Surabaya pernah punya seorang sosok dokter yang benar-benar dokter. Mengobati, mengajar, menyukai seni-budaya, dan menginspirasi.
Surabayastory.com – Cerita tentang dokter yang berdedikasi ini sangat menarik. Sepanjang karirnya, Prof. dr. Basoeki Wirjowidjojo memilih tidak membuka praktik pribadi. Alasannya, Basoeki tidak ingin menerima uang dari pasien. ”Pasien kan datang karena sakit, dia sedang susah. Kenapa kita harus memintanya uang?” katanya, dalam sebuah wawancara beberapa tahun yang lalu.
Basoeki dikenal sebagai dokter bedah tiga zaman; zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman kemerdekaan.
Dalam sejarah ilmu bedah di Surabaya dan Indonesia, nama Prof. dr. Basoeki Wirjowidjojo, tak terpisahkan. Dia adalah dokter bedah saraf pertama di Surabaya, dan ketiga di Indonesia. Prof Basoeki adalah peletak dasar ilmu bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya. Dia juga menjadi inspirasi bagi para ahli bedah yang awalnya berguru padanya.
Bagi kalangan kedokteran atau yang pernah berinteraksi, Prof Basoeki menarik untuk disimak pemikiran-pemikirannya, serta kesederhanaannya bisa menjadi suri tauladan bagi siapa saja. Bercermin dari sosoknya, para dokter bisa meneladani dedikasinya dalam menjalankan profesi sebagai dokter maupun pengajar. Landasan moral yang luhur membuat tidak mudah terjebak ke dalam keadaan yang negatif. Pancaran nilai ketauladanan terus dikenang oleh para dokter, ahli bedah dari generasi ke generasi.
Sosok Pak Bas –begitu beliau akrab di sapa—adalah sosok sederhana, pendiam, setia pada profesi, dan bersahaja. Pak Bas adalah guru sejati yang berwawasan luas dan mempunyai banyak kebisaan. Di luar kedokteran, Basoeki adalah seorang fotografer handal. Koleksi kameranya selalu diperbarui dan menghasilkan banyak karya. “Saya lebih suka dengan foto-foto still-life dengan efek back light,” katanya suatu pagi di halaman rumahnya di Srikana 61. Selain itu, Basoeki juga seorang pemain bola. Ketika masih di Unair, Basoeki sering bermain bersama tim Bagian Bedah di lapangan Niac Mitra di Jl. Panjang Jiwo, Surabaya.
Dari Lumajang
Mari mulai mengenal Pak Bas. Basoeki lahir di Lumajang, 20 Juni 1922, pagi hari menjelang matahari menyingsing. Ayahnya bernama Soepardi asal Caruban, Madiun, guru di HIS (Hollandsch Inlandsche School), Lumajang. Ibunya adalah Soekesi dari Lumajang. Basoeki adalah anak nomor dua dari enam bersaudara.
Di bangku sekolah, Basoeki menempuh pendidikan dasar (HIS) di Lumajang. Waktu itu, pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun (SD dan SMP digabung). Setelah enam tahun di Lumajang, waktu naik kelas 7 pindah ke Surabaya.
Tahun 1935, Basoeki pindah ke Surabaya yang memiliki tiga sekolah HIS. Basoeki masuk HIS 3 Jl. Seruni, dekat Ambengan. Di Surabaya, Basoeki tinggal di rumah pamannya di Kampung tembok. Pulang-pergi sekolah Basoeki memilih berjalan kaki dari Seruni ke Kampung Tembok, alasannya bisa melihat-lihat lingkungan sekitar.
Selepas HIS, Basoeki masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwys) di Praban tahun 1935-1938. Ketika di MULO ini Basoeki tidak tinggal lagi bersama pamannya, memilih tinggal sendiri, kos di Jl Genteng Besar.
Lulus dari MULO, tahun 1939 Basoeki diterima di dua sekolah terbaik yang menjadi pilihannya: NIAS (Netherlandsch Indische Artsen School), sekolah kedokteran di Surabaya dan Landbouw School, sekolah tinggi pertanian yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Basoeki memilih NIAS untuk mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Mengejar cita-cita menjadi dokter melewati perjuangan hidup yang berliku, berat, dan penuh tantangan. Di NIAS Basoeki asyik dengan dunianya, jadwal kuliah yang padat dan aneka percobaan di laboratorium. Namun perjalanan perkuliahan itu tidak mulus. Setelah Perang Pasific pecah (1941), Pearl Harbour diserang dan jatuh ke tangan Jepang. Tanpa diduga, Maret 1942 seluruh kekuatan kolonial Belanda jatuh ke tangan Jepang. Termasuk di Indonesia. Akibatnya, tahun 1942, NIAS di Surabaya dan GHS (Geneeskundig Hoge School) di Jakarta ditutup oleh Pemerintah Jepan. Perkuliahan pun vakum, Basoeki pun kembali ke Desa Gorang Gareng (12 km Madiun ke arah Magetan). Di sini orang tuanya ditugaskan sebagai penilik.
Sekolah Kedokteran Zaman Jepang
Tanggal 29 April 1943, Pemerintah Jepang membuka kembali Sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba 6, Jakarta yang dinamakan dengan Ika Daigaku. Sekolah ini diisi oleh mahasiswa bekas GHS, mahasiswa bekas NIAS Surabaya, dan pelajar baru lulusan sekolah menengah dari berbagai kota. Kata pengantarnya Bahasa Indonesia. Di Ika Daigaku diselenggarakan dua macam pendidikan, yaitu pendidikan dokter dan ahli farmasi yang waktu itu masih bersifat pendidikan akademi (bakaloreat) dengan nama Yakugaku Senmobu. Jumlah mahasiswa Jakarta Ika Daigaku ketika itu 291 orang. Para pengajarnya memakai pakaian tentara Jepang, dengan pistol dan samurai di pinggangnya. Persis tentara.
Setelah mendengar Jepang kalah dari sekutu, proses proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dipersiapkan oleh pemuda-pemuda Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. “Waktu itu saya ikut menyaksikan pengerekan bendera pada saat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI, bersama para mahasiswa yang tergabung di Prapatan 10,” kenang Basoeki dalam wawancara langsung beberapa tahun lalu. Peristiwa itu kemudian berlanjut dengan Rapat Akbar di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Waktu itu para mahasiswa minta Bung Karno ikut serta untuk mengusir Jepang. “Situasinya mencekam saat itu karena tentara Jepang berjaga di mana-mana dengan senjata terhunus. Namun syukurlah bentrokan tidak terjadi. Saya terlibat dengan situasi ini karena waktu itu memang mahasiswa-mahasiswa kedokteran banyak yang berperan aktif,” kenang Basoeki.
Setelah tentara NICA masuk (1945-1946), pasukan Belanda juga ikut serta. Setelah itu, para tentara ini menyerbu kawasan Senen, termasuk asrama mahasiswa di Prapatan 10. Akibatnya mahasiswa bubar, tersebar ke mana-mana: Jogjakarta, Solo, Klaten, Malang hingga Kalimantan. Basoeki ikut ke Malang dengan maksud melanjutkan pendidikan karena di Malang dibuka Fakultas Kedokteran Darurat 1946. Basoeki meneruskan pendidikan sebagai dokter muda (co-asisten) di RS Sumber Porong, Lawang. Sekolah ini kemudian ditutup, dan Pemerintah Belanda membuka kembali Faculteit der Geneeskunde, 1 September 1948 dengan persiapan. Tahun 19951 semua kelengkapan perkuliahan sudah lengkap. Tangal 1 April 1950, basoeki kembali ke Jakarta dan bersiap melanjutkan perkuliahan di Fakulteit Kedokteran Salemba.
Tahun terakhir perkuliahan, Basoeki mulai aktif di Prinses Margriet Hospital Kliniek voor Neurochirurgie di Jl. Raden Saleh 49. Di sini sering didatangkan ahli-ahli bedah ternama dari Belanda, diantaranya Dr. de Grood. Basoeki menjadi asisten dokter-dokter Belanda ini. Dari sini kemudian kedekatannya dengan Dr. de Grood terbangun. Dari sini kemudian ia bertekad menjadi dokter bedah dan menuntut ilmu tambahan di Belanda.
Pendidikan di Belanda
Oktober 1954, Basoeki menempun pendidikan lanjutan di Belanda. Dr. de Grood kemudian mengangkatnya menjadi asisten di RS Swasta Katolik, St. Elizabeth Zeikenhuis, di Tilburg, Belanda. Pendidikan di Negeri Belanda berjalan selama empat tahun (1954-1958), memberi warna kuat dalam kehidupannya. Tentang disiplin, profesionalisme, dan humanisme.
Setelah pendidikan selesai, Basoeki sebenarnya diminta untuk tetap bekerja di rumah sakit di Belanda, namun ia menyatakan ingin kembali ke Indonesia. “Saya orang Indonesia, lebih dibutuhkan di Indonesia daripada di Belanda,” katanya. Basoeki kembali dengan menumpang kapal Willem Ruys dari Rotterdam. Kapal ini adalah salah satu yang terbaik di zamannya. Perjalanan ke Singapura ditempuh dalam 10 hari dengan singgah di pelabuhan Southampton (Inggris), Genoa (Italia), Terusan Suez, dan Colombo (Srilanka). Setelah menunggu beberapa waktu, kapal kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Setelah berada di Indonesia, setelah menunggu enam bulan, Basoeki ditempatkan di Surabaya. Kehadiran Basoeki di FK Unair dan Rumag Sakit Oemoem Poesat (RSUP) Dr. Soetomo menambah personel ahli, yang sebelumnya hanya bedah umum, kemudian bertambah ada bedah saraf. Sejak saat itu RSUP Dr. Soetomo sudah bisa menangani operasi tumor otak, pendarahan intracranial dan operasi-operasi bedah saraf lainnya.
Di tahun 1961, Dr M. Soetojo pensiun sebagai Kepala Bagian Bedah. Kemudian Dr R. Soetojo menggantikan, dan Basoeki diangkat sebagai wakil kepala bagian. Sebenarnya Basoeki menolak, karena orang baru dan tidak etis ahli bedah saraf menjadi wakil kepala bagian bedah umum. Namun senior yang lain justru mendukungnya. Kemudian di tahun 1970, Dr R. Soetojo sakit keras, kepala bagian kosong./ Lagi-lagi Basoeki diminta untuk menjadi kepala oleh para seniornya. Basoeki akhirnya tak mampu menolak, tetapi ia ingin sementara saja selama Dr R. Soetojo masih sakit. Tugas berat, kerena selain mengurus bedah saraf juga harus mengawasi bagian bedah umum.
Setelah itu Basoeki melakukan kerjasama dengan rumah sakit di luar negeri dan mengirim dokter-dokter ke sana untuk memperdalam ilmu bedah. Mulai dari bidang urologi, bedah plastik, orthopaedi, digestif, hingga paru dan anastesi. Ketika ditanya mengapa Basoeki sangat antusias mengirim dokter ke luar negeri, menurutnya karena ilmu bedah terus berkembang, dan jumlah pasien juga bertambah. Sehingga perlu tambahan pengetahuan dan pengalaman sehingga membuahkan keahlian.
Sekitar tahun 1984, Basoeki menjadi coordinator Surabaya Grostimedi (Groningse Stichting tot Stimulering Medisch Onderwijs in Indonesia), sebuah lembaga yang mendorong perkembangan dunia kedokteran di Indonesia.
Dua tahun kemudian (1986) Basoeki mendapat penghargaan dari Pemerintah Perancis; Ordre National du Merite. Dan kemudian tahun 1987, Basoeki Wirjowidjojo purna tugas, dan sebagai penghargaan diangkat menjadi Guru Besar Emiritus dalam Ilmu Bedah FK Unair tahun 1998.
Filosofi Kesederhanaan
Bagi Basoeki, hidup adalah kesederhanaan. Tidak banyak menuntut, mengalir seperti air dengan tetap menjaga kehormatan diri dan keluarga. “Kerja keras, selalu berpikir ke depan, dan yakin dengan sebuah langkah yang diambil, menjadi kunci sukses,” katanya.
Kesederhanaan dan kehormatan Basoeki membuatnya disegani oleh para sejawat dan kerabatnya. Sosok yang keras dan disiplin tampil penuh kewibawaan dan memegang teguh harga diri. Kesederhanaan Basoeki memang seirama dengan karya-karya sketsa dan lukisannya. Hingga akhir hayatnya, basoeki menempati rumah dinas Faklutas Kedokteran Unair di Srikana 61. Pernah disinggung, kenapa tidak membeli rumah sendiri, mungkin yang lebih besar. “Untuk apa? Rumah ini saja, saya diizinkan untuk menempati sampai saya mati. Lagi pula rumah besar-besar jauh lebih sulit merawatnya. Saya punya tabungan, tapi saya bagikan ke anak-anak sebagai kewajiban saya. Mereka lebih memerlukan ketimbang saya,” katanya.
Dari hari ke hari, Basoeki terus menyemai tunas-tunas muda yang tumbuh subur sebagai ahli bedah di kalangan Bagian Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya. Mengobati pasien sekaligus mengajar di fakultas kedokteran. Berkarya selama 17 tahun sebagai kepala Bagian Ilmu Bedah FK Unair (dua kali), menjadi dosen, mengajar mahasiswa FK maupun membimbing para Residen PPDS (Peserta Pendidikan Dokter Spesialis) Ilmu Bedah maupun Ilmu Bedah Saraf.
Setelah memasuki masa pension, Basoeki tetap aktif untuk memberikan masukan-masukan, dan sesekali masih datang ke bagian bedah untuk memupus kerinduan. Selain itu ia juga masih aktif berolah raga, terutama jalanpagi.
Hingga akhir itu tiba. Berderet bunga ucapan turut berdukacita di depan Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Prof. dr. Basoeki Wirjowidjojo menghadap Sang Khalik, Senin 10 Oktober 2011, di kediamannya di Jl. Srikana 61 Surabaya. Sebelum disemayamkan di Aula FK Unair, jenazah disalatkan di Masjid An-Nur di komplek RSUD Dr. Soetomo.
Upacara pelepasan jenazah itu dipimpin langsung Dekan Fakultas Kedokteran Unair, Prof. Dr. Agung Pranoto dr, SpPD, K-EMD, FINASIM., dihadiri ratusan pentakziyah baik dari rekan sejawat di FK Unair/RSUD Dr Soetomo, mahasiswa, karyawan Unair, hingga kolega lainnya.
Pak Bas, telah menorehkan banyak cerita dan kisah yang berarti dalam hidupnya. —sa 📌