Karya ini bermula dari keprihatinan melihat pemanfaatan potensi sumber daya alam, terutama energi terbarukan.
Surabayastory.com – Energi tetap menjadi isu sentral di masa depan. Dengan semakin menipisnya cadangan energi berbasis fosil, sudah sejak satu dekade lalu menusia berusaha mengembangkan energi terbarukan.
Berangkat dari besarnya potensi sumber daya alam Indonesia akan sumber energi berkelanjutan, maka dikembangkan sebuah Sistem Pemurnian Biogas Otomatis dengan Teori Kelarutan Gas oleh Air. Alat ini dikembangkan oleh Arief Abdurrakhman ST MT bersama kelima mahasiswa (Radian Indra Mukromin, Eka Wahyu Prasojo, Layly Dian Enggarwati, Endlys Devira Yonando, Dhirga Kurniawan) dari Teknik Instrumentasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS).
Sistem pemurnian biogas ini bersifat berkelanjutan, karena suplai untuk generator tidak bisa terputus atau ada jeda. Produksi biogas yang bersifat fluktuatif menjadikannya harus ditampung dalam sebuah penampungan. Selanjutnya dimurnikan dan ditampung kembali dalam tabung pemurnian biogas. Hasil pemurnian biogas ini langsung dialirkan ke genset.
Produk pemurnian biogas ini menggunakan material yang mudah didapatkan karena bahan dasarnya berupa air. Berdasarkan prinsip Teori Kelarutan Gas, maka tidak ada kendala dalam hal suplai bahan bakunya. Tantangan justru datang pada saat pengujian di pabrik reaktor biogas yang membutuhkan sistem perkabelan yang baik agar mobilitasnya baik.
Produk sistem pemurnian biogas ini juga mempunyai nilai lebih lain, yaitu sistem monitoring-nya. Pengguna produk tersebut dapat mengetahui kuantitas gas yang dimasukkan dalam alat (input), komposisi gas, dan hasil keluaran gas setelah pemurnian (output). Apabila belum mencapai minimum requirement untuk bisa dialirkan ke genset, gas akan kembali lagi ke proses awal pemurnian secara otomatis.
Karya ini lahir pertama kali tahun 2017. Kemudian didaftarkan sebagai sebuah invensi (penemuan) 21 Agustus 2017, dan akhirnya berhasil mendapatkan paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DTKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) RI, tertanggal 14 April 2020.
Sebelumnya, produk pemurnian biogas ini sudah diuji di wilayah desa Nongkojajar, Kabupaten Malang dan Superdepo Sampah Surabaya.
Potensi Indonesia
Sebagai salah satu kampus teknologi di Indonesia, ITS menyatakan mendukung pengembangan energi terbarukan. Dari informasi yang dilansir dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah telah berkomitmen dalam merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35 ribu Megawatt (MW). Sejumlah 25 persen dari target tersebut diupayakan berasal dari energi terbarukan. “Potensi sumber daya alam Indonesia sungguh luar biasa, tetapi baru 15 persen saja yang terpenuhi menjadi energi terbarukan,” ungkap Arief, seperti yang dikutip dari situs resmi ITS Surabaya.
Dari analisis timnya menunjukkan, wilayah Jawa Timur sendiri yang meliputi Malang, Pasuruan, dan kota lainnya yang berfokus pada sektor peternakan belum memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai bahan baku primer biogas secara maksimal. “Padahal dari sekitar 20.000 reaktor biogas yang ada di Indonesia, sekitar 7.000-8.000 di antaranya ada di wilayah Jawa Timur,” tambahnya.
Menurut Arief, minimnya optimalisasi pemanfaatan biogas tersebut bukanlah tanpa alasan. Arief menjelaskan bahwa biogas langsung dikeluarkan dari reaktor ke alam bebas dapat menimbulkan bahaya. Hal ini diakibatkan tidak hanya metana yang ada dalam kandungan biogas, tetapi terdapat juga kandungan pengotornya. “Seperti hidrogen sulfida dan karbondioksida yang berpengaruh pada efek rumah kaca dan menjadi sebab timbulnya pemanasan global,” sambungnya.
Dosen kelahiran 12 Juli 1987 tersebut menambahkan, pada reaktor biogas yang belum dilengkapi dengan alat pemurnian, kandungan pengotornya dapat mencapai 40 – 50 persen. Akibatnya, surplus biogas yang dihasilkan industri rumah tangga tersebut tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. “Hal ini dikarenakan biogas dengan kandungan pengotor tinggi yang langsung dialirkan ke genset akan menimbulkan kerusakan pada mesin generator,” jelasnya.
Atas dasar tersebut, Arief dan tim menggagas sebuah sistem pemurnian biogas dengan mengandalkan bahan-bahan yang relatif mudah didapat. Mengingat sistem pemurnian biogas yang banyak ada di luar negeri biasanya berskala industri, Arief dan tim mengupayakan pembuatan untuk skala rumah tangga. “Khususnya untuk membantu para peternak sapi untuk bisa mengkonversi biogas dari kotoran sapi menjadi energi listrik,” urainya.
Kembali soal alat pemurnian biogas ITS. Setelah paten ada di tangan, Arief dan tim berencana untuk memproduksi secara massal dengan kemasan alat ini yang lebih gampang didistribusikan (compact), sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh peternak yang memiliki reaktor biogas. Selanjutnya bisa digunakan sebagai sumber energi listrik dan dapat menghidupkan piranti elektronik di pedesaan. –sa