Sebagai bagian dari fasilitas layanan umum, telepon umum banyak yang terbengkalai. Punah ditelan zaman dan ketidakpedulian.
Surabayastory.com – Masih ingat dengan telepon umum? Kapan terakhir memakainya? Untuk generasi milenial (lahir di atas tahun 1990), bisa dipastikan tak pernah menggunakannya. Padahal bagi generasi 90-an, fasilitas ini menjadi media vital untuk menghubungi seseorang.
Banyak cerita, kisah, dan pengalaman yang lahir dari keberadaan kotak biru-silver dengan gagang kuat dan kabel perak berulir ini. Mulai dari antre, mengumpulkan koin, hingga gelisah, marah, dan rindu redam. Penyair Seno Gumira Ajidarma salah satu yang mengabadikan kisahnya dalam cerita pendeknya; Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Di sini seseorang yang terus menelepon kekasihnya untuk memastikan apakah masih cinta kepadanya. Bertumpuk uang koin dimasukkan dalam boks telepon umum, dan terus digedor pengantre berikutnya.
Telepon umum memang (pernah) menjadi bagian yang aktif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Telepon umum menjadi alat hubung yang penting untuk komunikasi jarak jauh. Fasilitas umum ini banyak berjasa dan kemudian perlahan dilupakan. Ketika teknologi komunikasi semakin maju dan bergerak, nyaris semua telepon umum terbengkalai dan taka da yang peduli. Sebuah sentimental sekaligus ironi.
Mari kita sedikit menuliskan kisah di masa lalu. Fasilitas telepon umum banyak yang tersedia di berbagai penjuru kota, terutama yang dekat dengan perlintasan atau mengumpulnya orang. Di sekitar sekolah, pasar, daerah perkantoran, hingga jalan menuju kampung atau perumahan.
Telepon umum yang paling ramai diantre adalah di kawasan kost-kostan atau lokasi perbelanjaan. Di area mahasiswa, dipastikan selalu terjadi antrean. Cerita-cerita curang untuk mengakali koin dan sambungan tak terputus lebih lama bisa banyak didengar. Seperti koin yang dilubangi dan diikat dengan tali sehingga koin bias ditarik dan dimasukkan lagi. Memakai trik dengan skema algoritma tertentu seperti memulai dengan tanda (*) dan mengakhiri dengan (##); memulai dengan kombinasi angka (999) dan sebagainya. Ini semacam kenakalan remaja yang kemudian banyak dikenang dan kemudian ditertawakan sendiri.
Di kawasan mahasiswa antrean akan semakin panjang ketika malam minggu atau hari libur esok harinya. Rata-rata mereka membawa koin banyak-banyak hingga bisa berlama-lama. Telepon umum koin saat itu juga menjadi pilihan utama berkomunikasi untuk mahasiswa perantauan.
Koin dan Pulsa
Telepon umum koin. Ya, pasti sebagian besar masyarakat sudah pernah merasakan manfaatnya di masa lalu. 10 Tahun lalu, sarana komunikasi yang terpasang di lokasi-lokasi strategis masih banyak yang menggunakan.
Sebelum tahun 1990-an, ketika kita ingin menelepon orangtua karena jemputan belum datang, kita sibuk mencari telepon umum. Ketika kita hendak menelepon teman untuk menanyakan PR, kita akan mengunjungi telepon umum. Atau ketika kita ingin menelepon kekasih (orang yang dikasihi) untuk menuntaskan kerinduan lewat suara kita bisa menggunakan telepon umum dengan menyiapkan setumpuk koin (Rp 50, Rp 100, atau Rp 500).Di masa itu, dari segi prosentasi jumlah penduduk, pemilik telepon rumah jauh lebih kecil.
Hanya dengan modal koin, kita bisa menelepon dan menghubungi. Hanya dengan koin Rp 100 kita sudah bisa bicara satu menit. Cukuplah untuk sekadar memberikan informasi. Jika ingin lebih lama, kita bisa menggunakan koin Rp 500.
Saat ini koin sudah tak berlaku lagi. Sekarang sudah berganti dengan pulsa. Dan harganya sangat mahal. Kita tak bisa lagi membeli pulsa dengan koin. Pembelian pulsa paling murah Rp 5.000 –Rp 10.000,- plus biaya transaksi Rp 2.000. Kalau mau lebih enak untuk menelepon, kita harus membeli pulsa Rp 25.000.
Bagaimana nasib telepon umum koin? Mungkin kita sudah tak pernah lagi memperhatikannya. Kenikmatan untuk menggunakan telepon umum sudah tidak bisa kita dapatkan lagi. Pengalamannya, romantikanya, juga cerita-cerita di baliknya. Dari pantauan surabayastory, dari beberapa telepon umum koin yang masih tersisa di Kota Surabaya, sebagian besar kondisinya mengenaskan. Telepon tidak berfungsi, kotor, berdebu, dan bahkan banyak yang hilang perlengkapannya.
Telepon umum dengan warna dasar biru itu sudah penuh coretan, gagang dan tombol telepon juga sudah menghilang. Kubikal yang menjadi penutupnya jadi sasaran tempol poster hgelap atau penuh coretan vandalisme.
Jejak telepon umum di Indonesia terbagi menjadi dua: telepon umum koin dan telepon umum kartu. Telepon umum kartu? Sepertinya musnah lebih dulu meski datangnya belakangan. Telepon umum kartu yang baru seumur jagung akhirnya juga jadi benda sejarah.
Dalam Rentang Waktu
Telepon umum koin mulai diperkenalkan pada 1981. Pada kurun masa 1983-1988 tercatat, terpasang sebanyak 5.724 unit. Telepon umum kartu mulai digunakan pada 1988. Mulai terpasang sebanyak 95 unit dan jumlahnya meningkat pesat menjadi 7.835 unit pada 1993. Catatan terakhir, jumlah telepon umum koin pada tahun 2011 berkisar di angka 30.000 unit. Dan setelah itu belum ada data tambahan.
Seperti telepon umum yang berada di Jalan Pacar, Surabaya. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Fasilitas telepon umum yang berada di daerah Jakarta Pusat ini justru kosong, tak ada telepon yang berada di tempatnya, dan mesinnya pun terlihat hilang entah ke mana.
Selain itu, kondisinya sungguh mengerikan. Benda berwarna biru ini sudah ada beberapa kompenen-komponennya yang ada di telepon umum hilang. Seperti bagian gagang telepon umum yang fungsinya untuk mendengar dan untuk menyambung kata antar penelepon sudah menghilang, warnanya pun sudah tidak biru lagi karena sengatan matahari dan tergerus air hujan yang turun.
Dari penuturan warga sekitar, telepon umum itu sudah lama tidak bisa digunakan karena rusak dan taka da perawatan. Sudah lama pula tidak ada petugas yang dulu rutin memeriksa kondisinya atau mengambil kotak untuk menampung koin jika sudah penuh.
Sementara yang ada di Jl. Darmokali, masih lengkap pirantinya, masih terlihat sambungannya dengan kabel Telkom, namun ternyata juga sudah tak berfungsi. Tak ada nada sambung ketika gagang diangkat. Kondisinya, setali tiga uang, berdebu, berkerak, dan sangat kotor.
Di Luar Negeri Masih Digunakan
Tidak diungkap secara pasti, mengapa di Indonesia sudah tak ada lagi telepon umum. Di luar negeri telepon umum masih banyak ditemui dan digunakan dengan layak. Yang jelas, dengan telepon umum biaya yang diperlukan jauh lebih murah.
Seperti contoh di Korea Selatan. Meskipun di negeri ini industri telepon seluler tumbuh pesat hingga masuk ke seluruh dunia, telepon umum tetap digunakan sebagai fasilitas publik. Contoh lain, jika kita melihat film-film Hollywood, kita masih sering menjumpai adegan dengan frame telepon umum.
Kemajuan tekhnologi membuat telepon umum koin ditinggalkan. Apa yang terjadi di Indonesia, sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Inggris, khususnya London. Di kota itu box telepon merah yang amat terkenal perlahan mulai tersingkir. Sebagian yang telepon umum difungsikan dengan cara yang lebih modern, misalnya tak lagi menggunakan koin tetapi pembayaran bisa dengan uang elektronik (kartu). Sebagian lagi dialihfungsikan sebagai tempat untuk mengisi bateri seluler (men-charge). Di Austria, operator telekomunikasi di negara itu, sejak Mei 2010 mengubah telepon umum menjadi tempat isi ulang untuk baterai mobil listrik atau kendaraan listrik. Jadi tetap sebagai fasilitas publik.
Sementara di China, sejak awal 2011 menjadikan telepon umum sebagai tempat pemancar WiFi. Lokasinya di tempat-tempat strategis dan dijadikan titik hotspot sambungan internet. Tetap menjadi layanan umum.
Hilangnya telepon umum sebagai fasilitas publik ini disinyalir sudah tidak lagi menguntungkan. Tentu saja, sebuah layanan publik seharusnya tak lagi dihitung untung-rugi. Karena ini sifatnya layanan (services) bukan bisnis. Asumsi yang lain, masih ada kelompok masyarakat yang membutuhkan telepon umum karena tidak memiliki telepon selular. Ini layanan publik, yang harusnya negara (institusi pemerintah) hadir di sana.
Telepon umum memang tinggal kenangan. Mayoritas masyarakat memilih untuk menggunakan handphone yang lebih canggih dan praktis. Telepon umum ini bisa bertahan di era serba mobile ini.
Kalau sudah tidak dipakai, dari pada mengganggu pemandangan, lebih baik diambil saja. Kita memang hanya pandai membuat dan memakai, tapi tak pandai merawat dan mensyukuri. –sa