PUNYA pohon durian tentu menyenangkan. Apalagi rajin berbuah. Terlebih durian Bangkok, yang pohonnya pendek, buahnya mudah diraih tangan.
Tapi kalau pohon yang dimiliki lebih dari lima, itu berarti pekerjaan besar menanti. Terlebih jika satu pohonnya bisa berbuah sampai 250 biji. Biasanya ini jenis durian lokal. Pohonnya tinggi, bisa sampai 15-20 meter.
Dulu sekali, ketika musim durian, kita harus membangun dangau untuk istirahat penjaga sekaligus tempat menyimpan buah yang ranum. Mengapa harus dijaga? Supaya durian yang jatuh tak hilang diambil orang.
Maklum saja, durian yang enak adalah yang masak di pohon. Jika diturun-paksakan, hampir pasti rasanya anyep. Tidak lezat. Maka orang memilih menunggu durian benar-benar masak pohon. Dan jatuh secara alamiah.
Aku masih mengalami menunggu durian jatuh. Bersama dua penjaga bayaran, kami tiduran di dangau. Begitu ada bunyi ‘gedebug’, mereka bergegas membawa sentolop mencari di seputar semak-semak. Mereka minta aku tetap di tempat.
Mendekati subuh, semakin sering durian jatuh. Dan lagi-lagi, aku harus tetap di dangau. Padahal kepingin juga memainkan sentolop berbaterai lima yang sinarnya sangat terang.
Akhirnya aku tidak betah. Secara sembunyi-sembunyi ikut di belakang mereka. Ketika itu ada dua suara durian jatuh nyaris berurutan. Dan ketika mereka melihatku, salah satu berlari kembali ke dangau sambil berteriak.
Setelah kami berada di dangau, seorang di antara mereka mengatakan, salah satu di antara kami harus tetap berada di dangau. Mengapa? Sia-sialah tugas semalaman jika ada maling mengangkut habis durian yang sudah kita kumpulkan.
Aku mengangguk mulai mengerti. Mengerti betapa beratnya berjaga di kebun. Mengerti pula trik si maling durian yang membuat suara palsu seolah ada durian jatuh. Begitu penjaga pergi mencari, si maling turun tangan mengukuti durian di dangau. Itu sebabnya, menjaga durian jatuh minimal harus dilakukan dua orang.
Itu kisah abad lampau. Zaman now sudah jauh berbeda. Pada saat menjelang panen, durian diikat ke dahan terdekat. Jika saatnya masak dan jatuh, maka durian aman tergantung tali rafia di atas sana.
Siang hari baru digantol menggunakan arit yang diikat ke penggalah. Tidak pecah? Don’t worry, sesuai dengan kodratnya durian masak tak serta merta terbelah saat jatuh dari ketinggian.
Lalu mengapa diikat ke dahan? Ya itu tadi, supaya tidak kedahuluan maling. Maklumlah, harga durian mahal. Yang super, bisa mencapai 100K per biji.
Lantas, mengapa tidak bertahan dengan cara lama? Bukankah mengikat dan menggalah pekerjaan rebyek? Risiko jatuh, lagi. Dan ongkosnya tidak murah, sekitar Rp 2.500 per buah.
Masalahnya, tak ada lagi orang yang mau berjaga sepanjang malam. Juga siang. Apalagi, malingnya lebih lihai. Salah-salah kita dapat maling yang menyamar jadi penjaga…
Ikutan Tren
Kembali ke durian Bangkok. Aku tersenyum saat melihat si pemilik ikutan mengikat duriannya. Padahal, buah yang umumnya besar-besar itu dengan mudah diraih tangan. Sangat dekat dengan permukaan tanah.
Apa yang ditakutkan sehingga memasang tali? Takut hilang? Kalau diniati, maling pun dengan mudah menggaet yang di atas pohon. Takut jatuh? Nah ini dia, walaupun dibanting, durian tak mungkin terbelah. Kendati sudah matang pohon.
Rupanya, ikutan tren saja. Tidak tahu makna di balik itu. Kecuali pohonnya tinggi dan di halaman pula. Siapa tahu durian jatuh persis mengenai orang yang lalu di bawahnya. Bisa kaya tuh orang, kata seorang dokter sambil meringis. Kaya luka… ha-ha-ha, humoris juga tuh dokter.
Tidak Berbuah
Musuh durian adalah musim hujan kala proses bunga menjadi buah. Umumnya anyep. Sebaliknya, jika pas kemarau, boleh jadi buahnya manis dan legit.
Tidak semua buah sama rasa kendati satu pohon. Bahkan tidak semua biji sama rasa kendati satu buah. Dhus, jualan durian untung-untung rugi. Kalau rasa tak manis, pembeli enggan memakan. Artinya, ya ngga terjual. Afkir!
Makanya yang aman, menjual durian matang pohon. Tak usah khawatir, sebab ada waktu sekitar seminggu sebelum buah itu membuka dengan sendirinya. Tapi ingat, yang begini ini bukannya tambah manis, tapi justru kehilangan rasa.
Dua tiga hari setelah jatuh, itulah lezat-lezatnya durian. Kalau baru malam tadi, masih ada getah dan membelahnya mesti “berkelahi” dulu.
Mengapa aku kini bercerita tentang durian? Nah… sudah tiga musim ini pohon-pohon durianku tak ada yang berbuah. Juga milik tetanggaku. Padahal, durian Rembangan sangat terkenal. Andai semua pohonku berbuah, tentu sekarang aku sibuk berjualan. Tak sempat lagi menulis kisah ini.
—Yuleng Ben Tallar