Mengapa kita harus berseteru sebagai bangsa, ketika dulu para pendiri bangsa dengan susah payah mempersatuannya?
Surabayastory.com – Indonesia saat ini menghadapi sebuah guncangan sosial kebangsaan yang sangat besar. Beberapa kelompok sibuk membenarkan dirinya sendiri, pahamnya sendiri, dan egonya sendiri. Apakah kita tidak ingat, bagaimana Presiden Soekarno mempersatukan Indonesia tanpa darah? Karena itu, mengapa kita sekarang kita menjadi terbelah sebagai bangsa? Kita perlu membaca tulisan di bawah ini.
*****
MAJALAH Time edisi 12 Februari 2001, menurunkan laporan tentang masa sulit bagi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam tulisan berjudul Bad Omens itu antara lain disebutkan bahwa Gus Dur adalah seorang cendekiawan muslim yang fasih berbicara lima bahasa. “An Islamic scholar in five language, Wahid descends from a line of Javanese holyman…”, tulis Time.
Keterampilan Gus Dur dalam bahasa asing memang diakui. Dalam satu pembicaraan misalnya –dalam bahasa Inggris- Gus Dur pernah membuat Presiden Bill Clinton tertawa cekikikan. Dan dalam kesempatan lain –dalam bahasa Arab- dia menyebut Raja Arab Saudi, Fadh, tertawa terkekeh-kekeh.
Hanya sayangnya, gaya berbicara Gus Dur tidak membantunya dalam perselisihan dengan DPR. Presiden yang pertama kali terpilih secara demokratis itu, tulis Time, “Telah menunjukkan bakatnya untuk bertengkar.” Meskipun mungkin bernada guyon, Gus Dur telah membuat musuh-musuh sejak Hari Pertama (setelah terpilih jadi Presiden-Red) dengan menyamakan DPR seperti Taman Kanak-Kanak. “Saya berpendapat, semestinya tidak begitu,” kata pakar sejarah Dr. Taufik Abdullah seperti dikutip Time.
Dari empat presiden yang dimiliki Indonesia, hanya Soeharto yang tidak terampil berbahasa asing. Presiden ketiga, Dr BJ Habibie, dengan kelebihan dan kekurangannya, setidaknya menguasai bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis. Dan Presiden Soekarno, siapa yang bisa lupa pada keterampilan lidahnya?
Tanpa Darah
Dalam edisi akhir Agustus 1999 yang menampilkan 100 tokoh terkemuka abad ke-20, Time menurunkan tulisan menarik tentang Soekarno.
Tulisan itu antara lain menyebutkan, betapa Soekarno menggunakan bakat bahasa dan pidatonya untuk mempersatukan negerinya. Media itu juga memberikan kilas balik sejarah tentang mentor politiknya, HOS Tjokroaminoto , yang memungkinkannya belajar berbicara di depan umum.
Media internasional itu menyatakan, Soekarno mempersatukan negerinya dan memerdekakannya. Ia membebaskan rakyatnya dari perasaan rendah diri dan membuatnya merasa bangga jadi orang Indonesia –bukan prestasi kecil, yang terjadi setelah 350 tahun penjajahan Belanda, dan tiga setengah tahun pendudukan Jepang.
Apa yang dilakukan Soekarno pada 17 Agustus 1945 tidak berbeda dari apa yang dilakukan Thomas Jefferson untuk rakyat Amerika pada 4 Juli 1776. “Mungkin bahkan lebih: Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Asia era modern yang mampu mempersatukan rakyatnya yang memiliki latar belakang etnis, budaya dan agama begitu beragam tanpa menumpahkan setetes darah. Bandingkan dengan rekor Soeharto, penerusnya, yang membunuh atau memenjarakan ratusan ribu rakyat untuk mendirikan rezim Orde Baru,” tulis majalah itu.
Majalah Time juga menulis: “Berbakat atletik dan juga akademik, ia (Soekarno) menjadi salah satu dari sedikit orang Indonesia yang diterima di sekolah berbahasa Belanda: itulah saat ayahnya mengirimkannya ke Surabaya untuk masuk ke salah satu sekolah menengah hingga ia bertemu dan menumpang di rumah tokoh nasionalis terkemuka saat itu, Tjokroaminoto. Lewat dia, Soekarno dilibatkan ke dalam perjuangan kemerdekaan. Namun dengan keterampilan pidatonya yang memikat, anak muda itu bahkan melampaui kehebatan mentornya.”
Rasa kagum luar biasa atas kemampuan berbicara Soekarno bisa dilihat pula di dalam buku “Indonesia: The Possible Dream (1971)” karya Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika Serikat dari akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Berikut antara lain kutipan dalam teks aslinya:
“I first met Soekarno in 1954,when he was at the height of his powers. My impression was of a man with enormous brilliant brown eyes and a flashing smile that conveyed an all embracing warmth. To meet him was like suddenly coming under a sunlamp. Such was the quality of his magnetism…”
“…Soekarno was a vital man, expressing uxuberance and anthusiasm in everything he did. He had an extraordinary boyishness and, in those early years of his power, was warm, responsive, casual, always ebullient. His face lighted up with an infectious smile when greeting a friend or a new acquaintance. He was not easily disturbed unless his overweening vanity was touched or his emotions were a roused; then he could become explosive. He was, in brief, a dynamic, magnetic leader, a self-professed egotist, an effervescent extrovert. His amazing energy and vitality were the talk of the diplomatic corps. After a day in which he addressed mass meeting for hours –on one accasion I heard him make three two-hour speeches within a eight hour period- he would wolf down an enormous dinner and the dance until after midnight, enjoying every moment”.
Bahwa Soekarno adalah seorang jago bicara (dan tentu saja juga menulis), manusia sejagad boleh dikatakan sudah tahu. Apa yang belum disadari banyak orang, Soekarno adalah seorang ahli bahasa. Ia tidak hanya pintar berpidato dengan bahasa Indonesia, tetapi juga sejumlah bahasa lainnya. Berapa sebenarnya bahasa yang dikuasai Soekarno?
Jules Archer dalam bukunya The Dictators (1968) yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, juga memuji kehebatan Soekarno. Namun ia hanya menyebut empat bahasa asing. “Lulus tahun 1926, ia menyimpan ijazah insinyur sipil di dalam lemari, untuk menjadi tokoh politik. Soekarno, dengan tinggi hanya sekitar satu meter 60 sentian, merupakan raksasa di atas podium. Ia mahir berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Prancis…”, tulis Archer.
Simak tulisan lainnya. Prof. Dr. Sudjoko, pengamat bahasa dan Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, menulis di harian Kompas, 20 Mei 1987: “…Lalu muncul ahli bahasa yang bernama Ir. Soekarno. Bahasa-bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Sunda, Jawa dan tentu saja bahasa Indonesia menyembur dari lidahnya dan penanya secara meyakinkan. Bahasa Latin, Sansekerta, dan Arab diketahuinya ala kadarnya…”.
Penjelasan lain dikemukakan Brigjen (Purn) Marinir Bambang Widjanarko, salah seorang mantan ajudan Bung Karno. Dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno (Gramedia, 1988), Bambang menulis: “…Dengan lancarnya dilayaninya teman bicaranya dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan bila bertemu dengan orang asing yang berbahasa Belanda, maka asyiklah BK (Bung Karno) berbicara dalam bahasa itu, yang memang sangat ia kuasai”.
“Menguasai beberapa bahasa asing memang merupakan salah satu kelebihan BK diantara banyak kelebihan lainnya. Di samping bahasa-bahasa tersebut di atas, BK mengerti pula bahasa Jepang secara pasif dan sedikit Spanyol,” tulis Bambang.
Norodom Sihanouk, Raja Kamboja yang juga salah satu sahabat dekatnya, mengakui kehebatan dan kemampuan bahasa asing Soekarno lewat bukunya, Pemimpin Dunia yang Saya Kenal (Grafiti, 1991). Sihanouk mengatakan, dirinya bertemu Bung Karno pertama kali pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955. Ia juga mengungkapkan, saat itu kemampuan bahasa Inggris-nya masih buruk karena ia lebih memilih belajar bahasa Latin dan Yunani klasik daripada bahasa-bahasa modern di sekolah lanjutan Prancis di Saigon, dengan harapan nantinya menjadi guru bahasa Prancis, Latin dan Yunani.
“Untungnya, Soekarno seorang ahli bahasa yang ulung. Dia tidak hanya menguasai bahasa Belanda dan tentu saja Indonesia –termasuk bahasa pulau kelahiran ibunya tercinta, Bali- tetapi juga fasih berbahasa Prancis dan Pali, bahasa suci India zaman kuno yang masih digunakan oleh para biarawan Budha, termasuk antara lain para biarawan Khmer kami. Bahasa Inggris-nya luar biasa…,” kata Sihanouk.
“Karena itu kami bisa segera bercakap-cakap, tanpa memerlukan seorang penerjemah, dengan bahasa Prancis”, katanya.
Nah, berapa bahasa yang dikuasai Bung Karno baik aktif maupun pasif? Hitung saja. Tetapi jangan lupa tentang kemampuan Bung Karno menggunakan bahasa-bahasa tersebut secara sangat ekspresif dan menawan. Ada nilai plus tentunya.
Dengan keterampilan lidahnya, Bung Karno memang mempesona khalayak di dalam maupun di luar negeri. Frank Holeman, mantan wartawan New York Daily News, misalnya, masih ingat bagaimana Bung Karno mempesona ratusan wartawan Amerika ketika berbicara dalam bahasa Inggris di National Press Club, Washington, pada 18 Mei 1956. Acara itu disusul dengan konferensi pers.
“Presiden Anda adalah tokoh besar. Ia memukau para wartawan ketika berbicara disini. Saya bangga ketika mengenalkannya pada wartawan di Press Club pada 1956 itu”, kata Holeman sepuluh tahun kemudian.
Dan Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), mengatakan, ketertarikannya pada politik adalah juga akibat menariknya pidato-pidato Bung karno. Pengalaman di masa kecil di desa di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, masih membekas.
“Saya heran bagaimana warga kampung meninggalkan pekerjaan di sawah untuk mendengarkan pidato Presiden Soekarno”, kata Ramlan. Para pemimpin bangsa seperti itulah barangkali yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Mereka yang mampu mengangkat harkat dan kehormatan bangsa. Mereka yang mampu mempersatukan rakyat hanya dengan lidahnya. Tanpa kekerasan. Tanpa darah yang mengalir. (*)
Surabaya Post, 9 Februari 2001.
–dph