Mengapa masker harus menyembunyikan senyummu?
Surabayastory.com – Sudah hampir lima bulan kita tak bisa bernafas dengan leluasa. Ramah-tamah serta senyum yang menggembirakan juga tengah luntur di tengah perasaan waswas, curiga, dan waspada. Betapa menyedihkan dan menekan, ketika mulut ditutup masker, banyak hal humanis yang harus tersita. Semuanya demi keamanan, demi kesehatan.
Lambat laun, sebagai makhluk yang paling adaptif, manusia kemudian mulai berkreasi untuk membuat dirinya serta “gayanya” menjadi lebih nyaman. Salah satunya adalah mencari cara dan tampang agar masker tak lagi membelenggu. Manusia mencari cara untuk kembali hidup layaknya normal kembali.
Selain diperlukan di sebagian besar pengaturan publik di tengah pandemi, masker wajah juga telah menjadi pernyataan mode, simbol protes , hingga gaya hidup (life-style). Tetapi semua itu tidak terlalu membantu dalam mengekspresikan isyarat dan emosi non-verbal.
Itu sebabnya selama dua tahun terakhir, Institut Teknologi Federal Swiss Lausanne (EPFL) dan Laboratorium Federal Swiss untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan (Empa) telah mengembangkan novel, bahan masker transparan yang dapat menyaring udara melalui pori-pori kecil untuk mencegah penyebaran bakteri dan virus berbahaya, sementara juga memudahkan pasien untuk membaca ekspresi wajah perawat atau dokter.
Dikenal sebagai HelloMasks, penutup wajah baru dimaksudkan untuk menggantikan topeng tri-lapis; biru, putih, atau hijau yang dipakai perawat dan dokter. Klaus Schönenberger, kepala EssentialTech Center EPFL — yang membantu transfer teknologi untuk membawa pasokan medis inovatif ke negara-negara berkembang — pertama kali muncul dengan ide tersebut setelah bekerja di negara-negara Afrika barat selama wabah Ebola 2015.
“Sangat menyentuh melihat bahwa para perawat — yang menutupi kepala hingga ujung kaki dengan alat pelindung – menyematkan foto diri mereka di dada sehingga pasien dapat melihat wajah mereka,” katanya seperti dikutip empa.ch.
Schönenberger tahu keterbatasan ini, tetapi pada saat itu, tidak ada bahan transparan yang juga bisa berpori untuk bernafas. Jadi peneliti EPFL dan Empa merancang membran polimer untuk masker bedah.
Karena serat polimer hanya berjarak 100 nanometer (sekitar 1 / 1.000 lebar rambut manusia), ukuran pori-pori kira-kira sama dengan yang digunakan dalam masker bedah konvensional, yang berarti udara dapat melewatinya dengan bebas, sementara virus dan bakteri terlalu besar untuk ditembus.
Dari Polimer ke Electrospinning
Untuk membuat bahan polimer, para peneliti beralih ke metode produksi serat umum yang disebut electrospinning (metode produksi serat yang menggunakan tenaga listrik untuk menarik benang bermuatan larutan polimer-red), yang menggunakan kekuatan listrik untuk menarik benang polimer yang dibebankan. Untuk produksi skala besar, para ilmuwan mengadaptasi metode sedikit sehingga mereka dapat menghasilkan polimer dalam gulungan. Kemudian, pekerja akan membuat topeng di Swiss.
Dan karena para ilmuwan menyadari masker wajah yang mengotori yang telah muncul karena masyarakat umum memakai penutup wajah pelindung, mereka memastikan bahan polimer terdiri dari 99 persen bahan turunan biomassa, yang berarti mereka sebagian besar biodegradable.
EssentialTech Center EPFL telah memulai sebuah startup bernama HMCARE untuk menjual masker baru yang diyakini bisa membuat manusia merasa hidup normal. Profesional medis akan mulai menggunakannya awal 2021, kemudian dokter gigi, lalu masyarakat umum.
Akhirnya, bila masker transparan ini bisa dipasarkan ke masyarakat umum, akan menjawab kebutuhan masyarakat secara mendasar. Di satu sisi bisa sebagai pertahanan terhadap virus, di sisi social tetap bisa “bergaya” dan tersenyum untuk berbagi kebahagiaan. –sa