Sungguh malang nasib Bahasa Indonesia (BI). Bagaikan hutan suaka alam, ia terus menerus dijarah. Akibatnya, lahan bahasa makin menyempit.
Surabayastory.com – Di hutan bahasa, flora dan faunanya yang sangat beraneka, kian menyusut dan terancam punah. Keseimbangan ekosistem budayanya goyah. Hutan itu makin botak dan kerontang saja. Ia tidak lagi berfungsi menjadi penyeimbang alam, karena telah kehilangan kekayaan, keteduhan, dan sekaligus daya tariknya.
Menjaga dan mengembangkan BI adalah pekerjaan yang penuh ambiguitas, seperti halnya menjaga hutan lindung. Berbeda dengan memelihara suaka alam yang protektif, memelihara bahasa tidak mungkin dilakukan seperti memasukkan ikan hias ke dalam akuarium. Bahasa memerlukan pergaulan dan gesekan yang terus menerus dengan para pemakainya. Inilah yang membuat bahasa hidup.
Namun setiap pergaulan, selain mencurahkan manfaat, juga selalu menyeret mudarat dan risiko. Mengapa kita keranjingan terhadap risiko, karena di baliknya selalu tersembunyi dinamika dan kreatifitas. Namun setiap risiko seharusnya dapat dikalkulasi sejak awal, sehingga tidak boleh kebablasan, yang akhirnya merusak bahasa itu sendiri. Kita membutuhkan tangan-tangan arif nan bijaksana, untuk menjaga dan mewaspadai risiko-risiko itu agar tetap kondusif, menciptakan kesuburan bagi bertumbuhnya bahasa.
Mohon disepakati, BI adalah wacana komunikasi publik yang tidak terbatas pada tampilan/sajian media massa, melainkan juga percakapan dan pergaulan, yang dapat menunjukkan ciri sebuah masyarakat berbudaya. Dalam perkembangannya, banyak hal yang memberikan kontribusi konstruktif terhadap perkembangan BI. Sebaliknya juga ada hal yang distortif dan bahkan destruktif.
Mari kita cermati kondisi objektif berikut ini, untuk mengetahui hal-hal yang telah memperkaya atau menjarah BI:
- Pers sebagai ‘provokator’ bahasa
Sulit dibantah, pers adalah ‘provokator utama’ bahasa. Pers menggunakan bahasa sebagai alat (tools) utama menyampaikan informasi dan gagasan, selain gambar dan suara. Pers sangat berpengaruh dalam pembentukan logika berbahasa masyarakat, baik yang menyangkut temuan kosa-kata, idiom, maupun kalimat-kalimat yang akhirnya dapat membentuk persepsi dan opini tertentu.
Karenanya pelaku pers dituntut amat peduli terhadap perkembangan BI, dengan cara terus menerus meningkatkan kemampuannya berbahasa. Dalam seleksi para pelaku pers, hendaknya faktor ketrampilan dan sikap berbahasa menjadi syarat penting.
- Televisi dan radio
Marilah kita menengok televisi dan radio. Boleh jadi TV dan radio justru punya daya pukau dan pengaruh lebih hebat, ketimbang media cetak, terutama bagi lapisan masyarakat yang menjadi mayoritas bangsa. Bahasa TV-radio sungguh merupakan ancaman serius bagi masa depan Bahasa Indonesia (BI) dan generasi pemakainya. Di sana BI porak poranda. Sekalipun bahasa yang digunakan adalah ragam percakapan (yang lebih bebas), tampak tidak ada lagi semangat untuk menjaga BI sebagai alat komunikasi standar untuk memelihara budaya.
BI dijarah habis oleh bahasa prokem dan dialek Jakarte, yang bahkan kini virusnya meluas hingga ke pulau-pulau jauh dari Jawa. Ciri-ciri bahasa mereka adalah sangat santai, cenderung seenaknya, tak peduli tata bahasa, sarat akronim dan idiom. Sebaran gaya bahasa ini semakin luas, seiring dengan makin bertumbuhnya media audio dan audio visual. Dikhawatirkan, generasi mendatang akan didominasi oleh perilaku santai, baik dalam berbahasa maupun berkarya. Ini diperparah dengan gaya pengucapan berbagai iklan yang diarahkan ke pangsa konsumen yang sama.
- Lemahnya standar komunikasi
Kita nyaris kehilangan bahasa standar percakapan, sehingga memperlemah komunikasi antarwilayah budaya (etnis) yang sopan dan bermartabat. Ragam percakapan yang telah tercabik-cabik bahasa santai Jakarte, makin diperparah oleh pengaruh bahasa warga keturunan Cina. Penggunaan bahasa campur-aduk ini sudah merambah ke percakapan telepon, transaksi jual beli, dan pergaulan setengah resmi masyarakat.
Bandingkan dengan Bahasa Inggris atau bahasa lain yang mampu menjaga identitasnya, baik dalam ragam tulis maupun percakapan, sehingga mudah digunakan oleh siapapun pemakainya.
- Belantara singkatan dan akronim
Bahasa Pers dirusak oleh para mania singkatan dan akronim. Begitu banyak singkatan/akronim (tiap hari ada yang baru), menyebabkan BI tak berdaya, dan hanya menerima begitu saja apapun yang digunakan pers dan masyarakat. Begitu banyaknya, sehingga ada singkatan yang tumpang tindih dengan makna yang sangat berbeda.
Contoh: TPA Tempat Pembuangan Akhir (Sampah), atau Taman Pendidikan Aliyah, atau Tempat Penitipan Anak, atau Tempat Parkir Atas. Bahkan ada singkatan yang masih disingkat lagi: ABRI Masuk Desa (AMD)
- Belum Selaras dengan Bahasa Profesi Lain
Masih terjadi jurang keselarasan dengan berbagai profesi lain. Seringkali BI menemui kesulitan beradaptasi dengan ragam bahasa profesi yang normatif dan kurang selaras dengan ragam bahasa baku. Misalnya dengan para ahli hukum, kedokteran, TNI-Polri, Notaris, Ahli keuangan, Teknologi, dll. Diperlukan keterlibatan para pemerhati bahasa dari profesi-profesi tersebut, agar bisa memperkaya padanan kata dan kosakata baru BI.
Contoh: Penalangan utang = bail out
Penagihan utang oleh pihak lain = cessie
Laras imbang = spooring & balancing
Pemindah gigi = transmition gear, persneling (Bld)
Perlawanan Jaksa = verset dsb.
- Permainan Kata dan Kalimat
Bahaya penjarahan datang dari para pejabat, tokoh, politikus, dll yang tampil di depan publik, seringkali sesukanya mempermainkan (dan memelintir, spin of word) kata dan kalimat menurut pengertian masing-masing. Pers juga melakukan pelintiran itu (lihat contoh terlampir). Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman persepsi dengan masyarakat. Pada TV dan radio, rekaman langsung pernyataan seperti itu menyebabkan lolosnya aspek penyuntingan (editing). Pada media cetak, direct quotations juga sering digunakan, dan dampaknya sama saja. Beberapa media cetak, cenderung
menyukai judul kutipan langsung yang ‘aneh-aneh’
- Jasa Para Seniman
Kontribusi para seniman (yang kebetulan juga wartawan) sangatlah positif dan memperkaya khasanah BI. Di tangan mereka itulah, BI tampil meliuk indah, gemulai memikat, tegar menggelora, keras mendobrak. Gaya penulisan New Journalism (Tom Wolfe) benar-benar terjelma, dalam karya-karya jurnalistik mereka, sekaligus membuka cakrawala publik tentang kekayaan bahasa. Di antara mereka adalah: Seno Gumira Ajidarma, Bre Redana, Sujiwo Tejo, Goenawan Moehammad, Franky Raden, Emha Ainun Nadjib, Mustofa Bisri, Kwik Kian Gie, Valens Doy, Sindhunata, dll (Sayang belum tampak yang wanita). Termasuk dalam jajaran ini adalah para wartawan dan penyunting berita, yang memiliki kesadaran dan perilaku bahasa positif. Tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu.
- The Invisible Hand
Ada tangan-tangan tersembunyi yang sebenarnya sangat mempengaruhi cara pekerja pers menggunakan BI. Hal ini umumnya menghinggapi para penerbit baru (new entries) yang sedang mencari ceruk pasar. Sebagai pendatang, media baru ini terpaksa harus ‘berteriak lebih lantang’ atau ‘menjotos lebih keras’ daripada media yang sudah mapan, untuk meraih perhatian publiknya.
Tabloid politik dan koran kuning (kriminal-sensasional) yang mengutamakan pasar eceran, terbanyak melakukan cara ini. Pilihan kata dalam judul utama (banner) yang diikuti dengan pilihan sudut liputan (angle) tertentu, bukanlah pilihan sadar para pemimpin redaksi.
Ada kelompok di luar mereka yang ‘lebih kuat’ mendikte media, yaitu para agen dan pengecer koran. Merekalah yang menguasai pasar, dan memegang hak veto untuk menjustifikasi, apakah sebuah cover story layak jual atau tidak. Mereka umumnya hanya memandang pasar kalangan bawah, sehingga pilihan bahasanya cenderung vulgar dan kasar.
Merekalah yang secara tak langsung, menjarah dan mendikte media. Mereka pula ‘pemberangus pers’ di zaman reformasi dan kebebasan ini. Media-media baru yang berjuang dengan modal kecil, tak berdaya menghadapi tekanan seperti itu. Tentu ‘kekejaman’ ini masih bisa dilawan oleh penerbit yang sudah mapan, disertai tim redaksi yang kuat dan bermutu. (Meskipun kenyataannya beberapa penerbit mapan, tetap saja mengabaikannya).
K e s i m p u l a n
- Ada bahaya besar semakin rusaknya bahasa (tulis) oleh dominasi bahasa lisan yang nge-pop, bergaya Jakarte, dan santai slengekan ala anak muda. Kota-kota besar menjadi kawasan subur kerusakan ini.
- Kita terancam tidak memiliki bahasa (percakapan) standar yang memperlancar komunikasi antar etnis dan antar bangsa. (seperti bahasa Inggris yang baku).
- Radio dan televisi sebagai ancaman yang lebih serius ketimbang media cetak. Publik mereka yang rata-rata kaum muda, dapat mempengaruhi respek generasi muda menjaga kekayaan BI. Bahasa sebagai ekspresi budaya sungguh terancam di sektor ini.
- Perlu pengubahan pola pengajaran di sekolah, tidak lagi menekankan pada aspek gramatikal, melainkan lebih banyak praksis (mengarang) dan menekankan pada logika, efisiensi, ekonomi kata, keruntutan berpikir, kesederhanaan, dll. Benteng bahasa di sekolah diharapkan mampu membendung penjarahan bahasa di tengah masyarakat.
- Perlu terus menerus dilakukan kampanye untuk lebih meningkatkan kepedulian dan apresiasi masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Di Malaysia, Pemerintah aktif melakukannya, antara lain dengan memasang poster dan baliho di tengah kota.
- Perlu ditambah pengkayaan kosakata dan serapan dari berbagai bahasa daerah Indonesia yang multi etnis, dan tidak didominasi bahasa Jawa. Di sini bahasa dapat dimanfaatkan sebagai alat pemersatu, di tengah keragaman Indonesia.
- Perlu mendorong para ahli BI dan ahli di bidang lain untuk menemukan padanan kata bagi istilah-istilah teknis (asing) di bidangnya, agar dapat ditumbuhkan apresiasi terhadap bidang-bidang tersebut. Eksplorasi terhadap kekayaan kosa kata BI juga perlu dirangsang, agar BI tidak terasa monoton dan menjemukan.
- Adakah sudah waktunya dibangun ‘lembaga kontrol’ oleh masyarakat, mendampingi peran lembaga Bahasa, untuk senantiasa membangun kepedulian (awareness) masyarakat akan pentingnya memiliki BI yang sehat, kreatif, dan komunikatif. Misalnya membuka kompetisi dan memberikan penghargaan kepada pers (masyarakat) yang menggunakan BI secara positif. (Pernah diadakan Dewan Pers dan lembaga Bahasa tahun 1988).
Tjuk Suwarsono
direktur eksekutif Lembaga Konsumen Media (Media Watch)