Keberanian dan kenekatan yang jadi senjata utama arek-arek Suroboyo. Solidaritas dan pantang dijajah kembali yang mendorong mereka untuk wani (berani).
Surabayastory.com – Tulisan ini tertuju kepada angkatan muda sekarang dan dimaksud untuk sekadar menceritakan pengalaman yang saya alami sendiri waktu itu. Sumber pengalaman dan penglihatan sendiri itu kemudian saya lengkapi dengan sumber-sumber dokumentasi dari pemerintah Indonesia, sumber-sumber Jepang, dan sumber Belanda di Amsterdam dan Den Haag, dan akhirnya dengan sumber-sumber dokumentasi Inggris di Public Record Office di London.
Yang saya ceritakan ini adalah kejadian-kejadian yang sangat cepat sekali perkembangannya. Hampir-hampir ingatan saya tentang kejadian-kejadian itu agak kacau. Bukan kacau yang mengenai substansi dan intinya, tetapi kacau dalam kronologinya. Sebab kejadian-kejadian itu sambung-menyambung, tali-menali, tarik-menarik, deret-menderet dan berjejal-jejal secara cepat dan menggoncangkan sekali. Menganalisa kembali, serta mengatur kembali kronologi kejadian-kejadian itu memerlukan ketenangan restrospeksi dan introspeksi, mawas ke belakang dan mawas ke depan.
Dengan rentetan tulisan tentang Kota Surabaya yang bersejarah itu saya beri judul Seratus Hari yang Menggemparkan Indonesia. Yang saya maksud dengan “seratus hari” di atas ialah jumlah hari antara 17 Agustus 1945 sampai akhir November 1945, yaitu antara Hari Proklamasi Kemerdekaan kita sampai kita meninggalkan kota Surabaya akibat pertempuran-pertempuran dengan tentara Inggris. Sebenarnya tidak persis 100 hari jangka waktu tersebut, tetapi lebih: yaitu kira-kira 105 hari.
Di dalam “hundred days” itu kota Surabaya bergolak melalui tiga garis usaha. Pertama, usaha konsolidasi Pemerintah daerah Republik Indonesia, kedua usaha melucuti tentara Jepang dengan segala macam risikonya, ketiga usaha melawan kembalinya kekuasaan kolonialisme Belanda yang ditamengi oleh tentara Inggris.
Pada awalnya pergolakan melalui tiga garis usaha di atas berjalan dengan cepat sekali. Tempo pergolakkannya yang semula agak pelan-pelan dan ragu-ragu segera kemudian melonjak tinggi sekali dan dalam suasana yang panas; tetapi belum disertai dengan kekerasan dan kekejaman yang berarti, ini berlangsung mulai Proklamasi sampai pertengahan Oktober 1945, jadi selama kurang lebih 60 hari. Tetapi sejak pertengahan Oktober 1945, suasana jadi panas meledak.
Pergolakan mengalami eskalasi. Peledakan pertama itu tercermin dalam pertempuran-pertempuran dengan tentara Inggris pada tanggal 28, 29, 30 Oktober. Kekerasan dan kekejaman, yang sudah lama bersemi, tumbuh cepat sekali. Kemudian sejak permulaan November sampai tanggal 10 November 1945, kita mengalami suatu “Betrekkelijke rust” suatu “relative tranquility”, suatu ketenangan sementara. Baru tanggal 10 November itu kota Surabaya meledak lagi. Kini lebih hebat, lebih intensif dan lebih lama dari ledakan-ledakan terdahulu. Ibarat gunung berapi, seperti Gunung Kelud dan Gunung Semeru, maka Kota Surabaya memuntahkan batu dan laharnya. Batu-batunya banyak mengenai tentara Inggris, dan laharnya mengalir berupa eksodus puluhan dan ratusan ribu penduduk ke Gresik, Sedayu dan Lamongan; dan ke Sepanjang, Krian, Mojokerto, Jombang, Kediri dan seterusnya di sebelah Barat.
Ledakan-ledakan di kota Surabaya itu tidak akan mungkin kalau tidak ada masa sebelumnya yang ikut mematangkan situasi.
Masa sebelumnya itu adalah masa masa Jepang. Karena itu perlu kiranya diceritakan secara singkat tentang zaman Jepang itu dan artinya bagi kota Surabaya. Zaman Jepang adalah zaman penderitaan bagi rakyat kita, lahiriah dan batiniah. Lahiriah, karena adanya paksaan di bidang pencakupan romusha, di bidang pengumpulan padi, bambu, jagung, jarak, dan sebagainya. Batiniah, karena adanya tekanan-tekanan oleh Barisan Propagandanya dan sebagainya. Dan di atas itu semua militerisme Jepang mempunyai Kempeitai, yaitu, yaitu Polisi Militernya dan intelnya. Kempeitai inilah yang menangkapi dan menyiksa tokoh-tokoh Indonesia yang dicurigai. Kantor Kempeitai Jepang adalah di sebuah gedung, yang kini sudah hancur dan di tempat tersebut sekarang berdiri Tugu Pahlawan di muka kantor Gubernuran. Tokoh-tokoh perjuangan nasional, seperti Pamudji, A.Rachim, Sukajat dan lain-lain meninggal karena siksaan. Pak Doel Arnowo selama setahun lebih dijebloskan dalam sel gelap; Ir Darmawan Mangunkusumo selama beberapa minggu ditahan.
Setiap malam orang yang melalui Gedung Kempetai mendengar anjing-anjing galak menggonggong dan menyerang para tahanan; diselingi dengan teriakan dan rintihan mereka yang disiksa. Setiap hari pula kita melihat di tempat-tempat tertentu ratusan rakyat kita yang sudah jadi gembel dan kere berebutan sekitar tempat sampah restoran-restoran sedangkan hampir setiap hari di pinggir-pinggir jalan terdapat mayat rakyat kita mati kelaparan.
Penderitaan-penderitaan lahir batin inilah sebaliknya di kalangan pemuda menimbulkan suatu jiwa patriotisme, nasionalisme dan kerakyatan yang mendalam sekali. Dipengaruhi oleh berita-berita pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar pada bulan Februari 1945 dan sebelumnya itu, pemberontakan rakyat di Indramayu dan Siangaparna, maka meletuslah semangat pemuda-pemuda pelajar di Surabaya pada tanggal 1 Juli 1945.
Hari itu adalah hari Minggu. Militer Jepang di Surabaya ingin mendapat kesanggupan dari pemuda-pemuda Indonesia untuk membantu mereka mati-matian, kalau sampai tentara Sekutu mendarat di Jawa. Rapat pemuda yang diadakan pada hari itu di Gedung Radio di Simpang terbakar oleh tuntutan-tuntutan pemuda dari Angkatan Muda Surabaya seperti Kustur (kemudian jadi ahli psikologi di Universitas Jakarta), Subiantoro (kemudian jadi Dirjen Transmigrasi Pusat) dan lain-lain, bahwa pemuda hanya mau memanggul senjata melawan Sekutu sekarang juga, kalau Indonesia merdeka dan diakui oleh Jepang. Kita besedia mati nanti sore, kalau pagi ini kita merdeka! Suasana menjadi begitu panas sehingga Kempeitai harus membubarkan rapat pemuda itu, dengan menyembunyikan tanda sirine seakan-akan ada serangan udara dan mendatangkan tank-tank ke Gedung Radio.
Demikian sedikit percikan suasana kota Surabaya pada pertengahan tahun 1945. Saban malam kota harus berada dalam alam gelap, karena hampir saban malam ada serangan-serangan udara dari pihak Sekutu terhadap pertahanan-pertahanan Jepang, baik di darat maupun di sekitar Marine Jepang di Ujung.
Juga terhadap daerah industri di Ngagel. Bahaya kebakaran kota, karena serangan-serangan udara itu selalu ada. Latihan-latihan untuk mengatasi semua itu membuat rakyat Surabaya menjadi tabah. Demikian juga latihan kemiliteran yang secara terpaksa harus diberikan oleh Jepang kepada kita, seperti di asrama-asrama Peta, Heiho, Keibodan, Seinendan, Gakukotai, dan sebagainya membuat kita pandai dalam menggunakan senjata api, selain bamboo runcing. Pokoknya pada waktu itu berpacu di kota Surabaya, kepedihan lahir batin dengan kemantapan dan ketetapan dalam untuk memanfaatkan sebanyak mungkin kecakapan dan keterampilan militer Jepang untuk pada saatnya bangkit melawan penjajahan Jepang yang sedang mengalami kesulitan dan juga melawan penjajahan Belanda yang akan kembali lagi. Ditambah bahwa memang rakyat Surabaya terkenal sebagai rakyat yang berjiwa “Sura hing Baya”. Berani dalam bahaya.
— Cak Roeslan Abdulgani, Pelaku sejarah
(dicuplik dari buku Seratus Hari di Surabaya)