Di era yang sudah sangat berubah, adakah falsafah hidup Manusia Jawa sakmadya atau ‘Enam-Sa’ mampu memberikan sumbangsih nyata pada transformasi mental dan batin manusia Indonesia masa kini.
Surabayastory.com – Kerap kali kita mendengar orang membicarakan eksistensi manusia Jawa di tengah pusaran dan keragaman budaya Indonesia yang amat kaya. Sebagian di antara mereka meyakini manusia Jawa memiliki beberapa karakter dan perilaku khas yang ‘membedakan’ dirinya dengan budaya Nusantara lainnya. Tak perlu jauh-jauh hingga ke luar Pulau Jawa. Di satu pulau Jawa saja terdapat banyak sub-budaya yang khas dan berbeda. Bahkan di kawasan yang lebih kecil di propinsi pun kita menemukan warna budaya yang cukup nyata bedanya.
Mampukah wajah masyarakat yang centang-perenang ini dirapikan dan diubah menuju keutamaan kehidupan baru yang mendatangkan kebahagiaan warga? Sudah pasti ini merupakan pertanyaan yang ‘mudah’ diajukan, tetapi akan sangat sulit dijawab dalam bentuk implementasi empirik. Bahwa pertanyaan mudah ini sudah dibahas dalam ratusan bahkan ribuan seminar, semua orang tahu itu. Namun adakah hal itu telah mewujud dalam kehidupan bermasyarakat umumnya?
Pengaruh budaya Jawa, apabila yang dimaksud adalah tradisi yang dibangun sejak Mataram Hindu, sebarannya memusat di sekitar Solo, Jogja, Magelang, Semarang dan sebagian wilayah Jawa Timur sebelah barat dan selatan, seperti Pacitan, Madiun, Ponorogo, Kediri dan sekitarnya. Kawasan ini sering disebut sebagai wilayah Mataraman. Di Jawa Timur saja setidaknya terdapat delapan sub-budaya besar yang unik dan khas berbeda.
Selain wilayah budaya Mataraman yang menghuni kawasan barat-selatan Jawa Timur, berkembang pula sub-budaya Pesisiran/Samin berada di daerah Pegunungan Kapur Utara seperti Cepu, Bojonegoro, Tuban, Lamongan. Agak bergeser ke timur ke arah Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, berkembang sub-budaya Arek. Semakin ke timur atau dikenal sebagai kawasan tapal kuda, terdapat sub-budaya Pendalungan. Kawasan Pendalungan atau campuran Jawa-Madura ini dimulai sekitar Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember. Sedangkan kawasan paling timur di sekitar Banyuwangi, Muncar, Grajagan, diwarnai sub-budaya Osing.
Di tengah-tengah sekitar Malang dan Lumajang, berkembang sub-budaya Malangan. Pulau Madura memiliki ciri khas yang berbeda pula. Sekalipun kini terhubung darat dengan Surabaya, daerah Sampang dan Bangkalan lebih mewakili budaya Madura Kulonan/Barat, ketimbang budaya Arek Surabaya. Sementara Pamekasan dan Sumenep mewarisi budaya Madura timur dikenal dengan Panji atau Keraton Madura. Hebatnya setiap wilayah sub-budaya tersebut menghadirkan karya corak kain batik yang saling berbeda. Ciri khas lainnya mudah ditemukan pada bahasa daerah, dialek, dan beberapa kosakata yang berbeda tetapi mirip.
Tidaklah mudah membuat garis-garis pemisah geografis maupun psikografis untuk menandai keragaman sub-budaya itu. Juga tidak mudah menandai keterkaitan dan saling pengaruh atau saling memperkaya di antara sesama sub-budaya itu. Mobilisasi dan dinamika pergerakan manusia membuat percampuran budaya itu terjadi dari waktu ke waktu. Akulturasi budaya yang dihela nilai-nilai keutamaan, seharusnya mampu mengantarkan watak masyarakat ke arah lebih baik. Namun kita akan selalu kembali pada pertanyaan sederhana, mampukah spirit ksatria Jawa yang menjadi inti falsafah manusia Jawa, mendorong terbentuknya nilai-nilai baru di tengah keragaman budaya itu. Sebuah nilai baru yang lahir dari jiwa bebas dan kreatif, dan yang pada akhirnya membangun masyarakat baru.
Sumbangsih itu
Pertanyaan tentang sumbangsih manusia Jawa itu akan terus bergema, seiring dengan tumbuhnya pengertian-pengertian baru hasil irisan dengan budaya lain yang beragam di Indonesia. Masih banyak ‘’budaya besar’’ di negeri ini yang bertahan sebagai local genius, local wisdom, sekalipun tidak seluruh detailnya terdokumentasi dengan baik. Berbagai pendekatan akademis juga sudah dilakukan untuk mengangkatnya menjadi materi intelektual. Para penguasa dan tokoh pemikir Jawa berkebangsaan Belanda yang pernah lama tinggal di negeri ini, sering menjadi rujukan keilmuan tingkat doktoral.
Tentu hal ini sebuah ironi, mengingat pusat-pusat intelektual domestik justru kurang memiliki data yang lengkap tentang budayanya sendiri. Beberapa bahasa daerah/lokal yang diwariskan suku-suku tertentu bahkan telah punah kehabisan penutur. Pengguna bahasa Jawa lengkap dengan strata krama inggilnya juga terkesan menjauh dari kebiasaan verbal dan tulis kita. Sebaliknya bahasa asing, dengan mutu penggunaan yang acapkali amburadul, justru membanjir di ruang-ruang publik kita.
Beberapa ahli falsafah Jawa seperti Franz Magnis Suseno SJ menilai melunturnya budaya Jawa antara lain disebabkan orientasi pendidikan dasar kita yang lebih kebarat-baratan. Bahkan di kawasan yang masih kental berbudaya Jawa pun, pola dan praksis pendidikan dasar kita menjauh dari penghayatan nilai-nilai Jawa. Hal yang agak berbeda bisa ditemukan di sekolah ‘alternatif’ yang dikembangkan Romo Mangun (Sastrawan dan budayawan YB Mangunwijaya) di Jogjakarta. Sekolah-sekolah itu tidak dipenjarakan oleh aturan formal metode pendidikan nasional. Ia mengembangkan pola khas yang lebih menukik ke lingkungannya sendiri, yakni budaya Jawa yang adiluhung.
Penyebab berikutnya mungkin ketersediaan bacaan umum alias media massa. Dalam sejarah Indonesia merdeka, media umum berbahasa Jawa diwakili dua penerbitan berkala (mingguan) ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jayabaya’. Ironisnya kedua majalah ini justru tidak diterbitkan di pusat budaya Jawa seperti Solo dan Jogja. Keduanya diterbitkan dan dikelola dengan apik oleh orang-orang Jawa di kawasan budaya Arek (Surabaya dan sekitarnya). Terbukti majalah-majalah ini bertahan menembus zaman dengan tiras yang mantap, dan terdistribusi hingga ke Suriname dan Belanda. Menyusul kemudian terbitlah tabloid mingguan yang mencoba menerapkan ‘Jawa modern’ yaitu ‘Jawa Anyar’, tetapi ini tidak bertahan lama.
Bila secara demografis media umum berbahasa Jawa hanya dibaca orang-orang dewasa dan tua, maka layak dikhawatirkan tentang tumbuhnya generasi baru penerus Jawa. Banyak didapati pula bahwa para pembaca sepuh itu tak seluruhnya berhasil meneruskan kegemarannya kepada anak dan cucu mereka. Sama sulitnya menemukan atau mencetak wartawan kader yang fasih dan cakap menulis dalam bahasa Jawa yang baik. Terkadang para editor lah yang menuliskan kembali naskah dalam bahasa Indonesia ke dalam naskah baru berbahasa Jawa.
Pengaruh dan penetrasi budaya-budaya baru, baik yang tradisional maupun modern kekinian, agaknya mudah diterima dan melebur ke dalam rumah budaya Jawa. Seperti diungkapkan Franz Magnis Suseno dalam bukunya ‘Etika Jawa’, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1984, ciri khas budaya Jawa adalah kemampuannya yang luar biasa membuka diri dibanjiri oleh gelombang kebudayaan lain. Dan dalam banjir pengaruh itu budaya Jawa tetap kuat bertahan, menemukan diri dan berkembang mempertahankan keasliannya.
Hinduisme dan Budhisme dirangkul meskipun akhirnya dijawakan. Saat agama Islam berkembang luas, kebudayaan Jawa semakin menemukan identitasnya. Bahkan para Wali penyebar agama Islam dengan tangkas menggunakan pendekatan Jawa untuk membangun harmoni baru di antara Islam-Jawa. Hal ini menjadi kontras dan paradoks bila sekarang bangsa ini kehilangan kearifannya dalam memahami perbedaan budaya dan keyakinan. Franz Magnis, rohaniwan dan dosen etika di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya Jakarta itu berkeyakinan, kalau sekarang budaya Jawa tampak mau tenggelam dalam serangan ombak modernisasi, jangan-jangan akhirnya ‘kejawaan’ akan tetap jaya. Itu sebabnya sudah lama orang Jawa menjadi objek penelitian para ahli dalam dan luar negeri. Apa yang mendasari pandangan Jawa tentang kewajiban dan tanggung jawab, mengapa sikap rukun dinilai positif, sementara sikap keras kepala sebagai negatif.
Sebegitu jauh berbagai penelitian dilakukan oleh banyak ahli berkaliber dunia, toh apa yang disebut budaya Jawa atau orang Jawa bertahan sebagai khasanah misteri yang menarik. Tidak mudah menyimpulkan budaya Jawa hanya dalam satu paragraf, apalagi satu kalimat dan satu kata. Semakin luas dibahas, budaya Jawa seakan membentang hingga ke horison-horison pandangan yang tak berbatas. Bisa jadi setiap ahli akan meneguhkan pandangannya yang khas dan tidak pernah seragam atas budaya Jawa. Dan pandangan yang berbeda itulah yang terus-menerus memperkaya analisis mereka.
Seorang sastrawan yang bukan orang Jawa, Mochtar Lubis menulis tajam dalam bukunya ‘Manusia Indonesia’. Penulis novel ‘Harimau, harimau’ dan ‘Jalan Tak Ada Ujung’ ini menggolongkan orang Jawa kental dengan sifat munafik dan feodal. Apa yang dikatakan orang Jawa sering tidak sejalan dengan kata hatinya. Banyak simbol dan penghalusan bahasa (eufimisme) digunakan orang Jawa untuk sekadar mengungkapkan perasaannya, sehingga bisa terjadi salah tafsir. Sikap ini mirip dengan para diplomat Jepang yang selalu menempuh jalan panjang pembicaraan untuk mencapai satu kesepakatan dan keputusan.
Mochtar Lubis dalam ceramah budaya pada 30 Januari 1978 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, menyampaikan harapan kepada pemerintah untuk menggali sumber-sumber kebesaran jiwa bangsa kita, dan mengembangkannya menjadi jiwa besar bangsa Indonesia. Mari tinggalkan sikap munafik, dan menyelaraskan perbuatan dengan ucapan kita. Mari lepaskan diri dari sikap feodalisme yang menimbulkan kerusakan selama zaman penjajahan, malah menjadi unsur penghambat kemajuan bangsa. Berdasarkan pengamatannya, Mochtar Lubis juga membuat kontras orang Jawa dengan suku-suku dengan latar budaya lain di Indonesia yang terbuka, ceplas-ceplos, ekspresif.
Kesulitan dalam mendefinisikan profil watak orang Jawa juga dialami Franz Magnis mekipun sudah lebih 20 tahun hidup bersama orang asli Jawa, dan melakukan studi ilmiah tentang Jawa. Dia malah balik bertanya, ‘’apakah ada si orang Jawa itu?’’. Mereka berbeda satu sama lain, semua memiliki individualitas yang kuat. Ada yang polos, ada yang berbelit-belit. Ada yang halus ada pula yang kasar. Bahkan ada yang berterus-terang (berbeda dengan tesis Mochtar Lubis) dan ada yang malu-malu. Tidak semua orang Jawa juga selalu menunggu keputusan kelompoknya dalam bertindak. Banyak pula yang bebas dan tidak bergantung kelompok.
Satu hal yang menarik diungkapkan Franz Magnis bahwa sumber inspirasi falsafah dan perilaku Jawa itu berpusat pada orientasi pra-Islam. Meskipun kepustakaan antropologis banyak menggolongkan orang Jawa-santri dan orang Jawa-abangan (Clifford dan Hildred Geertz), namun pengaruh pra-Islam sangatlah kuat. Begitu menariknya periode pra-Islam ini memengaruhi perkembangan budaya Jawa, telah mendominasi pisau-bedah tentang etika Jawa dalam buku Franz Magnis. Hal ini tidak serta-merta mengecilkan pengaruh Islam-Jawa yang berkembang setelah agama Islam berkembang.
Etika Jawa
Tentu akan sangat menarik meneliti etika Jawa pada era sesudah mereka mengenal agama Islam, seperti yang dikembangkan para Wali Sanga. Bukankah kiprah dan pendekatan budaya yang cerdik dan unik oleh para Wali Sanga itu belum cukup terelaborasi dalam penelitian ilmiah kita. Padahal pada komunitas masyarakat tertentu seperti di Kudus (Jawa Tengah) terdapat local-wisdom ajaran Jawa-Islam yang menancap dalam benak warganya. Begitu pun yang berkembang di Cirebon (Sunan Gunung Jati), di Jepara (Sunan Muria) di Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya yang dikembangkan Sunan Ampel.
Bukankah pantai utara Jawa menjadi ladang penelitian antropologis yang akan mampu mengungkapkan secara signifikan, bagaimana sesungguhnya Islam-Jawa itu? Hal ini dapat mengantarkan kita untuk memahami orang Jawa kekinian yang telah bergaul dengan kehidupan lebih modern. Produk budaya Barat yang membeludak, sistem pendidikan dan ekonomi pasar yang semakin sekuler, berikut aspek-aspek kehidupan lainnya, akankah berhasil menggerus kejawaan orang-orang Jawa? Bukankah kita dapati beberapa orang berlatar Jawa yang berperilaku menyimpang, seperti terlibat korupsi dan penyalah gunaan tanggung jawab? Dalam bidang ekonomi juga ditemukan praktik keserakahan dan rekayasa (negatif) keuangan yang eksploitatif? Apakah semua ini masih berhubungan dengan orang Jawa, atau ‘bentuk lain’ dari orang Jawa, sebuah hibrida baru yang tak terelakkan.
Orang Jawa kini juga hidup tersebar di berbagai pelosok Nusantara, bercampur dengan budaya setempat yang sangat beraneka pula. Sebagian di antara mereka bertahan dengan membangun kelompok serba Jawa, seperti ditemukan di perdesaan provinsi Lampung, Sumatera Selatan. Mereka hidup dengan adat-istiadat dan ritual Jawa, berbahasa Jawa, memberi nama tempat dan anak-anak mereka dengan simbol Jawa, acapkali menggelar wayang kulit dengan dalang-dalang Pulau Jawa.
Nun jauh di Suriname juga kental bertahan budaya Jawa dalam detail yang sudah berbeda dengan Jawa tradisional kraton Solo-Jogja. Warga Suriname lebih banyak menggunakan bahasa Jawa krama bawah dan tengah (krama madya) ketimbang krama tertinggi (krama inggil) atau Kawi. Masih banyak ditemukan nama-nama Jawa yang dicoba diwariskan kepada generasi penerusnya. Mereka pun masih menghidupkan karawitan dan keroncong Jawa serta upacara-upacara adat Jawa.
Hal yang mirip dengan Suriname sebenarnya juga terdapat pada wilayah Pulau Jawa lainnya, khususnya di pantai utara sepanjang Pegunungan Kendeng atau Pegunungan Kapur Utara. Penduduk di pesisir utara Jawa ini banyak bergiat di bidang perdagangan dan nelayan. Pengaruh Islam lebih kuat di sini sehingga membentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu budaya pesisir.
Terdapat perbedaan yang kecil dan lembut terhadap praktik berbahasa (dan juga berperilaku) Jawa di antara penduduk di pesisir utara ini. Misalnya kawasan Semarang, Demak, Kudus dan sekitarnya, berbeda dengan Rembang, Blora, Lasem, Bojonegoro. Semakin bergerak ke timur, Lamongan, Gresik, Surabaya, bahasa Jawa terdengar lebih egaliter tetapi juga ‘kasar’ dalam bentuk penggunaan kosakata tertentu. Hal ini sama halnya dengan gradasi bahasa di Pulau Madura. Para penutur di sebelah barat Pulau Garam ini, yakni warga Kabupaten Bangkalan dan Sampang dianggap berbahasa lebih ‘kasar’ dibandingkan mereka yang tinggal di Kabupaten Pamekasan dan Sumenep.
Mungkin hal ini dipengaruhi oleh peninggalan kerajaan lama Madura yang berpusat di Pamekasan. Selain bahasa, corak batik di wilayah barat dan timur juga berbeda. Batik yang diekspresikan di Pamekasan dan Sumenep umumnya memiliki corak goresan dan pilihan warna yang lebih lembut dan temaram. Selintas corak itu tak jauh beda dengan Pekalongan, Solo dan Jogja. Sementara batik di kawasan Bangkalan dan Sampang lebih berani menghadirkan warna cemerlang yang menyeruak, ditunjang corak lebih ekspresif.
Masih diperlukan penelitian yang sahih, apakah terdapat kedekatan dan relevansi antara budaya Surabaya yang tergolong ‘Jawa kasar’ dengan kawasan ‘Madura kasar’ sehingga membentuk Budaya Arek yang keras, blak-blakan, egaliter. Beberapa kosa kata dalam budaya Arek juga tidak akrab di telinga orang Jawa kebanyakan, bahkan ditolak digunakan, karena terdengar kasar. Pada budaya Arek, strata dan unggah-ungguh bahasa Jawa tidak lagi digunakan secara berdisiplin. Bahkan terdapat ‘logika terbalik’ ketika seseorang ‘meninggikan derajat dirinya’ sendiri ketimbang orang lain. Suatu kebiasaan yang sangat berkebalikan dengan tradisi Jawa yang selalu meninggikan orang lain daripada dirinya. Sekadar contoh, banyak warga budaya Arek menyebut dirinya ‘kula sampun dhahar’ atau ‘kula badhe siram’ kepada lawan bicaranya. Dhahar dan siram adalah kosakata yang menggantikan ‘makan’ dan ‘mandi’.
Pada kawasan sebelah barat Solo-Jogja, bahasa Jawa berbaur dengan bahasa Jawa logat Banyumas, Cirebon, dan Tegal. Sementara pada arah ke timur, bahasa Jawa halus masih digunakan secara baik dan tepat di kawasan yang cukup luas, yaitu Pacitan, Magetan, Madiun, Tulungagung, Trenggalek, Blitar hingga Kediri dan Nganjuk. Semakin ke timur bahasa Jawa masih bertahan apik hingga Kabupaten Malang dan Lumajang, meskipun sudah sedikit berbeda logat. Pengaruh bahasa itu semakin menguat di wilayah yang semakin ke barat oleh bahasa Sunda, atau ke timur yang dipengaruhi bahasa Madura dan Osing/Banyuwangi
Di kalangan orang Jawa, kaum priyayi dan pegawai pemerintah dikenal sebagai penutur bahasa yang baik dan berdisiplin. Para keluarga bangsawan bahkan meniru adat-istiadat keraton yang adiluhung ke dalam praksis kehidupan mereka sehari-hari. Bukan berarti di luar kalangan priyayi dan bangsawan budaya (dan praktik berbahasa) Jawa berkurang kualitasnya. Kenyataannya para petani, nelayan, pegawai rendah, tetap berkukuh mempraktekkan bahasa Jawa dengan baik.
Santri dan Abangan
Budaya Jawa juga kuat memengaruhi kaum santri yang menjaga kaidah-kaidah Islam, meskipun dalam praktik religius mereka masih tercampur dengan unsur-unsur budaya Jawa. Kaum santri berkembang menjadi pedagang dan pengusaha yang membuka usaha di sekitar wilayah keraton. Mereka itu, menurut Muskens (lihat Franz Magnis hlm 14) berdagang emas, perak, kain batik, dan ketrampilan kesenian lain. Padahal budaya keraton Jawa pada dasarnya tidak berkepentingan dengan keuntungan ekonomis. Secara politis mereka tidak senang pada perdagangan dan dunia usaha.
Para santri dalam pandangan Jawa berkekdudukan lebih tinggi daripada wong cilik atau rakyat kebanyakan, tetapi lebih rendah ketimbang kaum priyayi. Santri umumnya tinggal di pusat-pusat kota, mendiami kawasan seputar masjid utama atau pasar yang disebut Kauman. Mereka hidup dalam kelompok mereka sendiri. Dilihat dari busananya juga berbeda dengan warga kota kebanyakan. Sampai hari ini istilah kauman itu masih hidup di banyak kota di Jawa, meskipun secara demografis warga kauman sudah bercampur dengan warga budaya lainnya.
Clifford Geertz berpendapat sebagian besar masyarakat Jawa harus dianggap sebagai ‘Jawa Kejawen’. Mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam, tidak sholat lima kali sehari, tidak ke masjid, sering tidak berpuasa Ramadhan. Alam kehidupan santri adalah asing bagi mereka dan tidak jarang menimbulkan perasaan kurang enak. Kaum Abangan berpendapat tatanan alam, masyarakat, dan nasib sudah ditentukan, manusia harus sabar menanggung kesulitan-kesulitan hidup. Anggapan ini erat hubungannya dengan kepercayaan dan bantuan dari roh-roh nenek moyang, yang seperti Tuhan, mendatangkan perasaan keagamaan dan rasa aman.
Ritus relijius orang Jawa Kejawen adalah slametan (selamatan), suatu perjamuan makan seremonial sederhana, para tetangga diundang sebagai bentuk keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Selamatan mengandung nilai kebersamaan dan kerukunan. Semua warga desa sama derajatnya. Mereka yang mempunyai kedudukan lebih tinggi seperti kepala desa, pegawai pemerintah dari kota, dan orang yang lebih tua, perlu didekati dengan sikap hormat dan tatakrama yang ketat. Pengakuan terhadap perbedaan status ini merupakan inti pengertian relijius mereka tentang tatanan dunia.
Usaha untuk selalu menjaga kerukunan mendasari kebiasaan musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Di dalam musyawarah, setiap orang yang terlibat tidak dibenarkan menang-menangan sendiri atau memaksakan kehendaknya ke dalam keputusan yang akan diambil. Seseorang dituntut harus bisa bertenggang, mengalah, berkompromi, dan memahami pendapat orang lain, karena yang hendak dicapai adalah pengertian bersama (common ground). Orang Jawa tidak jemu-jemu menunjuk keunggulan musyawarah.
Tidak seperti orang Barat, proses pengambilan keputusan hampir selalu dilakukan dengan pemungutan suara (voting). Padahal dalam voting tidak terdapat pertukaran gagasan, kolaborasi pandangan, maupun persesuaian pendapat. Setiap suara dalam voting nilainya sama saja, apakah seseorang berpendidikan baik atau orang kebanyakan tak ada bedanya lagi. Motif orang Jawa mengedepankan musyawarah adalah setiap orang bisa menyampaikan pendapat. Mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran yang bisa diterjemahkan sebagai jaminan kebenaran dan ketepatan keputusan.
Kebenaran jangan dicari di luar kelompok ataupun mereka yang paling berkuasa. Semua pendapat harus dihormati, karena keputusan yang tepat merupakan fakta sosial yang mencerminkan keseluruhan partisipan. Pada era turbulensi informasi sekarang, proses bermusyawarah sering dicap boros waktu, makan tenaga, tidak efisien. Musyawarah menuntut adanya pendekatan-pendekatan personal, lobi-lobi untuk menyelaraskan pendapat. Bahkan di gedung parlemen terhormat kita pun, musyawarah sudah terlalu sering digantikan voting. Seakan-akan keputusan identik dengan voting.
Pada akhirnya masyarakat modern juga tak cukup bersabar dengan proses musyawarah. Hampir setiap pengambilan keputusan di tingkat yang paling remeh dan sepele pun, seperti lingkungan keluarga atau kelompok arisan, dilakukan voting-voting. Bocah di Taman Kanak-Kanak pun sedari sangat muda usianya sudah dibiasakan dengan voting, bukan kompromi dalam musyawarah.
Orang Jawa juga memelihara etika kebersamaan dan kerukunan dalam bentuk gotong-royong, yang menurut Koentjaraningrat terbagi tujuh bentuk. Dua bentuk di antaranya dilakukan secara spontan yaitu membantu kematian (layat) dan melaksanakan projek tertentu demi kepentingan seluruh kampung (gugur-gunung). Sedangkan memenuhi undangan pesta (pernikahan, khitanan) merupakan kewajiban sosial di mana setiap tamu memberikan sejumlah uang atau barang konsumsi kepada tuan rumah (njurung atau buwuh). Sebaliknya bila si pemberi kelak punya hajat, maka tuan rumah akan hadir dan memberikan sumbangan yang sama besar nilainya.
Kerelaan individu dalam proses musyawarah itu diarahkan untuk membangun masyarakat yang harmonis. Masyarakat ini juga harus berhati-hati jangan sampai melanggar kepentingan pribadi yang vital, karena dapat memicu konflik secara terbuka yang tidak dapat dicegah selamanya. Masyarakat harus menjamin keadilan dalam menuntut pengorbanan pribadi, jangan sampai ada orang yang jengkel lalu tetap ngotot mempertahankan pendiriannya. Terdapat batas-batas kemungkinan seseorang, yang apabila dilampaui ia bereaksi secara konfrontatif. Menimbulkan letusan yang amat emosional. Mirip letusan Gunung Merapi yang menghancurkan segala-galanya. Letusan semacam itu akan mengejutkan dan memalukan.
Ambisi, persaingan, kelakuan kurang sopan, dan keinginan untuk mencapai keuntungan material pribadi dan kekuasaan merupakan sumber perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang harus dicegah dan ditindas. Kesatuan hendaknya diakui semua pihak dengan membawakan diri sesuai dengan tatakrama sosial. Kalau setiap orang menerima kedudukannya, maka tatanan sosial akan terjamin. Orang Jawa diharapkan tidak mengembangkan ambisi-ambisi, jangan bersaing satu sama lain. Setiap orang hendaknya puas dengan kedudukan yang telah diperolehnya dan berusaha menjalankan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan sikap individu dan sikap sosial seperti dijelaskan di atas, mudah disimpulkan hubungan manusia Jawa dengan alam, baik alam nyata maupun mistis, selalu diupayakan selaras dan harmonis. Tidak ada nilai yang lebih ditinggikan orang Jawa kecuali keharmonisan. Konflik dalam bentuk dan kadar sekecil apapun selalu dihindarkan dan dibuang jauh-jauh. Ini menyebabkan orang-orang tertentu dengan karakter ‘suka berkonflik’ akan dijauhi dan terasing dari kelompok orang Jawa tradisional. Pengucilan seperti ini berjalan dengan sendirinya, diam-diam, tanpa harus menimbulkan kegaduhan dan konflik baru yang akan meruwetkan keadaan.
Hubungan dengan alam sekitar akan bersifat memelihara dan mengharmoniskan segala makhluk yang terdapat di dalamnya. Sangat kontras dengan alam pikiran Barat yang memandang alam sebagai objek eksploitasi dan kapitalisasi. Orang Barat cenderung melihat alam sebagai ‘potensi ekonomi’ yang mesti dikonversi menjadi keuntungan material. Nafsu serakah ini baru sedikit tereduksi dengan maraknya gerakan menjaga kelestarian sumber daya alam, sebagai sebuah kesadaran baru masyarakat modern. Seakan terjadi gerakan masal dunia untuk kembali menghargai eksistensi alam dan seisinya. Di berbagai tempat ekowisata berkembang subur. Begitupun falsafah hidup yang berselaras dengan alam seperti Jawa, kian diminati sebagai panduan hidup.
Harmoni antara manusia dengan alam senantiasa menjadi tema pokok renungan dan falsafah Jawa. Jarang ditemukan alur pemikiran maupun pendekatan budaya orang Jawa yang berkesan menjauhi alam dan keharmonisan. Contoh jelas sikap orang Jawa ini telah tersirat maupun tersurat dalam puncak-puncak sastra maupun budaya Jawa, antara lain wayang purwa, wayang suluh, wayang golek, wayang modern. Bila para santri mendapat piwulang moral dari para Kyai dan pemuka agama Islam, maka orang Jawa menempatkan dalang wayang sebagai ‘guru masyarakat’ (‘Dalang di Balik Wayang’, Victoria M. Clara van Groenendael, Grafiti Pers, 1987).
Setiap lakon wayang senantiasa dibawakan sarat dengan piwulang moral di antara tokoh-tokoh wayang yang berposisi sebagai satria utama pembawa kebaikan melawan para pecundang. Di antara mereka terdapat tokoh tertentu nan arif-bijaksana yang berperan sebagai pembimbing kehidupan. Tokoh seperti ini tidak diwujudkan dengan penampilan fisik penuh pesona seperti halnya Harjuna, Gatutkaca, Resi Bisma, Ramawijaya, atau tokoh menarik lainnya yang selalu menjadi bintang pertunjukan. Wayang Jawa memilih si buruk rupa, Bathara Ismaya (Semar, Badranaya) dan Togog sebagai pengasuh atau batur para ksatria. Istilah ‘batur’ dipersepsikan sebagai kebak pitutur (mampu memberikan banyak petuah kebaikan), pendamping setia yang tak pernah menampik penugasan apapun, sekaligus sekondan (meminjam istilah catur) mengawal tindakan positif yang unggul.
Sangat mirip dengan pendapat Franz Magnis Suseno, tesis doktoral Victoria M Clara juga menekankan bahwa masyarakat Jawa tradisional percaya setiap kedudukan dan nilai-nilai telah disuratkan untuk selama-lamanya, sehingga dipandang sebagai tertib yang mati dan tidak bisa ditawar-tawar. Kekurangan pengertian tentang kedudukan seseorang, dan lalai menunaikan kewajibannya, akan berdampak merusak tertib masyarakat dan alam. Menjadi penting agar tingkah laku masyarakat dibimbing dan diarahkan untuk menghindari bencana itu.
Dalang dan wayang ditempatkan sebagai pusat oleh jiwa Jawa, baik dalam lingkup moral dan batin maupun lingkup implementasi nilai-nilai pada kehidupan sehari-hari. Dalang dan wayang lah laboratorium atau kawah Candradimuka tempat orang Jawa mengasah kepekaan dan memperkaya batin. Begitu popular dan mendalamnya cerita lakon wayang, terbukti dari begitu banyak orang Jawa yang mampu menghafalnya di luar kepala. Masyarakat juga menggali inspirasi perilaku individu melalui tokoh-tokoh wayang favorit mereka.
Tidak semua lakon wayang hanya menghadirkan pujian atau apresiasi terhadap keunggulan dan keindahan filsafat Jawa. Di tangan para dalang yang piawai dan bijak, antara lain dalang fenomenal Ki Nartosabdho, cerita wayang juga menghadirkan kritik sosial yang tajam. Kritik umumnya dilancarkan para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung) terhadap kemapanan para ksatria yang dirawat dan diiringinya. Kritik itu dibawakan dengan bahasa yang jenaka, terkadang terbungkus simbol-simbol, gerak-gerik tubuh (gesture). Jarang sekali digunakan bahasa sarkastis dan vulgar seperti kebiasaan para dalang muda yang kontroversial masa kini.
Begitu mendalam keterkaitan dan kedekatan antara orang Jawa dengan wayang, terlihat dari pergelaran wayang oleh berbagai lapisan masyarakat. Kalangan rakyat biasa, menurut Victoria Clara dianggap mewakili entitas para dalang Jawa yang umumnya lahir dari lingkungan jelata. Mereka berbeda dengan golongan bangsawan/elite yang berkemampuan finansial untuk menggelar wayang. Kaum elite itu terdiri tokoh keagamaan dan kebatinan, sedikit banyak menentukan arah perkembangan masyarakat Indonesia.
Terdapat jurang pemisah antara golongan elite dengan rakyat biasa yang cukup dalam. Dan dalang berikut wayang berposisi sebagai katalisator dan jembatan penghubung antarkeduanya. Sejak permulaan abad ke 20 lahirlah golongan cendekiawan baru di Hindia Belanda. Mereka inilah lapisan pertama bangsa Indonesia yang beroleh pendidikan modern bergaya Barat. Mereka mengambil sikap kritis terhadap masyarakat tradisional serta sistem nilai konvensional. Cendekiawan inilah yang melahirkan para pemimpin yang memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajah.
Jejak-jejak sikap hidup dan etika Jawa telah menyebar di berbagai aspek kehidupan di Tanah Air, bahkan hingga ke manca Negara. Namun selalu tersisa beragam argumentasi, sampai di mana dan seberapa besar sesungguhnya pengaruh Jawa itu merembes ke budaya nasional. Adakah budaya Jawa yang tergolong salah satu ‘budaya besar’ berhasil mewarnai praksis empirik manusia Indonesia. Tentu tidak mudah menarik kesimpulan ringkas, karena kebudayaan adalah sebuah proses yang berkembang, dipengaruhi oleh banyak aspek lain yang saling berkait dan berkelindan. –tks