan itu sudah cukup kehormatan bagi saya.” Kemudian, si burung bulbul beryanyi lagi dengan lebih memikat daripada sebelumnya.
“Nyanyian itu adalah hadiah yang sangat indah,” gumam para wanita dari istana, dan kemudian menyeka air yang mengucur dari mulut mereka agar bisa mengucapkan suara menggelegak ketika berbicara kepada siapa pun. Para petugas istana juga menyatakan kepuasan, dengan menyebut itu luar biasa.
Kunjungan burung bulbul itu bisa dikata sangat berhasil. Dia sekarang menetap di istana, memiliki kandang sendiri, dengan kebebasan untuk keluar dua kali pada siang hari, dan sekali pada malam hari. Dua belas pelayan ditunjuk untuk membantu dia dalam acara-acara keluar semacam itu. Masing-masing pelayan memegang tali sutra untuk dihiaskan pada kakinya. Pasti tidak ada banyak kesenangan terbang seperti ini.
Seluruh kota membicarakan burung menakjubkan itu. Saat dua orang bertemu, yang satu berkata kata “burung” dan yang lain berkata “bulbul” dan mereka mengerti apa yang dimaksud karena tidak ada lagi yang dibicarakan. Banyak bayi lahir yang diberi nama ‘burung bulbul’, meski tak satu pun dari mereka yang bisa menyanyi dengan baik.
Suatu hari, Kaisar menerima paket besar bertuliskan ‘Bulbul’. Kaisar menduga, “Tak diragukan lagi, ini tentu buku baru tentang burung yang kami rayakan.” Tetapi, bukannya sebuah buku, itu justru karya seni yang dikemas di dalam peti. Karya itu berupa burung bulbul tiruan yang dibuat sedemikian bagusnya sehingga terlihat seperti hidup. Seluruh tubuhnya dilapisi berlian, rubi, dan safir. Segera setelah diaktifkan, burung buatan itu bisa menyanyi seperti yang asli. Ia bisa menggerakkan ekor ke atas dan ke bawah yang berkilauan dengan perak dan emas. Bagian lehernya tergantung sepotong pita, bertuliskan ‘Burung bulbul Kaisar Jepang pun tidak ada artinya dibandingkan dengan burung bulbul Kaisar Cina ini.’
“Sangat cantik,” seru semua orang yang melihatnya, dan orang yang mempersembahkan burung buatan itu langsung menerima gelar “Kepala Pemelihara Bulbul Imperial.”
“Sekarang bulbul yang asli dan yang buatan bisa bernyanyi bersama,” kata petugas istana, “Duetnya tentu luar biasa.” Tapi, jelas mereka tidak cocok, karena burung bulbul asli bisa bernyanyi secara alami, sementara burung buatan hanya bisa bernyanyi dengan nada waltz.
“Ah, itu bukan suatu kesalahan,” kata guru musik, “Itu cukup sempurna untuk seleraku.” Jadi, burung buatan itu bisa menyanyi sendirian, dan bisa seberhasil burung sungguhan. Selain itu, dia jauh begitu cantik dilihat, karena gemeralapan seperti gelang dan bros. Ia bisa 33 kali menyanyikan lagu-lagu yang sama tanpa lelah. Orang-orang juga akan dengan senang hati mau mendengarnya lagi dan lagi. Tapi, saat sedang ada perdebatan, Kaisar mengatakan, bulbul sungguhan harusnya sekarang menyanyikan sesuatu.
Tapi di mana bulbul yang asli? Tak seorang pun melihat ketika dia terbang keluar jendela yang terbuka, lalu kembali ke hutan hijau tempat asalnya. “Sungguh tindakan aneh,” kata Kaisar, ketika mendengar laporan tentang terbangnya burung itu. Semua petugas istana menyalahkan burung itu, dan mengatakan ia makhluk yang sangat tidak tahu berterima kasih.
“Tetapi, setidaknya kita telah memiliki burung terbaik,” kata salah satu petugas istana. Kemudian mereka memerintahkan burung buatan itu bernyanyi lagi, walaupun untuk ke-34-kalinya mereka mendengarkan nyanyian yang sama. Mereka tidak bisa mempelajarinya, karena gubahan lagunya memang agak sulit. Tapi, guru musik memuji burung palsu itu di tingkat tertinggi. Ia bahkan menegaskan bahwa burung bulbul palsu itu lebih baik daripada burung bulbul asli. Bukan hanya dalam hal berpakaian dan hiasan berlian yang indah, tetapi juga dalam kekuatan musiknya. “Demi pemahaman Kaisar Yang Mulia, dengan bulbul asli kita tidak pernah tahu apa yang akan dinyanyikan, tapi dengan burung buatan ini semuanya sudah sudah diatur. Nyanyiannya juga dapat dibuka dan dijelaskan, sehingga orang dapat mengerti bagaimana waltz itu dibentuk, dan mengapa nadanya bisa saling mengikuti satu sama lain.”
“Memang seperti itu lah yang kami pikirkan,” jawab mereka semua, dan kemudian musik guru mendapat izin memamerkan burung buatan itu kepada masyarakat banyak pada hari Minggu berikutnya, dan kaisar memerintahkan orang-orang harus hadir untuk mendengarnya bernyanyi. Ketika mendengar itu, orang-orang jadi seperti mabuk –namun, mabuknya pasti karena minum teh yang sudah sangat umum di kalangan orang Cina. Mereka semua berteriak, “Oh!” sambil mengacungkan jari telunjuk dan mengangguk-anggukkan kepala. Tapi, nelayan miskin yang pernah mendengar nyanyian burung bulbul asli, berkata, “Kedengarannya cukup manis, dan melodinya tertata rapi, namun tampaknya ada sesuatu yang kurang. Aku tidak tahu persis apa itu. Pokoknya ada yang kurang.”
Setelah bulbul asli lenyap dari istana, burung bulbul buatan diletakkan di atas bantal sutra dekat tempat tidur Kaisar. Hadiah berupa emas dan permata yang diterima bersamaan kini dikalungkan di leher burung itu. Bahkan, burung palsu itu sekarang mendapat gelar ‘Penyanyi Toilet Kaisar Kecil’ dan masuk jajaran Nomor 1 di tangan kiri. Kaisar menganggap sisi kiri, di mana terletak jantung, sebagai sisi yang paling mulia. Jantung bagi seorang Kaisar mendapat tempat yang sama di kalangan orang-orang lain.
Guru musik menulis karya, dalam 25 volume, tentang burung buatan. Isinya sangat terpelajar dan sangat panjang, dan penuh dengan kata-kata Cina paling sulit. Namun, semua orang mengaku mereka telah membacanya, dan memahaminya, karena takut dikira bodoh dan takut tubuh mereka dihukum injak.
Satu tahun berlalu. Kaisar, istana, dan semua orang lain di Cina sudah hafal betul setiap detil lagu oleh burung buatan. Untuk alasan yang sama, itu justru lebih menyenangkan, bukannya menjemukan. Mereka bisa bernyanyi bersama burung palsu, dan itu sering mereka lakukan. Anak-anak jalanan bernyanyi, “Zi-zi-zi, kluk, kluk, kluk,” dan Kaisar sendiri juga bisa menyanyi. Ini benar-benar paling lucu.
Suatu malam, ketika burung itu buatan sedang bernyanyi dengan tampilan terbaik, dan saat Kaisar berbaring di tempat tidur mendengarkannya, ada sesuatu dari dalam burung itu yang berbunyi “wuzzzz,” kemudian ada per mencuat, lalu “Rrrr….” semua roda berputar liar lepas satu per satu, dan kemudian nyanyian berhenti. Kaisar segera melompat dari tempat tidur, dan memanggil tabibnya. Tapi apa yang bisa ia lakukan tabib untuk burung buatan? Kemudian mereka membawa burung palsu yang rusak itu ke pembuat jam. Setelah banyak pemeriksaan dan rundingan, burung itu berhasil dibenahi. Tapi, si ahli jam mengatakan burung itu harus digunakan dengan sangat hati-hati. Ada beberapa barel yang sudah usang, dan mustahil untuk memasang yang baru tanpa mengganggu musiknya. Sekarang, muncul kesedihan besar, karena burung itu hanya diizinkan bermain sekali setahun, dan bahkan itu juga cukup berbahaya bagi karya-karya di dalamnya. Kemudian, guru musik membuat pidato singkat, penuh kata-kata tegas, dan menyatakan burung itu sama baiknya seperti biasanya, dan, tentu saja tidak ada yang aneh dengannya.
Lima tahun telah berlalu, dan kemudian kesedihan nyata datang. Cina benar-benar menyayangi kaisar mereka, tapi ia sekarang berbaring begitu sakit sehingga tidak bisa diharapkan untuk hidup. Kaisar baru telah dipilih, dan orang-orang yang berdiri di jalanan bertanya kepada bangsawan-pewaris-tahta tentang bagaimana keadaan kaisar tua. Tapi ia hanya berkata, “Huh!” dan menggelengkan kepala.
Dingin dan pucat, Kaisar terbaring di tempat tidur kerajaan. Seluruh pegawai istana mengira ia sudah wafat, dan setiap orang berlarian untuk segera memberi penghormatan kepada kaisar baru penerusnya. Para pengurus pakaian segera keluar untuk berbicara tentang masalah ini. Para wanita pelayan mengundang teman untuk membantu. Kain telah dipasang di aula dan lorong-lorong, sehingga tidak ada satu langkah kaki pun harus terdengar. Semua diam dan membisu.
Tetapi, Kaisar belum mati, meski berbaring pucat dan kaku di tempat tidur indah dengan tirai beludru panjang dan jumbai emas. Satu jendela tetap terbuka, dan bulan bersinar di atas kaisar dan burung buatan. Kaisar yang malang, merasa nyaris tak bisa bernapas dengan beban yang aneh di dada. Ia membuka mata, dan melihat Sang Maut sudah duduk di bagian depan tubuhnya. Kaisar telah mengenakan mahkota emas, dan menyematkan pedang kerajaan di satu tangan, dan spanduk indah di tangan lain. Di sekeliling tempat tidur, dan mengintip melalui tirai beludru panjang, ada sejumlah kepala aneh, sebagian sangat jelek dan sebagian lain tampak cantik dan lembut. Ini adalah wujud dari perbuatan baik dan perbuatan buruk Kaisar. Wajah-wajah itu menatap langsung wajah Kaisar saat Malaikat Maut sudah berada di jantung.
“Kau ingat ini?” “Masih ingat itu?” Mereka bertanya satu demi satu, membuat ingatan Kaisar berkelebatan sehingga keringat dingin mengucur di dahinya.
“Aku tahu apa-apa,” jawab Kaisar. “Musik! musik!” ia malah berteriak; “Drum besar Cina! supaya aku tidak mendengar kata-kata mereka.” Tapi mereka masih terus berkata-kata, dan Malaikat Maut hanya mengangguk-angguk seperti kebiasaan orang Cina. “Musik! musik!” teriak Kaisar. “Kau burung emas kecil yang berharga, menyanyilah, berdoa menyanyilah! Aku telah memberimu hadiah emas dan perhiasan mahal; Aku bahkan menggantungkan emas di lehermu. Menyanyilah! Menyanyi.” Tetapi burung itu tetap diam. Tak ada seorang pun memeliharanya, dan karena itu ia tidak bisa menyanyikan lagu.
Malaikat Maut terus menatap Kaisar dengan mata dingin dan cekungnya, dan ruangan itu diam menakutkan. Tiba-tiba, melalui jendela yang terbuka, datang suara musik indah. Di luar, di dahan pohon, bertengger burung bulbul asli yang hidup. Dia telah mendengar kabar tentang sakitnya Kaisar, dan karena itu ia datang untuk menyanyikan tentang harapan dan kepercayaan. Ketika ia menyanyi, bayang-bayang hitam jadi semakin memudar, darah dalam pembuluhnya mengalir lebih cepat, dan memberikan kehidupan kepada anggota tubuh yang melemah, dan bahkan Sang Maut sendiri mendengarkan, lalu berkata, “Ayo, bulbul kecil, teruskan.”
“Kalau begitu, maukah kau berikan padaku pedang keemasan dan spanduk itu? Maukah kau berikan mahkota kaisar?” kata si burung.
Maka, Sang Maut menyerahkan masing-masing harta tersebut untuk ditukarkan dengan sebuah lagu; dan burung bulbul melanjutkan nyanyiannya. Ia menyanyikan lagu tenang, tentang mawar putih yang tumbuh, pohon tua yang menghembuskan parfum pada angin, dan rumput segar manis yang basah oleh air mata para pelayat. Kemudian, Sang Maut tidak tahan lagi untuk tidak pergi dan melayang keluar melalui jendela dalam bentuk kabut dingin putih.
“Terima kasih, terima kasih, wahai burung surgawi kecil. Aku mengenalmu dengan sangat baik. Aku pernah mengusirmu dari kerajaanku sekali, namun sekarang kau menghilangkan wajah-wajah jahat dari tempat tidurku, dan mengusir Sang Maut dari jantungku, dengan lagu manismu. Bagaimana aku dapat membalas jasamu?”
“Kaisar telah memberiku hadiah,” kata si burung bulbul. “Aku tidak akan pernah lupa bahwa aku membuat Yang Mulia mengeluarkan air mata saat pertama kali aku bernyanyi untuk Paduka. Itu adalah permata yang menggembirakan hati penyanyi. Tapi, sekarang tidurlah, dan tumbuhlah kuat dan sehat kembali. Aku akan menyanyi untuk Anda lagi.”
Dan, ketika si bulbul menyanyi, Kaisar jatuh tertidur dengan manis. Betapa ringan dan menyegarkannya kondisi orang yang tidur itu. Ketika ia bangun, dalam kondisi lebih sehat, lebih kuat dan mulai pulih, matahari bersinar terang melalui jendela. Tapi, tak seorang pun dari hamba-hambanya kembali kepadanya. Rupanya, mereka sudah yakin Kaisar sudah mati. Hanya burung bulbul yang masih duduk di sampingnya, dan menyanyi.
“Kau harus selalu tetap bersamaku,” kata Kaisar. “Kamu boleh menyanyi kapan pun ketika itu menyenangkanmu. Aku akan patahkan burung buatan itu menjadi berkeping-keping.”
“Tidak, jangan lakukan itu,” jawab si burung bulbul asli; “Burung buatan itu sudah melakukan yang terbaik yang ia bisa. Paduka simpan saja ia di sini. Aku tidak bisa hidup di istana, dan membangun sarangku di istana, tetapi biarkan aku datang ketika aku suka. Aku akan duduk di dahan di luar jendela, di malam hari, dan bernyanyi untuk Paduka, sehingga Yang Mulia jadi bahagia dan memiliki pikiran penuh keriangan. Aku akan menyanyi untuk Yang Mulia tentang orang-orang yang bahagia, tentang mereka yang menderita; tentang yang baik dan yang jahat, yang tersembunyi di sekitar Anda. Burung kecil penyanyi ini telah terbang menjauh dari Anda, dan dari istana, ke rumah nelayan dan dipan petani. Aku lebih cinta hati Anda daripada mahkota Anda, dan sesuatu yang suci dari Anda. Aku akan datang, aku akan menyanyi untuk Paduka, tapi Paduka harus berjanji padaku tentang satu hal.”
“Apa pun itu, sebutkan saja,” kata Kaisar, yang, setelah mengenakan sendiri jubah kekaisaran, berdiri dengan tangan yang memegang pedang emas ditempelkan ke bagian jantungnya.
“Aku hanya minta satu hal,” jawab si burung bulbul; “Janganlah sampai ada seorang pun yang tahu bahwa Anda memiliki burung kecil yang memberi tahu segalanya. Akan lebih baik jika Paduka merahasiakannya.” Setelah berkata begitu, si burung bulbul terbang pergi.
Sekarang, para pelayan datang untuk merawat jenasah Kaisar. Tapi; lho! Kaisar bisa berdiri. Mereka heran, dan langsung berkata, “Selamat pagi.” (*)