Bagi Ernesto Che, memenangi Revolusi Kuba dan menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista lebih mudah daripada melepaskan diri dari ketergantungan pada cerutu.
Surabayastory.com – Gambar seorang Che dengan cerutu dan asap yang tebal adalah sebuah gambar yang ikonik. Bagi sebagian anak muda yang sedang mencari jati dirinya, inilah laki-laki yang keren. Bagi sebagian orang yang lain, ini adalah simbol perjuangan melawan ketidakadilan, melawan kesewenang-wenangan, juga simbol revolusi. Namun, di balik semangat revolusi yang keras dan pantang dikalahkan, Che, seorang dokter ahli alergi Itu tak bisa menaklukkan cerutu.
Seperti rekannya Fidel Castro, Che Guevara adalah perokok berat. Bedanya, Fidel bisa mengurangi hingga tidak lagi menghisap cerutu saat usianya mendekati 70 tahun; Che tidak sempat menghentikan kebiasaan buruknya hingga ajal menjemput.
Suatu hari, kepada para koleganya Che pernah berjanji untuk tidak lagi menghisap asap cerutu. Namun, keesokan harinya, ia malah membuat cerutu yang panjangnya hampir satu meter. Padahal, saat masih muda ia sudah menderita asma. Sebagai dokter ahli alergi, ia seharusnya tahu betul bahwa asap tembakau bisa memperburuk kondisi kesehatannya. Namun, Che sudah terlanjur menjadi perokok sampai titik darah penghabisan. Che terjajah oleh kebiasaan mengisap cerutu.
Che punya ide untuk membawa cerutu di antara peperangan bersenjata. Dalam buku hariannya, Che bahkan menyarankan pipa panjang sebagai alat merokok yang ideal selama peperangan. Ia menyebut, alat itu gampang dibawa, gampang untuk digunakan merokok, gampang disembunyikan, dan susah dideteksi musuh. Untuk para gerilyawan, ia juga menasihatkan sejumlah kecil barang yang berharga untuk dibawa dalam ransel; hammock untuk istirahat, lembaran plastik untuk pelindung dari hujan, selimut untuk melindungi diri dari dinginnya malam di gunung, garam untuk kebutuhan makan pokok, minyak pelumas untuk senjata, kantin berisi air segar untuk minum, obat-obatan, dan tembakau. “Merokok pada saat istirahat adalah sahabat paling menyenangkan bagi tentara yang jauh dari keramaian,” begitu tertulis di catatan harian Che.
Che mulai berkenalan dengan cerutu saat di Kuba. Di antara perjuangan gerilya melawan diktator Fulgencio Batista, ia mengetahui perilaku penduduk Kuba. Di kalangan orang Kuba, pipa ceritu dipandang begitu gringo (jantan) sehingga disebut cachimba. Bagi Che, merokok cerutu bukan kemewahan namun itu bagian tak terelakkan dari urusan revolusi dan sebagai pelengkap spiritual untuk meringankan tekanan kehidupan yang penuh bahaya dan kesulitan. (Jesus Arboleya dan Roberto F. Campos, Che’s Habanos, Cigar Aficionado, September/Oktober 1997).
Dari Bunga Campana
Che mulai menikmati asap tembakau pada saat-saat kritis dalam perang gerilya. Dalam operasi pendaratan ke Kuba dengan perahu kecil penuh manusia dari Meksiko pada 1956, Che mengalami gangguan asma terus-menerus. Nafasnya tersengal-sengal, perutnya lapar, tenggorokannya kering, dan ada rasa takut tenggelam ditelan ombak besar dalam cuaca buruk Laut Karibia. Namun, saat ada teman yang mencoba menolongnya, Che malah membentak, “Saya kemari untuk berjuang, bukan untuk dirawat.” Saat mendarat dan mendapat serangan, pasukan kecil ini kocar-kacir. Che sendiri terluka dan harus bersandar di bawah pohon untuk bertahan. Kecil harapannya untuk bisa berkumpul kembali dengan teman-teman gerilyanya karena ia bisa saja tidak tahan dan mati.
Dalam kondisi buruk itu, ada petani setempat yang memberi saran untuk mengisap asap bunga ‘campana’. Menurut kepercayaan penduduk setempat, itu bisa melegakan gangguan sesak nafas. Che mencoba, tapi tidak membawa banyak hasil. Satu-satunya hasil adalah ia mulai berani mencoba mengisap cerutu untuk pertama kalinya. Ketika kondisinya mulai membaik dan berhasil berkumpul kembali dengan teman-temannya, Che kembali mengisap cerutu untuk mengungkapkan perasaan senang. Itu terjadi pada Desember 1956, saat Che berusia 28 tahun.
Sejak itu, Che bergantung pada asap cerutu. Ia berani menyebut, asap cerutu cukup efektif mengusir nyamuk yang sangat agresif. Bahkan, ia begitu jauh berani mengklaim bahwa menghisap asap cerutu membantu meringankan asma. Tapi, dokter Oscar Fernandez Mell yang menyertainya dalam sebagian besar petualangan gerilyanya, mengaku itu cuma alasan pembenar bagi Che yang sudah kecanduan cerutu. Alasannya, dulu Che pernah melakukan riset medis tentang alergi sehingga tentu ia tahu betul ucapannya itu tidak benar sama sekali. Kenyataanya, Che sudah ditaklukkan oleh (seperti tertulis dalam buku hariannya) “aroma wangi daun Kuba.” Che terjebak kepulan asap habano yang bisa membuat pikirannya mengalir dari kenangan menjadi impian.
Ketika gerakan gerilya semakin menguat, Che sudah menjadi komandan yang sangat disegani. Saat menyerbu ibukota provinsi Santa Clara, Che bukan hanya komandan gerilya tapi juga mentor dalam urusan rokok-merokok. Leonardo Tamayo, pembantunya yang kala itu masih berusia 16 tahun, mengungkapkan bagaimana Che mengajarinya merokok dengan cara memberikan putungnya. “Che tidak membasahi ujung cerutu saat ia mengisapnya,” begitu kenang Tamayo.
Setelah revolusi yang menumbangkan Batista, Che mendapat jabatan penting di pemerintahan Kuba. Namun, ia tetap hidup sederhana seperti orang Kuba pada umumnya. Ia makan makanan orang kebanyakan, keluarganya dihidupi dengan gaji yang biasa-biasa saja, ia juga tidak menuntut kemewahan atau menerima bingkisan. Yang ia mau terima sebagai hadiah hanya buku dan cerutu. Soal cerutu, ia suka yang besar-besar seperti merk Montecristo, H. Upmann dan Partagas. Kalau dalam kondisi susah, ia tidak menuntut macam-macam. Asal ada cerutu yang bisa diisap, oke lah.
Ekspresi Cerutu
Bukti yang tak terbantah, ada begitu banyak foto Che mengisap cerutu dengan ekspresi wajah yang nyaman. Saat menjadi menteri di kabinet revolusioner, Che mengaku begitu sibuk hingga nyaris tidak punya banyak waktu untuk tidur namun selalu saja ada waktu untuk merokok. Kalau sudah merokok, ia nyaris tidak pernah membuang sisa-sisanya. Cerutu disedot habis sampai hampir membakar bibirnya. Jika perlu, putungnya dipasang di pipa dan dihisapnya hingga abu terakhir. Pernah, paru-parunya sakit karena emphysema. Ia terpaksa cuti kerja untuk beberapa waktu. Namun, saat para dokter melarangnya merokok, Che pun melakukan negosiasi. Ia minta diizinkan merokok sebatang cerutu saja dalam sehari. Dokter pun membolehkannya. Nah, setelah itu, Che membuat sendiri cerutu yang sangat panjang sehingga ia bisa menikmatinya sepanjang hari tanpa melanggar peraturan dokter.
Sesaat menjelang misi rahasia ke Kongo pada 1965, Che tampil dengan wajah baru. Sebuah foto yang diambil selama persiapan menuju medan baru revolusi, tampak Che tidak dalam penampilan khas seperti biasanya. Rambut dan jenggotnya yang berkibar tampaknya baru dipangkas tipis. Di bibirnya tidak lagi terselip cerutu tebal dan besar, namun cerutu panjang dan tipis. Ada yang bilang, itu cerutu dengan vitola (ukuran) khusus sebagai hadiah dari Fidel Castro. Dilihat dari bentuknya, cerutu itu seperti prototipe Cohiba yang sekarang jadi merek terkenal. Jika benar, Che termasuk orang pertama yang menjadi pencicip salah satu cerutu terbaik di dunia.
Saat terlibat dalam gerilya yang kurang berhasil di Kongo, Che pernah mengatakan, “Saya sangat mendedikasikan perjuangan di Kongo, namun ada yang saya rasa kurang; tembakau yang sebelumnya saya tidak pernah kekurangan dan buku yang biasanya selalu berlimpah. Rasa tidak nyaman karena mengenakan sepasang sepatu robek, pakaian kotor, atau makan dan tidur seperti tentara bukan pengorbanan besar bagi saya.”
Wartawan andal Kongo, Godefroid Dihur Tchamlesso, yang kala itu menjadi penghubungan antara Che dan tentara pimpinan Laurent Kabila, ingat betul bagaimana Che membagikan cerutu sebagai insentif pada gerilyawan terbaik. Namun, untuk mendapatkan kebutuhan perang dari peluru hingga cerutu, perlu perjuangan berat menyeberangi Danau Tanganyika dengan perahu yang sering menjadi sasaran tembak tentara pemerintah. Ketika stok menipis, seringkali Che memotong cerutu dan membagikannya pada tentara lainnya. Seorang anak buahnya mengaku Che pernah memberinya cerutu sepanjang 40 Cm dan menyarankannya untuk memotong menjadi 40 bagian sama persis. Masing-masing harus diisap dengan pipa sehingga bisa dikonsumsi selama 40 hari. Ada juga saran dari Che yang entah serius atau sekadar bercanda. Katanya, setelah mengisap cerutu, asapnya jangan dibuang tapi simpan ke dalam botol. Jika ingin merokok, asap dalam botol itu bisa diisap lagi. Ketika stok sudah benar-benar kritis, Che bersama tentara perokok berat Emilio Aragones pernah mencampur pipa mereka dengan tembakau Afrika. Karena daunnya lebih kuat, seringkali asapnya membuat mereka jadi pusing.
Dikirimi Fidel Castro
Ketika misinya di Kongo berakhir, Che bertualang lagi hingga ke Bolivia. Sepeti layaknya sebelumnya, Fidel Castro menjadi pelabuhan terakhir atas ketergantungan Che pada tembakau. Fidel Castro juga lah yang mengirimi Che cerutu Kuba terakhir yang akan ia isap di penghujung hidupnya. Menurut Leonardo Tamayo salah satu sedikit gerilyawan pembantunya yang masih hidup dalam revolusi Bolivia, Che menerima bingkisan dari Castro di Pegunungan Andes pada 22 Maret 1967. Bingkisan yang dikirim lewat jaringan bawah tanah itu antara lain sekotak cerutu Churchills dan tiga botol Havana Club. Che, yang tidak pernah meminum minuman keras, kala itu membuat perkecualian. Che menikmati cerutu itu diselingi sesekali meminum rum terkenal Kuba. Sambil mengisap sebagian cerutu, Che juga membagikan sebagian lainnya pada teman-temannya.
Setelah itu, Che tidak bisa lagi menikmati tembakau yang terbungkus rapi. Ia hanya bisa mendapatkan daun tembakau yang dirajang dan dikeringkan dari toko-toko atau dari petani setempat, lalu diisap dengan pipa. Ia tidak pernah sekali pun mencoba mengisap rokok putih atau kretek. Ketika amat sulit mendapatkan tembakau, Che mengisi pipanya dengan daun kering apa saja. Tentu saja rasanya tidak sama dan bisa-bisa membakar lidah dan parunya. Terakhir kali Che mendapatkan tembakau saat di desa kecil La Higuera di Pegunungan Andes. Beberapa hari kemudian, Che tertangkap dan diseksekusi.
Che bisa membebaskan rakyat Kuba dari tirani diktator Batista. Namun, ia sendiri tidak bisa membebaskan diri dari tirani tembakau. Che mati dalam usia 39 tahun tanpa sempat terbebas dari pengaruh tembakau. Sepertinya, merokok menjadi kenikmatan terakhir yang ia dapatkan. –laz