Freud akan memandang dunia tak kasat mata mirip dengan mimpi dan wawasan yang masuk ke alam bawah sadar kita. Interaksi itu mengandung unsur fantasi.
Surabayastory.com – Konsep tentang fantasi merupakan sesuatu sarana yang memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman yang relative kompleks atas perilaku dan perasaan, meskipun mungkin banyak di antara gagasan-gagasan yang berkaitan dengan masalah ini pada awalnya tampak sebagai sesuatu yang konyol.
Sigmund Freud, pakar psikoanalisis, menemukan fantasi saat dia mulai berusaha memahami berbagai gejala dalam pekerjaannya sebagai seorang neurologi. Sekarang kita menamakan sebagai “gejala konversi”, gejala-gejala ini mengubah suatu gagasan menjadi sebuah fobia atau sebuah gejala media yang terlihat jelas, namun tidak bisa dijelaskan oleh para dokter. Sebagai contoh, saat memeriksa seorang wanita yang mengatakan dia tidak bisa merasakan apa-apa pada bagian lengannya, Freud menemukan bahwa gejala tersebut berkaitan dengan penggunaan lengan baju, dan bukan dengan jalur syaraf. Dia juga menemukan bahwa dia bisa mereplikasi hilangnya sensasi atau gerakan dengan menggunakan hipnosis. Dari hal ini muncul realisasi bahwa gagasan dan pikiran bisa mengendalikan tubuh dalam suatu cara yang sama sekali tidak disadari. Dia menemukan bahwa dengan memberikan para pasiennya untuk membentuk “asosiasi bebas”, dia bisa membentuk sebuah gambaran tentang gagasan-gagasan yang ada di balik pikiran mereka yang menjadi penyebab munculnya gejala-gejala tersebut. Seperti halnya Amis, para pasiennya sering kali tidak suka dengan gagasan-gagasan ini.
Satu kasus lain melibatkan seorang pria muda yang berlari kembali menyusuri jalan yang telah dilaluinya dengan memindahkan batu yang tergeletak di tengah jalan, karena khawatir jika kareta tunangannya akan menabrak batu itu dan akan terjadi kecelakaan. Namun, setelah melewati pemikiran yang berliku-liku dia kembali lagi dan meletakkan batu itu di tengah jalan. Saat Freud mendengarkan dia berbicara, tampak jelas bahwa dia takut tunangannya mati dalam kecelakaan tersebut, namun pada saat yang sama dia juga ingin menyakiti atau bahkan membunuhnya. Gagasan ini tertutup erat dari pria muda itu sendiri, dan dia tidak punya pikiran sama sekali bahwa gagasan tersebut berpengaruh pada pikirannya.
Freud pada awalnya menganggap bahwa gagasan seperti ini adalah ingatan-ingatan kuat yang diubah menjadi gejala, dan pada akhirnya dia menyadari bahwa penyebab dasarnya adalah fantasi, ingatan-ingatan yang terkandung dalam berbagaikisah, atas peristiwa-peristiwa yang mungkin atau mungkin juga tidak terjadi secara nyata. Seperti yang kita semua ketahui, dia menemukan anak-anak perempuan yang berfantasi melakukan hubungan badan dengan ayah mereka dan anak laki-laki yang berfantasi melakukan hubungan badan dengan ibu mereka. Lebih jauh lagi, mereka juga memiliki fantasi membunuh orang tua mereka. Namun tidak satu pun dari mereka yang benar-benar berpikir secara sadar, “ Aku telah berusaha membunuh ayahku,” atau “Aku melakukan hubungan badan dengan ayahku.” Seperti semua orang yang berpikiran sehat, mereka jelas akan menolak gagasanseperti ini.
Saya menjadi yakin terhadap realita dari gagasan-gagasan ini hanya setelah beberapa orang ibu yang saya kenal mengatakan pada saya tentanganak laki-laki mereka yang marah karena mengetahui bahwa tidak bisa mengawini ibu mereka atau “memperoleh bayi dari rahim mereka”. Saat anak-anak tersebut dewasa, mereka menyangkal semua ingatan tentang hal yang memalukan ini.
Gejala-gejala yang dialami oleh para pasien Freud berfungsi untuk mengekspresikan sekaligus menghindari pemikiran-pemikiran seperti ini (seperti halnya lagu “Oh jangan, oh jangan”, yang mengekspresikan dan ditujukan untuk menghindari kematian sang ibu). Freud beranggapan bahwa dia memerlukan sebuah konsep baru untuk membedakan fantasi tidak sadar (yang ditolak oleh pemikiran sadar, namun memiliki pengaruh,”dari balik pikiran”, di mana pasien tidak menyadarinya) dari fantasi-fantasi sadar (seperti angan-angan atau lamunan). Adalah James Strachey, penerjemah Freud yang memutuskan untuk menggunakan ejaan “ph” untuk membedakan fantasi tidak sadar dengan fantasi sadar, dengan tujuan agar situasi yang kompleks ini bisa agak lebih jelas.
Dengan demikian, fantasi pada awalnya dipahami sebagai suatu fantasi atas sebuah peristiwa seperti membunuh ayahnya atau melakukan hubungan badan dengannya, yang dalam hal ini tampak benar-benar ada dalam kelompok-kelompok individu yang mengalami gangguan mental atau yang mengalami penyakit fisik. Fantasi-fantasi ini tidak pernah menjadi fantasi sadar, dan saat berubah menjadi sadar, ia kehilangan kekuatan untuk menciptakan gejala.
Studies in Hysteria
Dalam Studies in Hysteria, Freud menuliskan serangkaian kasus yang cukup menarik untuk dibaca. Fraulein Elizabeth von R. datang padanya dengan mengeluh kakinya sakit, namun rasa sakit tersebut tidak bisa ditangani secara neurologis. Dia setuju Freud akan mencoba “penyembuhan bicara”, namun setelah beberapa bulan berbicara dengan Freud, dia ketakutan saat mengetahui bahwa rasa sakit, tersebut merupakan bentuk dari penghukuman diri karena dia memiliki perasaan-perasaanberzina terhadap kakak iparnya. Setelah hal ini dijelaskan atau disadari, rasa sakit tersebut pergi (demikian juga dengan dia), meskipun selama beberapa waktu yang cukup lama digantikan oleh pemikiran-pemikiran yang menyakitkan. Freud menggambarkan kasus ini sebagai berikut:
Penemuan atas pemikiran yang direpresi dalam dirinya memiliki pengaruh-pengaruh yang besar yang menghancurkan gadis malang itu. Dia menangis keras saat saya secara terbuka mengatakan situasi yang sebenarnya di hadapan dirinya, “Jadi, selama ini kau jatuh cinta pada kakak iparmu”. Pada saat itu dia mengatakan mengalami rasa sakit yang sangat menakutkan, dan melakukan langkah terakhir untuk menolak penjelasan yang saya berikan, itu tidak benar, saya telah berbicara dengannya, itu tidak mungkin benar, dia tidak mungkin mampu melakukan hal keji seperti itu, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Cukup mudah untuk membuktikan padanya bahwa apa yang telah dikatakannya sendiri pada saya tidak memungkinkan adanya interpretasi lain. Namun memerlukan waktu yang cukup lama sebelum kedua pernyataan saya -bahwa kita semua tidak bertanggungjawab atas perasaan-perasaan kita, dan bahwa perilakunya, fakta bahwadia jatuh sakit karena harus menghadapi kenyataan ini, merupakan bukti yang memadai atas karakter moralnya -dan perlu waktu yang lama sekali sebelum kedua pernyataan tersebut bisa dia terima.
Freud mengatakan bahwa ibu gadis itu telah lama mengetahui perasaan anak gadisnya terhadap kakak iparnya. Sebagian dari rasa malu dalam mengungkapkan aspek-aspek dari dalam diri kita sendiri yang kita anggap telah tersembunyikan dengan baik, bisa jadi adalah penemuan bahwa orang lain tidak tertipu, hanya diri kita sendiri. –sa