Gempa yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, sebenarnya pernah terjadi di masa lalu. Kita sering lupa dan malas belajar dari sejarah.
Surabayastory.com – Surabaya dan Indonesia saat ini sedang “demam” akan gempa bumi dan bahaya yang ditimbulkan pascanya. Masyarakat Surabaya pecan-pekan yang lalu dikagetkan dengan adanya getaran gempa yang ikut dirasakan di Surabaya. Semua lini informasi naik deras dengan topik “gempa Surabaya” sebagai pencarian utama.
Sebenarnya ini bukan kali pertama getaran gempa dirasakan penduduk Surabaya. Ada beberapa kali gempa yang turut dirasakan di masa lalu, bahkan pernah terjadi gemba yang menimbulkan kerusakan yang parah di Surabaya. Karena itu, mari kita belajar dari masa lalu. Mari belajar sejarah. Kita catat peristiwanya, kita dalami, dan ambil hikmahnya untuk masa yang akan datang. Karena sejarah akan selalu berulang dengan intensitas yang berbeda.
Tentang gempa, di Surabaya sebenarnya pernah terjadi guncangan hebat tahun 1867. Sayang, taka da catatan-catatan sejarah yang konkret dan detil mengenai hal itu. Salah satu penanda yang dicatat sepotong adalah adanya tulisan terjadi renovasi bangunan Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria di Jalan Kepanjen, Surabaya akibat gempa.
Sebenarnya, di era kolonial Belanda, sudah ada catatan tentang gempa di Jawa dan Madura. Pernyataan tentang gempa selalu diumumkan ke surat kabar agar diketahui publik. Pengumuman dilakukan oleh para pejabat berwenang sebagai langkah legitimasi berita. Dengan penyebarluasan ini maka peristiwa gempa bisa diketahui publik, punya catatan, dan bisa diketahui generasi yang hidup kemudian.
Sebuah catatan menunjukkan adanya tulisan Source Parameters of the Great Sumatran Megathrust Earthquakes of 1797 and 1833 Inferred from Coral Microatolls yang dituliskan kembali Natawidjaja DH (2006), menunjukkan adanya gempa bumi berkekuatan 8,5 sampai 8,7 Skala Richter tahun 1797. Bencana alam ini mengakibatkan tsunami di pesisir Sumatera Barat.
Masih dari pijakan yang sama kemudian diketahui telah terjadi lagi gempa bumi Sumatera tahun 1833. Guncangan besar ini berdentum keras tanggal 25 November 1833 sekitar pukul 22.00 WIB. Episentrumnya ada di di lepas pantai barat Sumatera. Getarannya dahsyat dengan perkiraan kekuatan magnitude mencapai 8,8 sampai 9,2 magnitudo. Gempa terjadi akibat pecahnya segmen palung Sumatera sepanjang 1.000 km. Efek dominonya, semua kota dan pantai di pesisir utara Pulau Jawa terkena dampaknya. Di Surabaya, getaran relatif kecil, namun ombak laut di pesisir menjadi meninggi.
Gempa ini kemudian juga memicu terjadinya tsunami yang menerjang pesisir barat Sumatera dengan wilayah terdekat dari pusat gempa adalah Pariaman hingga Bengkulu. Kerusakan parah terjadi di Maladewa, Sri Lanka, dan Seychelles. Bergolaknya samudera dilaporkan mencapai Australia bagian utara, Teluk Benggala, hingga Thailand meskipun dalam intensitas kecil. Besarnya gempa ini telah diestimasi dengan menggunakan catatan pengangkatan microatol karang. Namun dokumentasi bencana ini tidak detil sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah korbannya dan dampak ikutan lainnya.
Peristiwa-peristiwa yang diabadikan lewat karya tulisan lebih detil dilakukan sejak 1860-an. Salah satu catatan gempa yang terdokumentasi dilakukan oleh F. Versteeg dengan judul Vervolg op de Aanteekeningen Omtrent Aardbevingen en Berguitbarstingen in den indischen Archipel. Dimuat dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, tahun 1867. Di sini tertulis rangkaian gempa dari semua kejadian gempa di Hindia Belanda.
Catatan secara diskriptif dan berurutan ini sangat menarik. Daftar panjang itu dimulai dari gempa pertama kali terjadi di Ambon, 1 Januari 1863. Kemudian berurutan hingga terjadinya peristiwa gempa di Boeroe (Pulau Buru, Seram Maluku), tanggal 28 Desember.
Dalam catatan ini juga disebutkan adanya gempa bumi di Madura. Terjadi tanggal 19 Mei 1863 pukul tujuh di Pamekasan dan Sumenep. Rekahan gempa bergerak dari arah Timur ke Barat. Guncangan gempa ini adalah gempa vulkanik, yaitu adanya gemuruh magma di perut bumi.
Selanjutnya, Soerabaijasch handelsblad, 7 November 1904 menuliskan: “Dari Soemenep bahwa terjadi gempa yang membuat penduduk banyak terbangun pada Jumat malam, di Soerabaja juga terasa gempa yang terjadi di sana.” Dari berita ini menunjukkan adanya gempa di Madura (Sumenep lagi) yang hebat guncangannya dan terasa hingga Surabaya. Terjadinya pada tengah malam. Dari peristiwa ini kita bisa melihat adanya benang merah dengan gempa di Sapudi (Madura, yang juga dekat dengan Sumenep), 11 Oktober 2018 lalu. Kejadian yang hamper sama kembali berulang.
Gempa Jogja 1867
Di wilayah Pulau Jawa lainnya, gempa juga terjadi di Jogja. Catatan akan peristiwa ini ada seiring dengan perubahan bentuk Tugu Jogja yang ada di perempatan Jl Mangkubumi. Awalnya Tugu ini berbentuk Golong Gilig (bulat memanjang). Namun kemudian berubah karena ada gempa bumi hebat pada tahun 1867. Tugu ini roboh, dan di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII kembali dibangun dengan bantuan dari pemerintah Belanda, yang akhirnya selesai pada tahun 1889.
Bentuk Tugu jogja benar-benar berbeda. Kali ini bentuknya persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Hasil renovasi tahun 1889 itu yang terlihat sampai sekarang ini.
Lebih lanjut kita menggali sejarah gempa di Madura, kita bisa menengok catatan yang dikumpulkan Akhir Matua Harahap dalam Poestaha Depok, berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer.
Peristiwa gempa bumi kembali terjadi setelah beberapa waktu yang lalu terjadi di Donggala, Sigi dan Palu, Sumenep, Madura, serta beberapa wilayah di Nusantara ini sebenarnya adalah kejadian yang berulang. Goncangan gempa terberat terjadi di Pulau Sapudi tahun 2018, sebenarnya pernah terjadi dan tercatat tahun 1891.
Berita akan peristiwa itu berbunyi: Di pulau Sapoedi, Residentie Madoera, pada tanggal 26 Februari 1891, sebuah gempa bumi yang menakutkan diamati dari arah Barat ke Timur (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-03-1891).
Sejauh ini, catatan detil dan menyeluruh tentang gempa di Madura sulit ditemukan. Sebenarnya dengan catatan masa lalu serta kronologisnya, akan sangat membantu untuk melihat riwayat kegempaan di wilayah tersebut, jumlah korban, dan bagaimana menyelamatkan diri. Catatan gempa, vulkanik atau tektonik, di suatu wilayah juga penting untuk bahan dalam memprediksi kemungkinan terjadi (berulang) di masa yang akan datang.
Kejadian gempa di Madura (Pemekasan dan Sumenep) tahun 1863 merupakan catatan tertua tentang kegempaan di Madura. Setelah itu, baru ditemukan catatan gempa di Madura pada tahun 1881 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-11-1881). Di situ disebutkan: “pada akhir tanggal 27 jelang tanggal 28 Oktober seperempat kurang pukul 12, gempa bumi yang agak ganas terjadi di Pamekasan dan Bangkalan (Madura)”.
Kejadian gempa berikutnya terjadi tahun 1883 (Soerabaijasch handelsblad, 13-06-1883). Disebutkan di Pamekasan, pada tanggal 4 bulan ini antara pukul 7.30 hingga 8.00 beberapa gempa ringan dirasakan, bergerak secara horizontal dari Barat ke Timur.
Kemudian terjadi lagi gempa tahun 1891. Gempa yang terjadi tahun 1891 di Sumenep, tepatnya di pulau Sapudi terbilang gempa yang besar (disebut gempa yang menakutkan). Gempa yang terjadi di pulau Sapudi pada tahun 1891 boleh jadi kira-kira setara dengan yang terjadi 11 Oktober 2018 lalu.
Pada tahun 1896 dilaporkan kembali kejadian gempa di Madura (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 24-01-1896). Disebutkan sebuah pesan yang diterima dari Residen Madura berdasarkan menurut laporan dari asisten-residen Sumenep pada tanggal 29 Desember (1895) sore hari, bahwa di Pulau Raas terjadi sebuah gempa bumi yang disertai angin puyuh sehingga mengakibatkan 20 rumah dan 40 kandang kuda di desa Katopak (Raas) roboh. Pulau Raas letaknya tidak jauh dari pulau Sapudi.
Kejadian gempa berikutnya di Madura tercatat pada tahun 1935 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-04-1935). Disebutkan terjadi gempa alam di Madura dari arah Utara-Selatan. Dalam catatan agensi berita Aneta Press, menyebutkan gempa bumi skala kecil dirasakan di seluruh Madura.
Kejadian gempa kembali terjadi di Madura pada tahun 1936 (Algemeen Handelsblad, 01-03-1936). Disebutkan peristiwa terjadi di Pamekasan tanggal 29 Februari pukul 11.50. Gempa dengan intensitas ringan, melintang dari arah Utara-Selatan, dengan durasi getaran selama tiga menit.
Madura sebenarnya sudah akrab dengan gempa. Catatan-catatan ini akan menjadi pelengkap sekaligus sebagai alarm kewaspadaan bagi masyarakat Madura dan sekitarnya. Dimungkinkan catatan gempa di Madura ini tidak lengkap. Banyak kejadian gempa yang tidak terlaporkan, dan mungkin ada yang tidak tercatat atau terlewat dokumentasinya.
Dengan adanya catatan-catatan yang terkumpul, paling tidak bisa sebagai pengingat jika Madura memang sudah takdirnya berada di garis gempa. Wilayah Sumenep, Pamekasan, Pulau Sapudi dan sekitarnya perlu menyadari dan waspada.
Kepedulian pencatatan kejadian kegempaan saat itu mengindikasikan bahwa memahami perilaku gempa di masa Hindia Belanda sudah dianggap penting. Kita perlu pencatatan peristiwa itu menjadi lebih komplet. Dengan menelusuri masa lalu dan riwayat yang tersusun, kita bisa mengantisipasi dan belajar tentang kemungkinan-kemungkinan penyelamatan untuk masa mendatang. –sa
Apa benar itu. Setahu saya 1867 gempa besar di Jogja dan terasa di Surabaya. Tolong dicek lagi. Jangan menyebar hoax dan meresahkan rakyat
Terima kasih atas perhatiannya. Data dan informasi sudah terkonfirmasi dengan benar sesuai sumbernya. Website kami meyebarkan informasi, rujukan, wawasan, dan menebar inspirasi bagi para pembaca dan warga kota.
Terimakasih informasi yang bagus.
Terimakasih sudah berkunjung di surabayastory.com, kami selalu melakukan update seputar surabaya dan sekitarnya.