Dalam sejarah perjuangan Indonesian nama dr Soetomo memegang peran penting. Jiwa nasionalisme yang tak pernah padam, menghantarkannya mengobarkan jiwa kebangsaan dan humanisme. Sayang, usianya tak panjang.
Surabayastory.com – Dulu, mahasiswa kedokteran tidak dipusingkan oleh masa depan karena pekerjaan sudah menanti. Sekarang, banyak calon dokter yang merasa khawatir tidak punya masa depan. Dulu, para dokter adalah sekaligus pejuang politik maupun kemanusiaan. Sekarang, para dokter dan calon dokter back to campus atau back to hospital. Dr. Soetomo pernah berpesan, “Pekerjaan dokter adalah tugas mulia, namun ada tugas yang lebih penting lagi yaitu Mengobati Bangsa yang Sedang Sakit. Hal ini dapat terwujud bila para mahasiswa kedokteran diberi bekal wawasan kebangsaan.”
Ketika pada masa perjuangan, Dokter Djawa yang berkembang di tanah Jawa, merasakan gaji yang kurang adil, kerja yang berat, frekuensi berpindah tugas yang terlalu sering. Bersentuhan langsung dengan kenyataan di lapangan ini memicu para Dokter Djawa ke arah perjuangan. Kemudian Mas Wahidin Soedirohoesodo yang meletakkan dasar-dasar nasionalisme modern itu pada para Dokter Djawa. Setelah pensiun dari pekerjaannya, Wahidin pada 1906 berkeliling ke berbagai penjuru pula Jawa untuk meyakinkan para pejabat pribumi level tinggi hingga rendah tentang ide-idenya. Wahidin ingin membentuk beasiswa belajar untuk anak-anak Jawa.
Ia yakin, orang Jawa bisa mengangkat diri menembus pendidikan yang lebih tinggi. Banyaknya manusia-manusia Indonesia yang masuk bangku sekolah mulai dari sekolah negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, sekolah malam untuk penduduk (Burger avond Schoool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumi Putera di Bandung, Jogjakarta dan Probolinggo membuat gelombang nasionalisme semakin besar.
Makna perjuangan kebangsaan makin menggelora di dalam diri tokoh-tokoh pemuda seperti Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Sitanala, Dr. Laoh, Dr. Latumenten, Dr. Abdul Rivai, Dr. Tehupeiory kakak beradik. Termasuk di dalamnya terdapat mahasiswa yang tidak sempat menuntaskan studi seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara, nantinya menjadi tokoh pendidikan), Tirto Adhisurjo memperkuat kultur perjuangan.
Gagasan Wahidin ini menggema kuat pada para murid di STOVIA. Pada 20 Mei 1908, di Weltevreden, para murid mendirikan perhimpunan atau organisasi orang-orang Jawa bernama ‘Boedi Oetomo.’ Tujuh pelopor pendirinya adalah Soetomo, Soeradji, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreg, Mohammad Saleh dan Soelaeman. Wahidin, meski tidak ikut mendirikan, menyempatkan diri untuk hadir. Saat pembentukan, berlangsung diskusi hal-hal umum tentang masa depan kebangsaan dan perlunya agen perubahan.
Tanggal ini lalu tercatat dalam sejarah sebagai awal dari nasionalisme Indonesia. Gagasan para pendiri dengan cepat memperoleh dukungan berbagai badan pendidikan Bumi Putera seperti sekolah pertanian (Landouw School) di Buitenzorg (sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsnij School) di tempat yang sama.
Jejak Nasionalisme
Di dalam Gedung STOVIA ini gagasan untuk mendirikan perhimpunan Boedi Oetomo ditiupkan, bersama beberapa tokoh pemuda diantaranya Abdul Muis (nantinya menjadi sastrawan dan wartawan), sejumlah mahasiswa lainnya seperti Mohammad Roem (nantinya menjadi juru runding Indonesia), Assaat (nantinya menjadi pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia di Jogjakarta) dan Sudiman Kartohadikusumo bahkan melanjutkan ke bidang studi lain dan menjadi ahli hukum.
Organisasi Boedi Oetomo didirikan oleh mahasiswa yang lebih senior, seperti Soetomo, Angka, Goenawan, Soeleman, Soeradjim Soewarno dan lainnya. Ketua terpilih adalah Raden Soetomoyang duduk di kelas tiga tingkat medik. Yang juga duduk di kelas tiga adalah Goenawan, Soeleman dan Saleh. Sementara Soewarno duduk di kelas empat. Sedangkan yang duduk di kelas dua adalah Angka dan Soeradji. Kongres pertama Boedi Oetomo diadakan di Djokdjakarta. Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908.
Dr. Soetomo, salah satu pendiri Boedi Utomo di STOVIA, langsung mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Tak pelak, agar kontaknya dengan para nasionalis terputus, dokter kelahiran Nganjuk pada 30 Juli 1888 itu pun berpindah-pindah tugas. Antara 1911 hingga 1919, ia ditempatkan di tujuh pos berbeda di berbagai tempat di Java serta di Sumatra Selatan dan Timur. Tugasnya mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam dan ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda Magetan. Pada 1912, Soetomo juga dipekerjakan di rumah sakit misionaris di Blora meski ia bukan penganut Kristen. Biasanya, Dokter Djawa yang beragama Kristenlah yang dikirim ke klinik-klinik misionaris. Soetomo, atas prestasinya di Indonesia, mendapat beasiswa untuk mendalami penyakit kulit dan kelamin di Belanda. Di Belanda, Soetomo ditemani Everdina, istrinya, juga bertemu dengan sejumlah pemuda pergerakan.
Kembali di Surabaya, pada 1924, Soetomo bekerja di RS Central Buggerlijk Ziekenhuis (CBZ) di Karangmenjangan. Pada saat yang sama, ia juga memberi kuliah penyakit kelamin di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Di sela-sela bekerja dan memberi kuliah, Soetomo pada 11 Juli 1924 mendirikan Indonesische Studie Club atau Pandu Bangsa Indonesia. Kemudian, pada 1930, ia terjun ke politik dengan mendirikan Partai Bangsa Indonesia yang bertujuan memerdekakan Indonesia. Tahun 1935 terjadi fusi antara PBI dengan Boedi Oetomo yang sama-sama diketuai Soetomo hingga terbentuklah Partai Indonesia Raya. Tanggal 15 Mei 1937, Parindra mengadakan Konggres dan Soetomo, ditunjuk sebagai ketuanya. Perjuangan besar Dr. Soetomo mendapat banyak ujian. Namun Soetomo tetap melaju.
Di lingkungan kampus, peran Dr. Soetomo juga tidak hilang. Dr. Soetomo masuk di depertermen kulit dan kelamin (dermatologi). Sebagai kilas balik, awal pendidikan dermatologi di Surabaya di mulai saat diresmikan NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Saat itu mata ajar penyakit kulit dan kelamin (Huid en Geslachts ziekten) diberikan pada mahasiswa NIAS tingkat VI,VII dan VIIB/semi-artsen, sedangkan co-schap di dermatologi selama 6 minggu dan ujian pada hari Senin.
Masa co-schap dilaksanakan di Departemen Dermatologi (Dermatologie a‑ eding) di CBZ Simpang yang terdiri dari 2 “zaal”, yaitu zaal laki-laki dan zaal perempuan. Pada masa ini, tidak jelas siapa pemimpin Departemen Dermatologi ini. Pada tahun 1923, Dr. Soetomo diangkat sebagai “Leraar” (dosen) NIAS oleh pemerintah Hindia Belanda dan merupakan pribumi pertama yang memberikan kuliah di bidang dermato-venereologi di Surabaya. Dr. Soetomo meninggal dunia pada tahun 1938 dan dimakamkan Jl. Bubutan, Surabaya.
Dokter Soetomo diberitakan meninggal dunia oleh Bataviaasch nieuwsblad, 31Mei 1938. Disebutkan Dr. Soetomo adalah satu dari tiga dokter yang dikirim studi ke Belanda tahun 1818 (bersama Dr. Saaf dan Dr. Sardjito). Setelah lulus ujian dokter di Belanda, Dr. Soetomo bekerja di bawah Prof. Dr. Mendes da Costa di Amsterdam. Kemudian bersama Prof. Dr. Plaut di Hamburg untuk menjadi spesialis penyakit kulit dan kelamin. Setelah dari Eropa, tahun 1923 kembali ke Indonesia sebagai dokter kulit di rumah sakit CBZ di Surabaya.
Sejarah mencatat, peran dokter sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak bibit nasionalisme disemai hingga menjadi Indonesia merdeka.
Sebagai salah satu bentuk penghormatan, nama dr. Soetomo kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit umum di Surabaya. Cerita tentang RSUD Dr. Soetomo, adalah kelanjutan dari CBZ Karangmenjangan. Setelah sebagian pindah ke Dharmahusada, tanggal 20 Mei 1964 Roemah Sakit Oemoem Soerabaya diubah namanya menjadi Rumah Sakit Dokter Soetomo, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 26769/ KAB/76. Pada 20 Mei 1965, pengelolaan atau penyelenggaraan RSUD Dr. Soetomo diserahkan pada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1965.
Mulai tahun 1979 RSUD Dr. Soetomo ditetapkan sebagai Rumah Sakit Kelas A, rumah sakit Pendidikan, Pelayanan, Penelitian, dan pusat rujukan tertinggi untuk Wilayah Indonesia Timur.
Tahun 1980, sebagai realisasi tata kota dan pertimbangan efisiensi, maka seluruh kegiatan di RS Simpang dipindahkan ke RS Karang Menjangan. RS Simpang dijual dengan sistem tukar tambah, dan kini menjadi pusat bisnis Surabaya Plaza. Dari hasil penjualan ini, di RS Karangmenjangan dibangun Unit Gawat Darurat (UGD) dan ruangan Bedah berlantai 3. Maka, semua kegiatan pelayanan dijadikan satu di Karangmenjangan. Sejak saat itu pula rumah sakit di jalan Dharmahusada tersebut resmi bernama Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo. Nama ini dipilih untuk mengenang perintisnya dan mengenang pejuang bangsa. Sebagai bentuk penghormatan, patung dada Dr. Soetomo dipasang di depan rumah sakit ini. –sa