Bagaimana filsuf Albert Camus melihat sebuah kota yang tak punya masa lalu? Benarkah masa lalu dibutuhkan untuk membangun masa depan yang lebih baik?
.

.
Surabayastory.com – Ini adalah naskah tahun 1947, di mana Albert Camus, filsuf yang sering disebut sebagai pendukung eksistensialisme (aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tentang sesuatu yang benar dan yang tidak benar). Tetapi Camus sendiri dalam berbagai kesempatan ia menolak memberikan label-label tertentu akan dirinya.
Camus adalah penerima Hadiah Nobel Sastra termuda kedua (setelah Rudyard Kipling). Ia adalah penulis Afrika pertama yang menerima penghargaan bergengsi itu. Sebaliknya, ia adalah yang terpendek hidupnya setelah meninggal dalam usia 46 tahun akibat kecelakaan mobil, dua tahun setelah ia mendapatkan Nobel.
Filsafat Camus dapat menerangi ketika pandangan hidup mulai mendekati perbedaan, dan kita bisa memaknainya tidak secara langsung. Sebuah cara yang bagus untuk mencelupkan tepian pikiran Anda ke dalam esai Camus, sebelum menenggelamkan pikiran dan jiwa Anda dalam karya-karya Camus lainnya yang lebih menantang.
Naskah ini merupakan bagian dari perjalanan pemikiran Albert Camus, sejak tahun 1939. Naskah ini adalah sebuah karya menarik, yang mengajak Anda untuk menikmati sekaligus membuat perenungan akan sebuah kota/ wilayah (juga batin dan pikir) dalam perjalanan yang eksotis, dalam gaya tulisan yang puitis. Kita juga akan mendapati puisi-prosa menyenangkan yang menunjukkan bagaimana pemandangan dan tempat-tempat.
Selamat menikmati.
*****
KESYAHDUAN Aljazair agak bersifat Italia. Kemenyolokan yang kejam dari Oran lebih seperti Spanyol. Bertengger tinggi di batu karang di atas ngarai Rummel, Constantine mengingatkan akan Toledo. Namun Spanyol dan Italia berlimpah dengan kenangan dengan karya-karya seni dan puing-ouing peninggalan budaya. Dan Toledo memiliki Greco dan Barres. Kota-kota yang aku bicarakan, sebaliknya, adalah kota tanpa masa lalu. Ini adalah kota yang tidak menawarkan baik kesantaian maupun kelembutan. Ketika jam tidur siang membawa kejemuan di kota itu, tidak terdapat keharuan maupun melankoli dalam kesedihannya. Dalam cahaya pagi, atau dalam kemewahan alami malam hari, kesenangan kota itu, sebaliknya, tanpa kesyahduan. Kota-kota ini tidak memberi apapun kepada pikiran dan memberi segalanya kepada gairah. Kota-kota ini tidak pantas baik dengan kebijaksanaan atau dengan kemurnian cita-rasa. Barres atau kota-kota lain yang seperti itu akan dihancurkan sampai lebur.
Para kelana yang bergairah (pada gairah orang lain), pikiran yang terlalu sensitif, pencari estetika dan pengantin baru tidak akan mendapat apa-apa dengan pergi ke Aljazair. Dan, kecuali kalau ia memiliki pekerjaan pasti, tidak seorang pun dapat direkomendasikan untuk pension dan tinggal di sana selamanya. Kadang-kadang, di Paris apabila orang-orang yang aku hargai bertanya padaku mengenai Aljazair, aku merasa ingin berseru: ‘Jangan pergi ke sana.’ Gurauan semacam ini mengandung kebenaran di dalamnya. Karena aku bisa melihat apa yang mereka harapkan dan tahu mereka tidak akan mendapatkannya. Dan, pada saat yang sama, aku mengetahui pesona dan kekuatan yang halus dari negeri ini, cengkeramannya yang tak disadari pada mereka yang melekat di sana, bagaimana ini melumpuhkan mereka, pertama dengan membebaskan mereka dari pertanyaan, dan akhirnya dengan meninabobokkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika cahaya menerpamu, begitu menyilaukan sehingga berubah menjadi hitam dan putih, itu hamper menghentikanmu bernafas. Kau memberi jalan padanya, menjadi tenang di dalamnya, dan kemudian menyadari bahwa kesemarakan yang terlalu lama ini tidak memberi apapun bagi jiwa dan hanya merupakan kesenangan yang berlebihan. Maka kau akan ingin kembali ke pikiran. Namun orang-orang negeri ini, dan itu adalah kekuatan mereka, sepertinya lebih kuat dalam hati daripada dalam pikiran. Mereka bisa menjadi temanmu (teman yang baik!), namun kau tidak akan pernah bisa menceritakan rahasiamu. Hal seperti ini mungkin dianggap agak mengerikan di sini, di Paris, di mana jiwa-jiwa dituangkan berhamburan dan di mana air rahasia mengalir dengan tenang dan tanpa akhir di antara air mancur, patung dan taman.
Apa yang paling mirip dengan negeri ini adalah Spanyol. Namun tanpa tradisi, Spanyol hanya akan verupa padang pasir yang cantik. Dan kecuali mereka kebetulan dilahirkan di sana, hanya ada satu ras manusia yang mempunyai gagasan untuk menarik diri selamanya ke padang pasir tersebut. Karena aku dilahirkan di padang pasir ini, dalam situasi apapun aku tidak dapat membicarakannya sebagai seorang pengunjung. Dapatkah seseorang menghitung pesona yang ada pada seorang perempuan yang sangat dicintainya? Tidak, kau mencintainya secara keseluruhan, kalau aku bisa menggunakan ungkapan itu, dengan satu atau dua alas an berharga untuk kelembutannya seperti kebiasaannya mencebil atau caranya yang khusus ketika menggelengkan kepala. Maka aku memiliki hubungan yang sudah berjalan lama dengan Aljazair, yang pasti tidak akan berakhir, dan yang mencegahku untuk benar-benar sadar. Yang dapat kau lakukan dalam situasi itu hanyalah, dengan teliti, membuat sejenis daftar yang abstrak mengenai apa yang kau sukai. Inilah latihan akademis yang dapat aku lakukan di sini sehubungan dengan Aljazair.
Yang pertama-tama adalah keindahan para pemudanya. Arab, tentunya, dan kemudian yang lain. Orang Prancis di Aljazair adalah ras haram jadah, terbuat dari campuran yang tidak bisa diramalkan. Orang Spanyol dan Alsace, Italia, Malta, Yahudi dan Yunani telah dating bersama-sama ke sana. Seperti halnya di Amerika, kawin campur yang kasar ini memberikan hasil yang membahagiakan. Sementara kau berjalan melalui Aljazair, lihatlah pergelangan tangan para perempuan dan lelaki muda, dan kemudian ingatlah pergelangan tangan yang kau lihat di metro Paris.
Kelana yang masih muda akan memperhatikan juga bahwa para wanita di sana cantik-cantik. Tempat yang paling baik untuk mengamati ini dengan seksama adalah teras Café des Facultés di Rue Michelet, di Aljazair, di hari Minggu pagi bulan April. Kelompok-kelompok perempuan muda, sandal di kaki mereka, mengenakan gaun yang ringan dan berwarna cerah, berjalan ke sana ke mari di jalan. Kau dapat mengagumi mereka tanpa halangan: memang itu sebabnya mereka di sana. Di Oran, bar Cintra di Boulevard Gallieni juga merupakan tempat pengamatan yang baik. Di Constantine kau dapat selalu berjalan di sekitar panggung orkes. Namun karena laut berada beberapa ratus kilometer jauhnya, ada sesuatu yang hilang pada orang-orang yang kau temui di sana. Secara umum, dank arena lokasi geografisnya, Constantine menawarkan atraksi yang lebih sedikit, walaupun kejemuannya memiliki kualitas yang sedikit lebih halus.
Apabila kelana tiba di musim panas, hal pertama yang jelas harus dilakukannya adalah pergi ke pantai yang mengelilingi kota. Ia akan melihat para pemuda yang sama, lebih memesona karena mengenakan lebih sedikit pakaian. Maka matahari membuat mata mereka sayu seperti hewan yang indah. Dalam hal ini pantai Oran adalah yang terindah, karena alam dan perempuannya lebih liar di sana.
Sejauh yang berkenaan dengan keindahan, Aljazair menawarkan kota Arab, Oran menawarkan desa negro dan distrik Spanyol, dan Constantine menawarkan daerah Yahudi. Aljazair memiliki boulevard-boulevard yang terangkai seperti kalung di sepanjang laut; kau harus berjalan di sana di malam hari. Oran memiliki sedikit pohon, namun bebatuan terindah di dunia. Constantine memiliki jembatan gantung di mana kau harus berfoto di atasnya. Di hari-hari yang sangat berangin, jembatan itu bergoyang ke sana ke mari di atas jurang dalam Rummel, dank au akan merasakan bahaya.
Aku menganjurkan kepada kelana yang sensitif, kalau ia pergi ke Aljazair, untuk pergi dan minum anisette di bawah atap lengkung di sekitar pelabuhan, pergi di pagi hari ke La Pêcherie dan makan ikan yang baru ditangkap yang dibakar pada tungku arang; pergi dan mendengarkan music Arab di sebuah cafe kecil di Rue de la Lyre yang namanya aku sudah lupa; duduk di tanah pda pukul enam malam di kaki patung Duc d’Orleans di Alun-alun Pemerintahan (bukan demi kepentingan duke itu, tetapi karena ada orang-orang yang berseliweran, dan menyenangkan di sana); pergi dana makan siang di restoran Padovani, yang merupakan semacam ruang dansa di atas jangkungan, di tepi pantai, di mana kehidupan selalu mudah; mengunjungi pekuburan Arab, pertama-tama untuk menemukan ketenangan dan keindahan di sana, dan kemudian untuk menghargai kota-kota yang hina dengan nilai sebenarnya, di mana kita mengonggokkan orang mati; pergi dan merokok sigaret di Rue des Bouchers, di Kasbah, di tengah-tengah limpa, hati, selaput perut, dan paru-paru yang berdarah, yang menetes-netes di mana-mana. (Sigaret adalah penting, karena umur pertengahan memiliki bau yang kuat).
Selain itu, kau mesti sanggup bicara buruk mengenai Aljazair ketika berada di Oran (mengakui superioritas komersial Oran sebagai sebuah pelabuhan), mengolok-olok Oran ketika berada di Aljazair (tidak ragu-ragu dalam menerima gagasan bahwa warga Oran ‘tidak tahu bagaimana menjalani hidup’), dan pada setiap kesempatan, dengan rendah hati mengakui superioritas Aljazair di atas Prancis metropolitan. Sekali kesediaan ini dilakukan, kau akan sanggup menghargai superioritas sebenarnya dari orang Aljazair terhadap orang Prancis, yaitu kemurahan hainya yang tak terbatas dan keramahan yang alami.
Mungkin di sinilah aku bisa menghentikan segala ironi. Bagaimanapun, cara terbaik untuk berbicara mengenai apa yang kau sukai adalah dengan membicarakannya secara ringan. Sepanjang berkenaan dengan Aljazair, aku selalu khawatir untuk mengandalkan pada paduan suara yang serasi ini, yang lagunya yang paling serius aku kenal begitu baiknya. Namun paling tidak aku bisa mengatakan bahwa ini adalah negeriku yang sebenarnya, dan bahwa di mana pun di dunia aku mengenali para puteranya dan para saudaraku melalui gelak tawa bersahabat yang melimpahiku ketika aku bertemu dengan mereka. Ya, apa yang aku sukai mengenai kota-kota Aljazair, memisahkan aku dari manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Itulah sebabnya mengapa aku lebih suka berada di sana di saat malam ketika toko-toko dan kantor-kantor melimpah ruah ke jalanan, masih gelap dari sinar matahari, kerumunan orang-orang mengobrol yang mengalir di sepanjang boulevard yang menghadap ke laut. Di sana, kerumunan itu mulai menjadi tenang sementara malam dating, dan sementara cahaya dari angkasa, dari mercusuar di teluk dan dari lampu jalanan, bergabung sedikit demi sedikit ke dalam satu pijar yang berpendar. Semua orang kemudian berdiri merenung di tepi pantai, dan kerumunan berpisah ke dalam seribu kesepian. Kemudian mulailah malam Afrika yang agung, pengasingan raja, dan kemegahan keputusasaan yang menunggu kelana yang kesepian.
Tidak, kau pasti tidak boleh pergi ke sana apabila hatimu hangat-hangat kuku dan apabila jiwamu lemah dan letih! Namun bagi siapa yang tahu bagaimana rasanya tercabik di antara ‘ya’ dan ‘tidak’, diantara siang dan tengah malam, diantara revolusi dan cinta, dan akhirnya bagi siapa yang menyukai onggokan kayu api pemakaman di sepanjang pantai, ada nyala api yang menunggu di Aljazair.###