Cerita kehidupan Soekarno dan Inggit Garnasih adalah kisah cinta dua anak manusia yang tulus, penuh perjuangan, pengorbanan dan kelak membentuk sejarah.
Surabayastory.com – “Tidak usah meminta maaf Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini.” Itulah kata-kata Inggit Garnasih tahun 1960, ketika Soekarno berada di puncak kekuasaannya. Soekarno yang kala itu berusia 59 tahun, mengunjungi Inggit yang berusia 72 tahun. Soekarno meminta maaf karena telah menyakiti hatinya. Namun dengan besar hati ia menerimanya.
Inggit tetap memandang Soekarno sebagai sosok yang dekat di hatinya. Ia juga tetap memberikan mengingatkan Soekarno, “Kus, ini baju (jabatan) pemberian rakyat. Kus harus ingat dan harus bisa menjaganya. Jangan sampai melupakan mereka.”
Inggit masih memanggil Soekarno dengan nama Kusno, nama kecilnya.
Dus, cerita Inggit dan Soekarno adalah sebuah kisah indah, humanis, sekaligus inspiratif dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bukan hanya kisah dari dua insan yang saling jatuh cinta, tetapi juga perjuangan dan pengorbanan.
Kisah ini bermula ketika Soekarno lulus Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya (setingkat SMA) akhir Juni 1921. Soekarno muda datang ke Bandung dengan impian besar. Ia ingin ingin menjadi seorang insinyur sipil dengan kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu mahasiswa teknik pribumi masih bisa dihitung dengan jari.
Atas pertolongan pimpinan Syarikat Islam, Tjokroaminoto, guru sekaligus mertuanya, Soekarno mendapat tempat kos di rumah Sanusi. Soekarno dengan mudah bisa diterima karena pemilik rumah teman sejawat HOS Tjokroaminoto di Syarikat Islam.
Soekarno dan Utari tiba di Bandung sekitar seminggu sebelum pelajaran dimulai. Mereka menempati rumah pasangan Sanusi dan Inggit di Jalan Ciateul No. 8 (sekarang Jalan Inggit Garnasih No 174), Kota Bandung, Jawa Barat. Ini adalah rumah yang memiliki tujuh ruangan khusus. Dan rumah inilah yang menjadi saksi awal perjumpaan dan kisah asmara Presiden Republik Indonesia Pertama, Soekarno, dengan Inggit Garnasih.
Disambut Depan Pintu
Soekarno tak pernah lupa saat Inggit, istri Sanusi, menyambutnya di pintu rumah itu. Karena ia langsung mengagumi wanita itu sejak pandangan pertama. “Keberuntungan yang utama itu sedang berdiri di pintu masuk dalam suasana setengah gelap dibingkai lingkaran cahaya dari belakang. Dia memiliki tubuh yang kecil, dengan sekuntum bunga merah menyolok di sanggulnya dan sebuah senyuman yang mempesona. Dia adalah istri Haji Sanusi, Inggit Garnasih. Oh, luar biasa perempuan ini,” kata Soekarnodalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.
Saat itu usia Soekarno 20 tahun. Sementara Inggit 33 tahun. Kematangan Inggit benar-benar membuat Soekarno terpesona. Soekarno memang saat itu telah menikah dengan Oetari Tjokroaminoto, tapi entah kenapa ketika melihat Inggit hatinya tergetar.
Inggit pun terkesan dengan pertemuan pertama. “Dia mengenakan peci beledu hitam kebanggaannya dan pakaian putih-putih. Cukupan tinggi badannya. Ganteng. Anak muda yang bersolek, perlente,” kata Inggit dalam novel biografi Kuantar ke Gerbang yang ditulis Ramadhan KH.
Sejak itu Inggit melayani semua kebutuhan Soekarno. Setiap hari bertemu membuat keduanya mulai berani bicara hal-hal pribadi. Dan dari situlah berkembang hubungan asmara yang semakin lama semakin dalam.
Suami Inggit, Sanusi adalah salah satu saudagar. Karena urusan dagang dan organisasi, ia sering keluar rumah. Belakangan Sanusi juga sering keluar rumah untuk sekadar main biliar atau nongkrong sama teman-temannya. Mungkin dia mulai merasa perkawinannya tidak sempurna karena belum hadirnya momongan dari istrinya.
Inilah awal mulanya Inggit merasa kesepian dan Bung Karno masuk ke dalam kehidupannya yang paling dalam. Karena memang Soekarno lebih sering berada di rumah untuk menemaninya.
Saat berduaan, mereka sering saling bercerita. Soekarno soal perkawinannya yang hambar. Inggit pun tak bahagia dengan perkawinannya.
Saling curhat itu nyaris tak pernah terganggu karena Sanusi sering tak ada di rumah. Utari rupanya tidak dianggap keberadaannya oleh keduanya karena masih dianggap kanak-kanak.
Maka Inggit pun menjadi teman curhat Soekarno yang setia. Pada Inggit-lah, Soekarno menumpahkan segala keluh kesah dan cita-citanya. Malam-malam yang dingin di Bandung telah menyatukan mereka.
“Hanya Inggit dan aku dalam rumah yang sepi. Dia kesepian, aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Dan perkawinanku tidak betul. Dan, sebagai dapat diduga. Hubungan ini berkembang,” kata Soekarno. Lalu ia dan Inggit pun diam-diam saling jatuh cinta.
Satu tahun Soekarno muda tinggal bersama Sanusi dan Garnasih, akhirnya bibit cinta terlarang pun tumbuh di antara Sekarno dan Garnasih. Keduanya diam-diam menjalin percintaan sembunyi-sembunyi di belakang Haji Sanusi.
Pada kenyataannya Bung Karno memang tidak mendapatkan kehangatan hubungan layaknya pasangan muda yang baru menikah. Apa yang bisa diharapkan dari seorang istri yang masih kanak-kanak dan belum memahami hak dan kewajiban suami istri. Apa yang bisa diharapkan dari seorang istri yang masih suka asyik dengan permainan anak-anak?
Utari tampaknya juga sangat tidak berpengalaman dalam menghadapi orang-orang di luar rumah. Seperti dikutip dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), Utari tampak asing dengan kehidupan barunya di Bandung. Karena memang dia jarang bepergian. Karena itu Tjokroaminoto secara khusus meminta Sanusi dan Inggit untuk menjaganya.
Inggit Garnasih segera menangkap kejanggalan hubungan pasangan suami istri itu. Dia melihat mereka hidup dalam dunianya sendiri-sendiri yang terpisah. Aktivitas politik Soekarno yang semakin padat membuat perbedaan itu semakin tajam.
“Yang seorang ke kanan, yang seorang ke kiri. Yang seorang sibuk membaca, belajar tekun, yang seorang main simbang (permainan tradisional) atau main lompat-lompatan di halaman. Terlalu berjauhan dunia mereka, pikirku,” tutur Inggit.
Karena menganggap Utari sebagai anak-anak, Soekarno mengaku tidak pernah “menyentuh” Utari selama menikah. Faktor itu sepertinya menjadikan mahligai pernikahan mereka tidak berjalan harmonis.
Kedekatan Soekarno dengan ibu kostnya semakin menjauhkan dirinya dari Utari. Kepada wanita yang usianya jauh di atasnya itulah, Soekarno menumpahkan segala uneg-unegnya tentang kehidupan rumah tangganya bersama Utari. Ia menganggap istrinya yang masih mudia usia itu seperti bayi yang tidak mengerti alur dan jalan pikiran Soekarno.
Soekarno juga tidak menemukan sosok keibuan yang sangat didambakannya pada Utari, seperti Suharsikin bagi Tjokroaminoto. Selama tinggal di rumah kost Tjokro, Soekarno membayangkan kehidupan pernikahan yang hangat seperti Tjokroaminoto-Suharsikin.
Inggit menanggapi setiap keluhan Bung Karno muda dengan menasihati Soekarno agar memperbaiki hubungannya dengan istrinya Utari. Soekarno bukannya melaksanakan nasihat itu, tapi malah selalu berusaha merayu.
Akhirnya hati Inggit luluh juga. Seperti pengakuan Inggit,di halaman 33 buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit Dengan Bung Karno, “Ia (Soekarno) merayuku lagi. Dan akupun peka. Setan apa yang telah menyeret kami sehingga kami lupa diri dan menikmati kehidupan ini, dihanyut ke lautan asmara tanpa akal sedikitpun.”
Hubungan anak kost dengan ibu kost-nya itu pun semakin intensif. Perbincangan keduanya kerap berlangsung hingga larut malam. Bahkan keduanya disebut makin mesra saat Sanusi, suami Inggit, sudah tidur atau tidak berada di rumah. Kedekatan itulah yang membuat Utari akhirnya merasa cemburu. Kecemburuan itu juga yang menyebabkan Soekarno meminta pisah ranjang.
Kemudian pada akhir 1921, muncul kabar bahwa Tjokroaminoto ditangkap Belanda. Soekarno pergi ke Surabaya untuk membantu meringankan beban mertuanya itu. Sedangkan Utari tetap tinggal di Bandung.
Di Surabaya, Soekarno berperan sebagai kepala keluarga menggantikan Tjokro yang dibui. Dia bahkan menopang pendidikan dua adik Utari, Anwar dan Harsono, yang sempat terhenti. Soekarno menjadi guru di rumah, karena Anwar dan Harsono dikeluarkan dari sekolah akibat akibat aktivitas politik Tjokro.
Meski menjalankan perannya dengan baik sebagai kepala keluarga Tjokro, Soekarno menyimpan kegelisahan. Pria bernama kecil Kusno itu tidak lagi merasakan kebahagiaan pernikahan dengan Utari. Kegelisahan itu makin terasa saat keduanya berjauhan.
Setelah tujuh bulan tinggal di Surabaya, Soekarno kembali ke Bandung pada Juli 1922 untuk melanjutkan kuliah. Namun, kepulangan dan pertemuannya kembali dengan Utari tidak membuat hubungan cintanya membaik.
Soekarno bahkan sempat pulang ke Blitar untuk berkeluh kesah ke ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Tidak hanya itu, Soekarno juga menceritakan tentang Inggit, perempuan Priangan yang diakuinya telah mengisi relung hati.
Persimpangan Cinta
Soekarno seperti tidak melihat Inggit sebagai istri Sanusi, melainkan perempuan single. Saat itulah Soekarno seperti berada di persimpangan, antara Utari dan Inggit.
Sepulangnya ke Bandung, Soekarno pun berniat untuk memulangkan Utari ke rumah orangtuanya di Surabaya. Niat itu bahkan diceritakannya kepada Inggit.
Dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengaku bahwa Utari bukan perempuan yang tepat untuknya. “Ia bukan idamanku, oleh karena itu tidak ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai,” tutur Soekarno.
“Sebagai teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, sementara ia main bola tangkap…” lanjutnya.
Hubungan percintaan antara Soekarno dengan Inggit Garnasih semakin membara seiring kondisi rumah tangga masing-masing yang semakin hambar. Perubahan sikap yang ditunjukkan Haji Sanusi terhadap Inggit membuat wanita manis itu semakin kesepian dan tak punya teman mengadu. Sementara, hubungan rumah tangga Soekarno dengan Siti Oetari juga tak berbeda jauh. Soekarno semakin merasa bosan dengan sikap kanak-kanak Utari.
Kondisi tersebut mengakibatkan Soekarno dan Inggit tak bisa menahan rasa cinta mereka. Masih dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, diceritakan, “Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya itulah yang terjadi. Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali dan kami terperangkap dalam rasa cinta satu sama lain. Dan semua itu terjadi selagi ia masih istri dari Sanusi dan aku suami dari Utari,” kata Soekarno.
Ia merasa apa yang dilakukannya itu didasari pandangan bahwa rumah tangga Inggit dengan Sanusi telah lama hancur dan bukan karena ulahnya. Perasaan cinta di antara keduanya semakin besar. Sementara, kondisi rumah tangga masing-masing semakin tak tentu arah.
Hilang sudah perasaan cinta Soekarno pada sosok Lak, panggilan Utari, yang dulu dicintai dan jadi “korban” rayuan mautnya. Setelah lama berunding dan meyakinkan Utari, keputusan pun dibuat. Soekarno menceraikan Siti Utari pada 1923. Utari menurut. Tidak ada penyangkalan atas keputusan Soekarno. Dia pun diantar pulang ke Surabaya oleh Bung Karno.
Kemarahan Orang Tua
Tidak lama setelah menceraikan Utari, Soekarno pulang dan menemui orangtuanya. Dia membicarakan perceraian itu. Namun, orangtuanya sulit menerima keputusan Soekarno itu. Mereka malu kepada Tjokroaminoto. Keputusan Soekarno itu pun dianggap lancang dan tidak menghormati Tjokro.
Namun, Soekarno beralasan perpisahan itu bukan sekadar tentang cinta semata. Munculnya perbedaan garis politik dengan Tjokroaminoto, menjadi alasan Soekarno akan perceraian itu. Tapi tidak dijelaskan perbedaan garis politik apa antara Tjokroaminoto dengan Soekarno yang menjadi alasan perceraian itu.
“Siapa yang menyangka setelah umur saya bertambah, datang suatu keyakinan bahwa antara saya dan mertua saya, Pak Tjokroaminoto, ada perbedaan paham tentang asas politik pergerakan. Keyakinan saya semakin teguh dan selekasnya bakal terwujud di dalam pergerakan yang berlainan asas politiknya (dengan Tjokroaminoto),” ucap Soekarno.
Perceraian tidak membuat Utari memutuskan hubungan dengan Soekarno. Saat Soekarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1931, Utari menemuinya. Utari menyambut dibebaskannya Soekarno bersama suami, adik, dan ayahnya.
Saat menjadi presiden pertama RI pun, Soekarno tidak melupakan Utari. Dalam perayaan HUT ke-15 RI, Utari diundang ke Istana Kepresidenan. Utari datang bersama suaminya ke Jakarta. Namun, saat itu dia tidak bisa bertemu Soekarno, yang jadwalnya sudah diatur protokoler kenegaraan. Saat itulah Utari terakhir kali melihat Soekarno.
Bung Karno Melamar
Setelah mengembalikan Utari kepada HOS Tjokroaminoto. Soekarno dan Inggit lalu bertemu kembali di rumah Sanusi. Suatu ketika Soekarno bercerita tentang kondisi dirinya dan harapannya mengenai sosok pendampingnya kelak. Dia berharap wanita yang akan mendampinginya bisa menjadi seorang ibu, sahabat, kekasih, dan pemberi semangatnya.
Hal itu juga dinyatakan oleh Inggit Garnasih. ”Dalam kesempatan berdua dengan aku, Kusno pernah mencurahkan pikirannya dan perasaannya mengenai istri yang diidam-idamkannya. Ia harus merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan, katanya kepadaku,” ujar Inggit.
Tiap malam keduanya menghabiskan waktu bersama di rumah yang dulunya bernama Jalan Javaveem, Bandung itu. Sikap Sanusi yang semakin cuek kepada Inggit semakin membuat Inggit kesepian dan hampa. Inggit tak kuasa menolak ketika Soekarno mulai merayunya.
“… Dia menggeser tangannya merayap perlahan-lahan dan menyentuh tanganku. Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat. Aku ditarik dan kami berpindah tempat. Hendaknya semua maklum apa yang terjadi sebagai kelanjutannya. Aku malu menceritakannya, aku adalah perempuan Timur. Lagi pula keadaan waktu itu, keadaan rumah tangga kami, maksudku bisa kalian maklumi. Suamiku sudah lama bukan laki-laki yang bisa memuaskan diriku.”
“… Ah untuk apa aku mengutik-utik masa lampau. Malu! Cerita kita waktu muda sudah sama-sama kita maklum. Sudahlah bukan sesuatu yang pantas untuk ditiru,” kata Inggit dalam buku Biografi Inggit Garnasih: Perempuan Dalam Hidup Soekarno karya Reni Nuryanti.
Perlahan Sanusi mencium adanya tali asmara antara Inggit dan Soekarno. Cercaan dan hujatan pun diterima Inggit. Tak tahan dengan kondisi tersebut, Inggit akhirnya mengajak Sanusi berdiskusi menyelesaikan persoalan mereka. Inggit mencurahkan semua kelakuan Sanusi yang tak disukainya dan menyatakan hubungan mereka tak bisa diteruskan jika seperti itu terus.
Sinyal perpisahan itu akhirnya menjadi kenyataan. Apalagi setelah Soekarno mengutarakan niatnya pada Sanusi alias Kang Uci untuk menikahi Inggit. Sanusi pun akhirnya menjatuhkan talak kepada Inggit. Sanusi mengaku ikhlas melepas Inggit untuk menikah dan bahkan meminta Inggit mendukung perjuangan Soekarno.
“Akang ridho kalau Eulis (panggilan Inggit oleh Sanusi) menerima lamaran Koesno (nama kecil Soekarno) itu dan kalian berdua menikah. Mari kita jagokan dia hingga benar-benar dia nanti menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya,” kata Sanusi.
Kebesaran hati Sanusi kemudian merelakan Inggit untuk dinikahi Soekarno. Bagi Sanusi, yang paling penting dia melihat Inggit bahagia. Keduanya akhirnya bercerai pada 1922.
“Eulis, kata Kan Uci (panggilan Sanusi oleh Inggit) dengan terpatah-patah. Aku tahu dia pun terharu menyatakannya. Eulis, ulangnya, Akang telah katakan kepada Koesno, cintailah Inggit dengan sungguh-sungguh dan jangan terlantarkan dia. Saya tidak senang, tidak rela kalau musti melihat Inggit hidup sengsara baik lahir maupun batin. Saya tidak rela kalau sampai mendengar kejadian menimpanya seperti itu.”
Selain karena alasan ikhlas untuk dinikahkan dengan sang Putra Fajar, Sanusi menceraikan Garnasih juga karena alasan lain, yakni menikah kembali dengan seorang perempuan di Medan, Sumatera Utara.
Ketika hubungan mereka semakin intim, dua manusia yang berbeda usia hingga 13 tahun itu, tak dapat lagi menyangkal benih-benih cinta yang tumbuh di antara keduanya. “Gusti, apa yang terjadi di rumah ini?” teriak Inggit yang bersimpuh di atas ranjang saat Soekarno menyatakan niatnya menikahi dirinya.
Sebelum menikah, Soekarno juga menyempatkan diri untuk nembung Inggit pada ayah calon istrinya itu. Saking inginnya memiliki Inggit sampai-sampai Soekarno terpaksa harus mengecilkan bilangan perbedaan usianya dengan Inggit saat pergi melamar. Dan orangtua Inggit pun tak serta merta menerima lamarannya.
Atas lamaran Bung Karno, ayahanda Inggit menjawab, “Wahai orang muda, kau adalah keturunan bangsawan, dan dirimu adalah seorang terpelajar. Di sini dan di mana-mana ada banyak gadis hartawan dan terpelajar yang siap untuk menjadi pasanganmu….”
Mendengar kata-kata ini membuat Soekarno terdiam.
Ayah Inggit pun meneruskan perkataannya. “… Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda. Lagi pula ia tidak terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu. Dan terus terang, saya khawatir, sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan panjang…..”
Soekarno tetap terdiam mendengarkannya.
“…karena ada saja yang membuat kau malu. Ada saja yang akan membikin anakku sakit hati,” lanjut ayah Inggit.
Setelah ayah Inggit menyelesaikan kata-katanya, Soekarno pun menarik napas panjang sebelum mengeluarkan tanggapan. “Bapak, semua itu sudah saya ketahui lebih dulu, dan saya tambahkan bahwa saya pun sudah tahu bahwa Inggit lebih tua lima tahun dari saya…. (Soekarno mengecilkan bilangan selisih usianya demi lebih meyakinkan calon mertuanya)… Apakah niat saya kurang suci, walau saya sudah tahu keadaan semua itu, kemudian saya pikirkan dan akhirnya melamar dengan sadar?”
Ayah Inggit diam, mendengarkan Soekarno muda bicara. Soekarno pun kemudian melanjutkan curahan hatinya. “Bapak, karena itu saya datang melamar dengan harapan Bapak mempertimbangkannya.”
Ayah Inggit menatap tajam ke arah mata Soekarno ketika bicara. Dari sana ia menangkap ketulusan niat Soekarno. Dari sorot matanya Soekarno memancarkan keseriusannya. Maka… luluhlah hati calon mertua, dan akhirnya lamaran pun diterima. Sementara kepada bapak-ibunya, Soekarno pun sudah menyampaikan niatnya melamar Inggit. Dan Soekeni, ayahanda Bung Karno dalam surat jawabannya menuliskan, “Ayah dan ibumu tidak merasa keberatan. Urusan itu terserah pada dirimu sendiri. Kami cuma mengharapkan, pengalamanmu yang sudah-sudah akan menjadi pelajaran bagimu.”
Soekarno dan Inggit akhirnya menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan itu dilakukan setelah masa idah berakhir, Kang Uci sendirilah yang menjadi wali nikahnya.
Perjanjian dengan Nasib
Ada hal unik yang tercatat di dalam surat nikah tersebut, yaitu Soekarno dituliskan berusia 24 tahun dan Garnasih ditulis berusia 23 tahun. Padahal, seharusnya Soekarno pada saat itu berusia 22 tahun dan Garnasih berusia 35 tahun. “Karena ada sebuah kendala, di pengadilan agama pada saat itu tidak memungkinkan istri lebih tua,” ujarnya.
Soekarno menyatakan, “Dalam periode kehidupanku selanjutnya, Inggit sangat penting bagiku. Dia adalah ilhamku. Dia adalah pendorongku. Dan dalam waktu dekat aku memerlukan semua ini. Aku sekarang mahasiswa di tahun kedua. Aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang kubutuhkan. Usiaku sekarang lebih 21 tahun. Masa jejakaku sudah berada di belakangku. Tugas hidupku terbentang di depanku. Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya, tiba-tiba keluar menjadi kepompong di Bandung dan berkembang dari keadaannya itu menjadi seorang pejuang politik yang sudah matang. Dengan Inggit berada di sampingku, aku melangkah maju memenuhi perjanjianku dengan sang nasib.”
Sejak itu, Inggit dan Soekarno selalu bersama. Ke mana Soekarno pergi, Inggit selalu mengikuti bagai bayangannya, baik dalam rapat-rapat umum, maupun dalam pertemuan-pertemuan. Tanpa Inggit, Soekarno merasa dirinya ada yang kurang.
Bahkan bisa dikatakan, yang membuat pergerakan Soekarno maju saat itu adalah Inggit yang selalu memberikan dukungan dengan berada di sampingnya. Pengorbanan Inggit terhadap perjuangan Soekarno tidak mengenal batas dan pasang surut.
Dan melangkahlah Soekarno bersama Inggit menjemput nasibnya sebagai calon pemimpin besar. Langkahnya begitu gagah dan berani ketika berhadapan dengan pemerintahan kolonial Belanda yang berusaha menghentikannya dengan cara memenjarakan dan membuangnya ke tempat pengasingan. –sa