Daya gubahnya luar biasa. Garis linearnya sulit dicari padanannya. Cepat, cepat, cepat, karena hidup itu singkat adalah filosofinya. Dia banyak menginspirasi banyak perupa.
surabayastory.com – Nama OH Supono adalah sebuah kisah nyata akan keyakinan dan totalitas berkesenian. Dalam perjalananannya di peta seni rupa Indonesia, OH Supono hidup dan berkembang dengan menggali jiwa, tradisi, imajinasi yang kemudian diramu dalam teknik yang luar biasa. Semua itu kemudian tampil dalam gubahan garis, bentuk, hingga presentasi artistik yang berbeda. Pemilihan serta komposisi warna mengisyaratkan tingginya cita-rasa estetiknya. Kekuatan linier dan ekspresi spontannya membuat karya-karyanya memendam roh dan karakter yang berbeda.
Ide-idenya berkembang menelusup di segala bentuk seni rupa. Kegelisahan serta energinya yang berlebih kemudian mewujud dalam bentuk karya lukis, patung, batik, relief, taman, hingga artistik ruang. Kesenimanannya total. Dia memiliki keyakinan dengan totalitasnya akan dapat menyelesaikan kehidupan ini dengan baik. Dengan keyakinan ia membuktikan diri bahwa ide, kreativitas, serta kehidupan bisa berkembang menjadi karya.
Ide-ide kreativitasnya menggali realitas kehidupan serta jiwa yang berkecamuk. Nilai-nilai tradisi yang masuk (Jawa, Bali) bersanding dengan teknik-teknik dan pemikiran senirupa Barat, menjadikan sebuah fantasi menarik di atas kanvas. Di zaman itu, OH Supono sudah terbiasa dengan referensi-referensi Barat yang kaya akan kajian senirupa.
OH Supono juga dikenal sebagai seniman yang tekun dan terus mencari berbagai gagasan baru dan teguh dalam bersikap.
Supono adalah pelukis Indonesia dari Surabaya yang sudah masuk pasar internasional. Karya-karya dan eksistensi OH Supono sudah diakui di jagad seni rupa Indonesia. Banyak karya besar yang sudah dilahirkan, termasuk gaya khas OH Supono, yang hingga kini masih banyak menginspirasi banyak perupa.
Daya Kerja dan Kecepatan
O.H. Supono dikenal punya daya kerja tinggi. Ia sangat produktif. “Speed… speed… kecepatan, jangan buang-buang waktu.” Itulah pesan yang sering diingatkannya. Tak ada catatan resmi berapa banyak karya yang dihasilkan sepanjang karirnya. Namun ia pernah mengatakan, antara tahun 1957 sampai tahun 1985, jumlah lukisannya mencapai 5.000 buah. Sedang tahun 1986, ia membuat sekitar 800 buah. Di Bali, sambil berpameran selama sebulan ia menghasilkan 22 buah lukisan.
Oegeng Heru Supono (OH Supono) adalah pelukis kelahiran Surabaya, 11 Juli 1937. Putra ke -10 Raden S. Martokoesoemo. Di usia 18 tahun Supono mulai memainkan kuas dan catnya ke kanvas. Lulus SMA ia bekerja (swasta ) di pelabuhan Tanjung Perak. Karena tidak betah ia kembali ke bangku sekolah, masuk Akademi Kesenian Surakarta jurusan seni rupa (1957-1959).
OH Supono adalah pelukis yang punya ketegaran, keuletan, dan semangat yang tak pernah putus pada dunia yang diyakininya. Ia juga pernah bergabung dalam kelompok Sanggar Angin, Surabaya. Oleh sejawatnya ia dikenal sebagai seniman yang tekun dan terus mencari berbagai gagasan baru dan teguh dalam bersikap.
Ketika tiga tahun di Bali, OH Supono berkumpul dengan seniman dari Jawa (Rustandi Kartakusumah, Kirdjomulyo, Zaini, Rusli, Affandi ) yang mampir di ‘’Sanggar Kedaton’’ milik pelukis Solihin Hasan. Dan sejak itulah , 1958, Supono hidup penuh dari melukis. Selama 30 tahun menggeluti dunianya, ia sedikitnya telah berpameran tunggal (hanya tampil dengan karya sendiri yang baru) sebanyak 25 kali. Pameran tunggalnya pertama kali diadakan di ‘’Art Gallery Pik Gan’’, Surabaya, Januari 1960. Dan pada 1961 ia berpameran di Jakarta. Juga, Supono tak pernah absen memajang karya-karyanya dalam ‘’Biennale Seni Lukis Indonesia’’, dan pameran keliling ASEAN. Ada yang unik dalam karir Supono: berpameran dari rumah ke rumah, misalnya dirumah John Rodrigues Jr (staf Konsulat Amerika) , Surabaya, 1963. Dan pameran tunggalnya yang dibanggakan di gedung Dwi Dasawarsa, Yogyakarta , 1963, yang dibuka oleh Nyi Hadjar Dewantara.
O.H. Supono dikenal dengan talenta yang tinggi di berbagai bidang kesenirupaan. Ia tak terikat dengan gaya, teknik, maupun tema tertentu. Meski ia mengaku tak menganut satu aliran (isme) dalam melukis, selama perjalanannya sebagai pelukis, karya-karyanya terbagi menjadi empat episode: ekspresionis, kubis, surealis, dan era Borobudur di mana ia meraih puncak sebagai seniman.
OH Supono terbilang sangat produktif. Karya-karyanya tak terhitung jumlahnya. Karya-karya OH Supono terbagi dalam beberapa era, meskipun rentang masing-masing era tidak sama.Dengan piawai berbagai teknik melukis, OH Supono dengan mudah untuk membentuk kanvasnya. Meski dengan aliran serta genre lukisan yang berpindah-pindah, OH Supono tidak ambil pusing. Baginya yang penting adalah berkarya, berekspresi, serta menyajikan karya yang bagus. Ia tak peduli dengan nama-nama aliran ataupun gaya melukis. “Apa yang tertuang dalam kanvas saya adalah apa yang saya pikirkan, saya rasakan, dan imajinasi yang ingin saya tuangkan,” katanya di sebuah media sore Surabaya.
Dalam penelusuran surabayastory, OH Supono memang seniman bertalenta. Semua sudut senirupa dijelajahinya. Ekspresinya kuat berpadu dengan teknik yang tampak terus diasahnya.
Tiga Era Penting
OH Supono berusaha mencapai posisi yang tinggi di berbagai bidang kesenirupaan. Ia tak terikat dengan gaya, teknik, maupun tema tertentu. Meski ia mengaku tak menganut satu aliran (isme) dalam melukis, selama perjalanannya sebagai pelukis, karya-karyanya terbagi menjadi empat episode: ekspresionis, kubis, surealis, dan era Borobudur di mana ia meraih puncak sebagai seniman.
Jika dirunut berdasarkan era, paling tidak ada tiga aliran utama yang menjadi nafas seorang OH Supono: ekspresionisme, kubisme, surealis. Masing-masing gaya menggambarkan apa yang terjadi dalam kehidupannya. Tentang konflik batin, tekanan kehidupan, tekanan ekonomi, serta lingkungan tradisi di mana dia berada. OH Supono sepanjang karir kesenimanannya juga tinggal di beberapa kota: Surakarta, Surabaya, Bali, dan Jakarta. Masing-masing kota mempunyai pengaruh kuat dalam setiap era karyanya.
Lukisan-lukisannya meemang mampu menciptakan genre tersendiri dalam perjalanan seni rupa di Indonesia. Puncaknya adalah serial Borobudur yang artistik, laris manis, dan banyak diperbincangkan. Genre ini kemudian mewabah dan banyak ditiru pelukis-pelukis muda dengan gaya pendekatan masing-masing. Jika melihat buku memorinya, episode Borobudur ini sudah dipersiapkan lama. Bertahun-tahun sebelumnya, ia sibuk bolak-balik memotret setiap relief Borobudur. Kala itu masih menggunakan film negative dan dicetak hitam-putih. Setelah itu, ia memulai studi dengan sket di kertas gambar. Berulang-ulang hingga mencapai bentuk linier yang bagus.
Selain mahir dalam menciptakan karya-karya bagus, OH Supono juga mampu menjual lukisannya dengan baik. Suatu ketia ia mengatakan,” Ketika melukis aku sebagai pelukis, ketika menjualnya aku adalah pedagang,” katanya dengan yakin. Karya-karya Pak Pono –begitu ia akrab dipanggil—memang laku dengan harga tinggi. Ada konsep dan filosofi yang ditawarkan. Setelah menjalani berbagai tekanan kehidupan, Pak Pono bisa meraih puncak dalam hidupnya.
Namun ada bagian yang selalu ada dalam karya-karya OH Supono. Adanya rasa kemanusiaan dan humanisme yang menyelimuti roh di atas kanvasnya. Kemanusiaan itu bisa hadir dalam kedamaian, kegalauan, kegelisahan, hingga kengerian. OH Supono menangkapnya dengan bahasa visual dan mempresentasikannya dalam karakter yang kuat dan dalam.
Karya-karyanya disukai para kolektor karena artistik, dan cocok untuk digantung di ruang manapun. Karyanya juga sudah tersebar di seluruh Indonesia. Di luar negeri, karya OH Supono juga masuk di Museum Fukuoka, Jepang, tahun 1985. Di tahun yang sama, karya-karya Borobudurnya juga masuk Museum Darwin, Australia. Sebelumnya, lukisan-lukisan OH Supono masuk Museum Fatahillah (Jakarta), Museum Rudana (Bali), dan Museum Neka Ubud (Bali). Selain itu, OH Supono juga mencipta patung, relief, serta batik kontemporer. Ia dikenal sangat kreatif zaman itu.
OH Supono kini telah tiada. Ia berpulang 9 September 1991, dalam usia 54 tahun. Ia meninggalkan ribuan karya lukis, patung, batik, relief, dll, keluarga yang dicintai, serta alam Indonesia yang ia banggakan. Ia boleh saja telah pergi, tetapi semangat dan karya-karyanya masih tertinggal, menjadi inspirasi yang terus hidup di jantung seni rupa Indonesia. –sa 📌