Ada yang menarik jika kita perhatikan di ujung-ujung keramaian, di perempatan jalan, atau di depan pintu masuk minimarket. Di sana kita lihat bapak-ibu sepuh yang duduk bersimpuh dengan mimik yang nelangsa. Siapa mereka?
Surabayastory.com –Mereka adalah para penjual jipang dan sarmiler. Datang jauh-jauh dari desa untuk mengadu nasib dengan pikulan. Para penjual jipang ini tampak sangat militan. Dengan semangat tak kunjung padam mereka terus menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang melintasinya. Wajah yang sendu dan tatapan yang sayu nyaris terlihat sama setiap harinya.
Dari tengah kota Surabaya, dan kini mulai melebar ke pinggir kota. Masuk ke pusat-pusat keramaian di jalanan, duduk dan menunggu pembeli. Wilayah Surabaya Timur dan Selatan yang banyak dituju. Mungkin ini untuk sementara, ketika gelombang pedagang baru datang, sangat ,mungkin akan merambah ke Barat, Selatan hingga kota-kota lain sekitar Surabaya.
Masih ingat jipang? Jipang mengingatkan kita pada camilan masa kecil yang terbuat dari beras ketan. Jipang memang cemilan tradisional. Dulu banyak dijumpai pada Hari Raya, terutama di perkampungan atau rumah-rumah kelas rakyat. Meskipun demikian banyak orang yang masih kangen dengan jajanan ndeso ini. Rasanya gurih, manis, dan sedikit lengket karena berbalut gula karamel.
Penganan ringan dan sangat ringan ini juga banyak dijual di warung-warung, pasar tradisonal, atau di depan pintu pagar sekolah-sekolah SD. Untuk di Surabaya, lagi-lagi dulu, berasal dari pabrik di Lamongan dan Pasuruan. Namun kini yang dijajakan, jika menilik labelnya, rata-rata buatan pabrik Tulungagung atau Trenggalek.
Teman “seperjuangan” jipang adalah berondong manis. Jipang termasuk jajanan ndeso dan jadul yang bikin kangen. Rasanya manis, legit dan lengket karena berondong jagung atau beras dicampur gula merah. Camilan ini banyak disukai adalah rasanya yang unik berupa campuran manis dan lengket saat dinikmati. Bentuknya seperti bongkahan-bongkahan putih kecoklatan. Cara membuatnya adalah dengan memanaskan biji jagung hingga merekah, lalu dimasak bersama gula merah hingga tercampur rata. Setelah adonan jipang dibiarkan mengeras lalu dipotong persegi. Jipang enak dinikmati bersama teh hangat atau kopi.
Ada cerita jika jipang sudah dibuat sejak zaman nenek moyang. Bedanya, dulu jipang kacang dibungkus menggunakan daun kering, sekarang menggunakan plastik.
Produk lain yang juga dijual adalah kerupuk sarmiler. Ini adalah keripik dari singkong. Bahannya sederhana singkong yang ditumbuk, garam, bawang putih, daun bawang, dan sedikit cabai. Rasanya gurih, renyah, dan sedikit pedas.
Makanan ini juga termasuk langka di perkotaan. Jadi ketika hadir kembali, pembeli selalu ada. Karena nostalgia, atau sekadar ingin mencoba.
Dari Blora ke Surabaya
Jika ditelusuri lebih jauh, para penjual jipang dan sarmiler ini ternyata rata-rata berasal dari Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Nama Blora di sisi lain dikenal karena karya-karya Pramodya Ananta Toer. Di antaranya dalam Cerita dari Blora dan Arus Balik.
Tentang Blora lainnya adalah dikenal dengan makanan tradisional yang khas seperti Sate Blora, Soto Kletuk, ataupun tahu gunting yang nuansanya berbeda.
Mengapa para penjual ii menyerbu Surabaya? Alasannya klasik: tidak ada pekerjaan lagi. Mereka biasanya bekerja sebagai tani atau buruh tani. Tetapi sekarang lahan pertanian semakin terbatas dan sektor pertanian tak lagi menjanjikan kehidupan yang layak. Selain itu usia juga tak muda membuat sulit bias bekerja di sektor industry. Satu-satunya jalan yang paling gampang adalah menjadi pedagang.
Jipang memang bukan berasal dari Blora. Beberapa pabriknya ada di Tulungagung atau Trenggalek. Pabrik-pabrik ini punya distributor atau agen di Blora. Lewat agen-agen inilah para penjual Jipang dari Blora ini mengambil barang lalu menjualnya ke Surabaya.
Angkutan yang lebih banyak dipakai adalah dengan menumpang kereta api. Dari stasiun kemudian berjalan menyebar ke segala penjuru Surabaya. Mereka membawa dua pak besar yang dibungkus plastic dan dibawa dengan pikulan.. Juga buntelan tas plastik berisi baju ganti dan sarung. Mereka tidur di mana saja, dan kebanyakan menumpang di masjid atau langgar-langgar kecil.
Para penjual jipang ini bisa membawa 140 pak, dengan masing-masing pak berisi 10 kemasan kecil. Harga satu pak adalah Rp 10.000. Sementara sarmiler sebanyak 1.500 biji. Dalam menjualnya dikemas dalam platik-plastik kecil berisi 15 biji, dijual dengan Rp 10.000/ bungkus kecil.
Mereka akan kembali ke Blora ketika barang dagangannya habis, sekitar 3-5 hari. Setelah itu mereka istirahat dua hari di rumah, lalu kembali lagi ke Surabaya untuk berdagang. Berapa pendapatan mereka, bisa dihitung sendiri. Cukup lumayan untuk pendapatan kota dengan hidup di desa.
Dengan pendapatan yang lebih dari cukup ini, penampilan menjadi tidak penting. Mereka membawa kisah suksesnya ini ke desanya. Dari cerita sukses yang menghampiri desa mereka dari penjual-penjual jipang sebelumnya, kemudian berduyun-duyun para penjual baru datang ke Surabaya. Mereka mengisi ujung-ujung keramaian, di perempatan jalan, atau di depan pintu masuk minimarket.
Jipang, berondong manis, dan sarmiler telah menyerbu Surabaya. –sa