Hari ini hari Jumat, cocok rasanya untuk kontemplasi sejenak. Mengetahui dalamnya kehidupan bisa dimulai dari menyelami diri sendiri.
Surabayastory.com – Di mulai dari sesuatu yang paling dekat, paling dalam: tentang hati diri sendiri dan nurani. Sebagai bekal persiapan menikmati kebahagiaan duniawi yang bersifat relatif, namun tetap berdasar pada Kebahagiaan Sejati, perlu kiranya terlebih dahulu kita menguji perspektif kita akan diri sendiri: “Apakah kita memang telah menghayati Kebahagiaan Sejati ataukah hanya sekedar memahami-Nya belaka?” Selalu perlu kita tanyakan pada diri kita setiap saat: “Benarkah kita telah berserah diri kepada-Nya?” Jangan lupa, perasaan dan pikiran itu dapat menipu. Boleh jadi kita merasa telah berserah diri pada Yang Maha Kuasa, tetapi ternyata belum.
Ketika kita merasa telah berserah diri kepada-Nya, namun gagal memperoleh apa yang kita harapakan, lalu kita berkeluh kesah bahkan marah kepada-Nya, itu artinya kita belum berserah diri kepada-Nya. Kesabaran sejati bukanlah menahan-nahan amarah ataupun memanipulasi perasaan, tetapi menerima bahwa semua yang terjadi adalah kebijaksanaan-Nya.
Mungkin saja kita masih berserah diri pada harapan, keinginan dan ego kita. Yang bila kita gagal mencapainya, kita dapat kecewa berat dan menderita.
Untuk itu kita melakukan uji rasa agar mengetahui indikasi pencapaian kita pada Kebahagiaan Sejati. Uji rasa tersebut dilakukan dengan cara melihat ke dalam diri kita sendiri. Konsekuensi logis setelah menghayati bahwa sebenarnya kita tak punya apa-apa dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan adalah kita akan menjadi sosok pribadi yang tenang, santun, damai dan tidak meledak-ledak. Kita menjadi penuh toleransi dan tenggang rasa pada sesama. Keseharian kita akan terasa tentram tanpa dihantui segala macam kecemasan.
Ketika telah berserah diri kepadaNya, kita akan merasakan tenang, damai, tentram, aman, berkecukupan, segalanya terasa ringan dan serba mudah dan dengan sendirinya timbul rasa syukur. Selanjutnya apapun yang kita lihat-dengar-sentuh akan terasa indah. Dalam diri kita akan muncul rasa belas kasih pada diri sendiri, sesama dan alam semesta.
Perasaan–perasaan tersebut akan hadir secara alami, sangat natural, tanpa perlu bagi kita memanipulasi, merekayasa atau memaksa rasa. Kita tidak lagi terpengaruh oleh pujian maupun hinaan. Kita tak akan sibuk membangun citra, memberikan kesan positif, mati-matian mempertahankan apa yang kita pikir sebagai harga diri dan martabat.
Ada lagi suatu efek yang timbul: Berada dia area tersebut kita dapat kehilangan hasrat, keinginan dan ambisi apapun. Dunia tak lagi menarik bagi kita. Tiada lagi keinginan menggebu-gebu untuk mengejar apapun. Kita akan menganggap diri kita tidak terlalu penting. Ego rendah (bahkan bisa juga lenyap). Bahkan tiada lagi keinginan untuk mengejar kebahagiaan. Ya, Kalau pun ada yang ingin kita lakukan, itu lebih banyak bersifat sekilas, sekadarnya dan cenderung spontan. Bukan berwujud obsesi maupun ambisi.
Selanjutnya kita lakukan uji perspektif kita akan kehidupan ini. Jika kita telah benar-benar menghayati bahwa sejatinya kita tak memiliki apa-apa dan kita berserah diri kepada-Nya, maka kita bagaikan penonton yang menyaksikan kemunculan, perubahan dan hilangnya segala sesuatu di hadapan kita yang datang dan pergi silih berganti tanpa kita terlibat secara emosional terhadap semua peristiwa tersebut.
Kita bisa menganalogikannya seperti saat kita menonton film (baik di televisi maupun di gedung bioskop), membaca novel atau bermain drama. Menjalani kehidupan ini dapat diibaratkan bagai menonton sebuah film. Apakah kita menonton sembari sadar bahwa kita tengah menonton sebuah film ataukah kita larut dalam film tersebut?… hingga kita merasa sebagai salah satu tokoh dalam film itu? Kita dapat sekedar menikmatinya, tetapi dapat pula terbawa secara emosional dengan film tersebut.
Begitu pula dengan membaca novel maupun bermain drama. Apakah kita melakoninya dengan sadar? Atau tenggelam dalam apa yang kita baca maupun kita perankan?
Ketika pespektif kita akan kehidupan seperti ini, maka seketika lepaslah keterikatan, kemelekatan dan ketergantungan pada ego kita. Tiada lagi sesuatu yang harus mati-matian dipertahankan. Dan ini sangat indah melegakan. Dorongan yang timbul untuk melakukan sesuatu adalah tanggung jawab kita sebagai pemeran atas sosok diri kita itu, bukan karena desakan ego.
Oleh karenanya segala yang tadinya kita lihat sebagai diri kita dan milik kita (raga, pikiran, perasaan dan kesadaran) akan segera kita sadari bahwa hakekatnya bukan milik kita, bahkan bukanlah kita. Hakikatnya kita tak punya apa-apa. Tiada daya maupun upaya selain atas belas kasih dariNya. Maka berserah dirilah kepada-Nya.
Ketika saya menyebutkan bahwa kesadaran itu sejatinya juga bukan milik kita, seorang kawan memotong pembicaraan saya. “Sebentar,…” katanya. “Untuk berbahagia kita butuh kesadaran, bukan? Bagaimana kita bisa merasakan kebahagiaan bila kita tidak sadar sedang merasa bahagia?” Sejenak saya diam, kemudian berbagi pandangan dengannya,”Benar. Untuk merasakan bahagia dan berseru ‘Life begins everyday’, kita butuh kesadaran. Namun janganlah kita melekati kesadaran itu sebagai milik kita. Karena ia pun timbul-tenggelam, muncul dan menghilang. Bisa karena tertidur ataupun pingsan. Walau kita punya tanggungjawab kemanusiaan senantiasa menjaga kesadaran, namun tak perlu takut bila kelak kesadaran kita pun diambil oleh pemilik sejatinya.
Nah, jika kita telah lolos uji perspektif akan diri sendiri dan kehidupan, maka bolehlah kita menduga bahwa kemungkinan besar kita telah berada di dalamNya, di dalam Kebahagiaan Sejati. Menduga???… Ya! Karena hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang mengetahui dengan pasti apakah kita memang tengah berada di dalam Kebahagiaan Sejati atau tidak.
Walau begitu, hal tersebut telah cukup memadai untuk menjadi modal dasar (basic) guna menikmati kebahagiaan duniawi yang rentan, temporal dan relatif.
Namun semua pencapaian itu bukanlah “the final frontier”, karena kita masih bisa masuk lebih jauh lagi ke dalam Kebahagiaan Sejati. Tetapi semakin masuk ke dalam, kita akan semakin kesulitan mendefinisikan dan menggambarkan rasa bahagianya.
Maka yang perlu selalu kita ingat adalah keberadaan kita di dalam Kebahagiaan Sejati belum tentu permanen. Senantiasa bergerak. Dapat masuk semakin dalam atau malah beranjak keluar. Maka berserah dirilah kepada-Nya.
Ada kawan lain yang berkata, “Aku tahu harus berserah diri, tapi itu teramat sulit.” Saya pun menyarankan, “Berdoalah. Karena kadang untuk berserah diri, kita butuh pertolongan-Nya.” Dia terdiam untuk sesaat, setelah cukup lama barulah berujar, “Iya ya,… Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, maka berserah diri pun membutuhkan izin-Nya.” Saya tersenyum, tak berkomentar. –hs