Dalam pergaulan masyarakat Jawa, banyak etika dan sopan santun sosial. Ada nasihat-nasihat menarik yang perlu kita ketahui.
Surabayastory.com – Selain memperhatikan tingkat bahasa dan gerak tubuh, orang Jawa juga perlu memperhatikan sejumlah ungkapan Bahasa Jawa, yang berfungsi sebagai patokan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang-orang di sekitar. Diantara ungkapan-ungkapan yang perlku diketahui dalam pergaulan sehari-hari adalah berikut ini.
- Aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton
Peribahasa tersebut merupakan ajakan untuk berbicara dengan cara yang tidak ngawur atau sembarangan. Usahakan setiap pembicaraan benar-benar memiliki landasan ataupun alasan yang jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena, kalau hanya asal berbicara, bisa menyebabkan pihak lain tersinggung atau bahkan perselisihan, atau menimbulkan kesan negatif pada diri pembicara.
Biasanya peribahasa ini digunakan untuk mengingatkan siapa pun yang suka menjelek-jelekkan orang lain, menyalahkan orang lain dan suka menyebarkan kabar bohong, dan lain-lain.
Untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, setiap tutur kata perlu dijaga, di cermati, dan diatur dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan rasa tidak senang dari lawan bicara kita. Jika ada masalah, jangan dibesar-besarkan apalagi bila belum jelas duduk perkaranya. Bagaimanapun, setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut kita akan didengarkan dan diperhatikan orang lain. Lewat tutur kata pula, orang dapat kehilangan kepercayaan. Lewat tutur kata dapat terjadi perkelahian, kekeliruan, dan kekacauan di dunia.
- Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa
Arti ungkapan ini adalah jangan merasa bisa tapi sebaliknya kita harus tahu diri dan selalu bisa merasakan siapa saja yang kita hadapi. Sikap “merasa bisa” dinilai sebagai sifat tidak terpuji karena merupakan wujud kesombongan. Seringkali hasil kerja orang yang sombong justru tidak sebaik yang dijanjikan sehingga akan menimbulkan kekecewaan dan hilangnya kepercayaan dari pihak lain.
Bisa rumangsa berarti tahu diri, yaitu berani mengakui tidak bisa kalau memang tidak bisa. Pada sisi lain, “bisa merasa” berarti juga mempunyai kemampuan memahami perasaan orang lain. Ini adalah sifat yang baik karena merupakan landasan sikap tenggang rasa antar sesama. Dengan mengamalkan sifat seperti itu, pribadi yang bersangkutan akan memperoleh ketentraman dan ketenangan hidup di lingkungannya. Ia akan dinilai sebagai orang jujur, tidak sombong, dan mampu menempatkan diri dengan baik di dalam masyarakat.
- Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana
Ungkapan ini berarti nilai pribadi terletak di bibir, nilai raga tercermin dari pakaian. Terjemahan bebasnya, nilai pribadi seseorang di tentukan oleh ucapan atau kata-katanya, sedangkan nilai penampilan sering diukur dari busana yang dikenakan.
Peribahasa ini merupakan nasihat agar berhati-hati terhadap tutur kata yang kita ucapkan. Sebab apa saja yang terucap dari mulut kita akan didengarkan, diperhatikan, dan dipegang oleh orang lain. Apabila sering berbohong, maka lama-kelamaan orang akan kehilangan kepercayaan. Siapa yang suka mengucapkan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, ia akan sulit membangun persahabatan. Sebab orang jadi tidak senang dengan ucapan yang melukai perasaan.
Dalam ungkapan di atas pakaian bukan sekadar penutup aurat, melainkan juga menjadi tolok ukur penampilan seseorang. Contohnya seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, namun hanya mengenakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu ia bisa menjadi resasanan. Salah-salah, ia bisa dianggap tidak menghargai atau meremehkan pemilik rumah dan tamu undangan lainnya.
Unggah-Ungguh Berbahasa
Dalam skripsinya yang berjudul “Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa”, Sri Handayani menyatakan, dalam unggah-ungguh atau sopan santun berbahasa, orang Jawa menggunakan bahasa yang dipilih secara tepat. Pemilihan kata-kata yang tepat dan sesuai, dipergunakan untuk berbicara dan berhadapan dengan orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian bahasa tersebut. Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama
Ngoko merupakan tingkat kesopanan berbahasa rendah yang biasa digunakan oleh raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik (orang kecil), maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko adalah madya, yakni menyatakan kesopanan berbahasa tingkat menengah. Tingkatan madya biasanya digunakan oleh orang yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Tingkat selanjutnya adalah krama, yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling tinggi.
Kesopanan berbahasa tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh seseorang kepada orang lain yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat atau oleh anak muda terhadap orang yang lebih tua.
Oleh karena itu penggunaan bahasa Jawa berdasarkan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing. Kedudukan (status) ditentukan banyak hal, meliputi kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan dan kebangsaan. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau seorang yang dikenal dekat) orang mengatakan ’apa pada slamet’? Tetapi orang menyapa mereka yang lebih tinggi (atau seseorang yang dikenal tapi tak begitu dekat) dengan bentuk ’menapa sami sugeng kedua-duanya berarti ”apakah Anda sehat?”.
Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini ’Panjenengan bade tindak pundhi?’ dan ‘kowe arep nang ngendi?’ adalah pertanyaan yang sama artinya. Kalimat yang pertama ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada yang orang yang lebih rendah.
Unggah-Ungguh Gerakan Tubuh
Sri Handayani juga menyatakan, sikap halus lainnya yang diwujudkan oleh orang Jawa adalah kehalusan dalam gerak tubuh. Selain kemampuan dalam bertutur sapa dan pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau andap-asor (rendah hati) lewat gerak tubuhnya. Seperti para nelayan tua yang datang mengunjungi nyonya besarnya, seorang istri priyayi. Nelayan tua itu menyajikan makanan di tengah-tengah keluarga dengan berlutut. Ini dianggap sebagai suatu penghormatan yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.
Selain itu kalau berpapasan dengan orang yang lebih tinggi statusnya, seseorang akan menundukkan kepala atau menempatkan dua telapak tangan bersama dengan ibu jari yang telah disatukan di depan hidung. Kalau yang dihadapi statusnya sangat terhormat, bahkan orang merasa perlu membungkukkan badan.
Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan merendahkan diri baik dalam hal kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola yang sama.
Dalam berbagai kesempatan, anak-anak atau orang dewasa akan menjabat tangan kedua orangtuanya sambil mencium tangan. Begitu juga bila berjabat tangan dengan famili atau kerabat keluarga yang sepantaran dengan orangtua ataupun kepada guru. Pada Hari Raya Idul fitri, anak-anak melakukan sungkem terhadap orangtua atau kakek-neneknya.
Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu melakukan sikap yang utama tersebut. Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar adalah masalah pengertian atau pemahaman yang tepat atas tata krama. Orang Jawa akan selalu tahu diri dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Seandainya hal ini terjadi ini bukan berarti ia melanggar moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar. Orang yang demikian disebut durung Jawa (belum menyatu jadi orang Jawa), durung ngerti (belum mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).
Demikian juga sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menerapkan tata krama dengan benar dan tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang tulen. –drs