Dunia bergerak. Media bergerak. Cepat, sangat cepat, dan kemudian berubah. Di mana jurnalistik berada?
Surabayastory.com – Pada hari-hari belakangan ini, masyarakat menyaksikan capaian yang amat mengesankan para pekerja media massa. Mereka terjun jauh ke pelosok, melaporkan warga yang kelaparan dan terserang penyakit. Mereka dengan cermat mengendus keluarga-keluarga miskin yang luput dari pendataan dana kompensasi BBM.
Mereka tak henti-hentinya begadang di tempat para tikus negara berkeliaran, berusaha memotret dan mewawancarai seputar dugaan korupsinya . Mereka pun dihardik, dipukul dan dianiaya. Sungguh sebuah profesi yang mengharukan. Di tengah badai kekacauan segala hal seperti sekarang, di saat kebanyakan orang cuma ‘cari enak dan selamat’, pekerja media massa tetap tekun bertugas. Memberikan laporan secermat-cermatnya untuk publik luas.
Bayangkan jika tidak ada laporan jurnalistik yang ditulis dengan empati dan kadang penuh risiko. Bayangkan bila media cuma asyik menulis cerekarama (berita-iklan) untuk menggemukkan pendapatannya. Seisi negeri akan kehilangan informasi, dis-orientasi. Akan terbangun masyarakat yang kian kehilangan peduli.
Begitu giatnya media massa bekerja, sehingga banyak ditemukan berita buruk dari berbagai sudut negeri yang tak terjangkau. Banyak tempat yang belum pernah dikunjungi pejabat, mendadak terkuak.
Kita ternyata punya banyak sekali masalah. Hampir seratus prosen informasi yang terangkat media, ‘berupa masalah’. Belum selesai demam berdarah, busung lapar, lumpuh layuh, muncul flu burung. Bencana alam silih berganti, tanah longsor, banjir bandang, hingga bencana-kota seperti kebakaran kampung, pembunuhan di taksi, perampokan sadis, dan skandal pemerkosaan.
Ini pun masih diriuhkan oleh serentetan aksi banalitas kerah-putih; rekening misterius, penilepan anggaran daerah, hingga skandal suap Mahkamah Agung. Berita ini berlomba dengan rangkaian sidang-sidang korupsi dan kelanjutan teror bom Bali kedua. Dan kita bisa tebak, sebentar lagi akan berhiruk-pikuk mudik Lebaran berikut badnews nya.
Meja Ping-pong
Konsumen media mengalami gerojokan dan tumpah-ruah informasi. Berdesak ke dalam benak. Perpindahan peristiwa berlangsung begitu cepat. Belum cukup kita paham sebuah persoalan, sudah muncul kehebohan berikut yang tak kalah menyita. Tema pergunjingan di kantor dan gardu-gardu kampung pun berubah dalam hitungan menit, atau mungkin lebih cepat lagi! Setiap orang seakan berlomba ‘lebih tahu ‘ dengan memberi kabar ‘lebih baru’, agar dirinya terkesan aktual dan gres!
Banjir peristiwa dan membludaknya informasi memposisikan manusia bagaikan selembar meja di mana bola ping-pong berpantulan menari-nari di atasnya. Penuh dengan seliweran dan persilangan. Arah pun tidak teratur. Beberapa kali bahkan bola saling tebas dan tabrak. Lalu terpelanting dan jatuh lenyap di telan muka-meja. Nah, bola lenyap itu segera digantikan datangnya bola-bola baru yang juga saling berpelantingan.
Agaknya, inilah realitas baru komunikasi kita di abad modern yang serba bergegas ini, di mana laporan peristiwa (berita) hanya berfungsi layaknya lampu kilat. Berkejap sejenak, sekadar melenting, lalu pergi melintas?
Berita yang lengkap dan mendalam telah kehilangan penggemarnya. Sebagian besar orang membaca koran hanya judul-judul saja, mendengar radio sambil melintas. Dan TV diperlukan sebagai pengisi kebengongan. Tak ada lagi waktu memahami dan mendalami peristiwa. Apalagi merenungkan dan mencari saripatinya. Sejarah terdengar begitu lapuknya, dan filsafat hanya pelarian kerut jidat.
Zaman telah bergerak dengan kecepatan cahaya. Hampir segala hal berlangsung instan dan pragmatis belaka. Apakah dalam soal ini media massa sekadar menjadi korban keadaan. Hanya ‘ikut arus’ karena tak punya pilihan? Ataukah justru media berperan memupuknya. Bukankah zaman instan memang memberikan keuntungan besar bagi industri barang dan jasa. Dan sesungguhnya media juga ikut menikmatinya?
Berita Komoditas
Jakob Oetama, begawan jurnalistik kita, suatu hari berkata, banyak media massa di berbagai negara sekarat oleh sebuah kesalahan yang hampir serupa, yakni ‘’berhenti menulis berita dengan baik’’. Berita telah diperlakukan semata-mata komoditas, bukan produk. Pada ‘komoditas’ tidak diperlukan asal-usul, karakter penulis, dan berbagai identitas kedalaman informasi. Komoditas bersifat massal, anonim, tidak bertuan. Berita menjadi milik semua, sekaligus bukan milik siapa-siapa. Berita bebas dipungut, digandakan, ditambah-dikurangi, dan diputar berulang-ulang. Anda tidak bisa membedakan lagi berita yang ditulis oleh surat kabar satu dan lainnya.
Maka beliau menganjurkan kepada para wartawannya, untuk menulis ‘’berita yang bercerita’’. Menulis kisah-kisah melalui observasi mendalam. Robert Krulwich, koresponden ABC News, pun berkata serupa. ‘’Sesungguhnya wartawan adalah pendongeng (story teller),’’ ujarnya. Krulwich menganjurkan wartawan ‘menemukan metafor atau struktur tersembunyi dalam setiap peristiwa’, yang orisinal dan membuatnya bisa dikenang. Perlakukan setiap kisah sebagai sesuatu yang unik, dan biarkan materi menemukan strukturnya sendiri.
Eksplorasi terhadap karakter (who-siapa) adalah hal penting untuk menarik orang masuk ke dalam tulisan. Detail-detail kecil dapat mengungkapkan seseorang menjadi manusiawi dan nyata. Penulisan berita naratif adalah menulis dengan sikap. Terkadang didorong oleh empatinya, wartawan secara emosional masuk ke dalam peristiwa. Bukan untuk menyusupkan opininya, melainkan berniat komprehensif dan menghidupkan cerita.
Diperlukan kecakapan teknis untuk bercerita lebih kreatif dan lebih komunikatif , agar berita mampu mengungkap hal-hal yang bernilai untuk mempengaruhi sikap publik yang positif. Sejauh ini berita seakan terperangkap dalam efektivitas bungkus dan kemasan, yang sangat dikekang waktu (durasi) dan ruang (space). Bukan pada makna penting isinya. Produktivitas yang dituntut perusahaan media memaksa wartawan berkarya dengan hitungan jumlah berita, bukan pada kemampuannya memberi makna peristiwa.
Hiburan Dangkal
Sebuah penelitian di Amerika oleh Project for Excellence in Journalism antara 1998-2000 mendapati stasiun TV yang mampu menyajikan berita-berita lokal berkualitas, naik ratingnya dua kali lipat. Sebaliknya stasiun yang puas hanya menyajikan berita hiburan dangkal, merosot ratingnya. Ini memperlihatkan bahwa menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat dan menghibur, akan gagal sebagai strategi jurnalisme jangka panjang.
Alasannya, jika Anda hanya menyuapi pemirsa dengan masalah sepele dan hiburan, Anda akan memudarkan selera dan pengharapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Pemirsa cenderung malas mencari alternatif. Pemirsa tak lagi peduli stasiun mana yang mereka tonton.
Jadi, sudah matikah jurnalisme?
James Carey, seorang profesor di Columbia University, AS menuliskan, sejarah jurnalisme selama 300 tahun terakhir telah berpindah dari kepatuhan partai politik menuju kepentingan publik. Media menyadari adanya publik yang jumlahnya besar tetapi diam karena miskin akses informasi. Publik itu pula yang termarjinalkan dan terpental dari sirkuit ekonomi yang selalu bias kepentingan. Sejak kelahirannya, jurnalisme telah bertekad memenuhi panggilan sucinya, yaitu mengangkat kelompok pinggiran ini agar mampu menaikkan posisi tawar politiknya di hadapan para elite.
Mungkin jurnalisme belum mati benar. Ia hanya sekarat memikirkan peran barunya di jagat raya yang serba berkelebat.
Tjuk Suwarsono
pemerhati media