Persinggungan antara budaya massa dan budaya populer, telah menghasilkan banyak wacana yang terus saling mengkait tanpa menemukan satu titik temu yang utuh.
Surabayastory.com – Budaya yang terus berkembang sesuai peradaban manusia, tumbuh dalam masyarakat yang heterogen. Pergulatan di antara bermacam-macam golongan dan keseluruhan dalam alokasi sumber-sumber dan kekuatan tidak dibatasi dengan ketat dalam isu-isu ekonomi dan politik, tetapi juga menyebar kepada isu budaya. Di Amerika, seperti di semua masyarakat Barat, pergulatan budaya yang paling panjang dan mungkin paling penting telah mengadu para praktisi budaya tinggi yang berpendidikan melawan kebanyakan dari masyarakat lainnya, kaya dan miskin, yang lebih menyukai budaya massa atau populer yang disediakan oleh media massa dan industri barang konsumsi. Secara intelektual, perdebatan itu sebenarnya sudah menjadi debat satu-arah. Para penyokong budaya tinggi mengkritik budaya populer sebagai budaya massa yang memiliki efek berbahaya baik pada para individu yang mengkonsumsinya dan pada masyarakat secara keseluruhan, sementara para pengguna budaya populer mengabaikan kritik, menolak budaya tinggi, dan terus merendahkan diri pada para penjual sajian media dan barang konsumsi.
Apa yang disebut dengan kritik budaya massa adalah penting karena itu menyangkut lebih jauh daripada sajian media dan barang konsumsi. Ini benar-benar mengenai sifat kehidupan yang baik, jadi mengenai tujuan dari kehidupan secara umum, terutama di luar peran kerja. Ini juga berkenaan dengan budaya mana dan budaya siapa yang harus mendominasi dalam masyarakat, dan mewakilinya sebagai budaya masyarakat atau nasional dalam kompetisi di antara masyarakat kontemporer dan dalam catatan sejarah budaya atau peradaban. Maka, kritik budaya massa adalah sebuah serangan oleh satu elemen dalam masyarakat melawan elemen lainnya: oleh yang berbudaya terhadap yang tidak berbudaya, yang terpelajar terhadap yang tidak terpelajar, yang canggih terhadap yang tidak canggih, yang lebih makmur terhadap yang kurang makmur, dan para ahli budaya terhadap kaum awam. Dalam setiap kasus, yang pertama mengkritik yang terakhir karena tidak menjalani standar mereka sendiri mengenai kehidupan yang baik.
Masa Depan Kritik Budaya Massa
Kritik budaya massa bersifat endemik pada masyarakat urban-industri, dan telah ada sejak kehidupan sehari-hari menjadi terbagi ke dalam periode bekerja dan waktu luang, terutama di antara orang-orang miskin. Dalam masyarakat modern, seperti yang ditunjukkan oleh Leo Lowenthal dan Marjorie Fiske, kritik ini berasal dari abad kedelapan belas dengan dimulainya kesusasteraan populer, pelopor dari media masa zaman sekarang, dan sementara itu terus menekankan budaya simbolik bahkan pada saat ini, dalam tulisan atau di layar, itu juga meluas kepada bidang lain dalam kehidupan. Sejak abad kesembilan belas, para kritikus telah khawatir mengenai perilaku bersantai secara umum, paling tidak di Amerika: pertama mengenai kepopuleran alkohol dan seks haram, dan kemudian mengenai kepasifan dari para penonton olah raga dan film atau menonton televisi, ketakutannya adalah dengan meningkatnya waktu luang, penggunaan budaya massa yang lebih intensif akan mengakibatkan kebosanan, ketidakpuasan, dan mungkin bahkan kekacauan sosial. Berkenaan dengan fasilitas bersantai, pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, kritik menekankan kepada efek yang diduga membahayakan dari ruang musik, kedai minum, dan rumah pelacuran; dari sekitar 1920-an sampai 1950-an, itu terfokus kepada bioskop, buku komik, radio, dan tontonan olah raga. Selama periode kemakmuran pada tahun 1950-an, kritik meluaskan keprihatinannya kepada konsumsi massa secara umum, dan kepada gaya hidup pinggir kota secara khusus, namun dalam tahun 1960-an itu menyempit kembali, sekarang memusat terutama pada efek negatif menonton televisi. Bagaimanapun, perubahan penekanan dari kritik tidak menggambarkan perubahan dalam kritik itu sendiri, melainkan, kritik memilih untuk menyerang apa pun yang kelihatannya paling populer, atau paling tidak, paling terlihat atau mengancam bagi mereka dalam perilaku di luar jam kerja dari kebanyakan orang Amerika.
Namun, sejak akhir tahun 1960-an, kritik telah mengalami dua perubahan arah yang substansial. Di satu pihak, beberapa dari para kritikus menghentikan serangan mereka terhadap budaya populer karena mereka mengidentifikasi sebuah musuh baru dan lebih besar, yang disebut budaya pemuda, yang mereka kritik karena radikalisme politik, hedonisme, mistisisme, dan nihilismenya. Perubahan target sebagian adalah respons dari serangan juru bicara budaya pemuda terhadap budaya tinggi, karena penganut aliran radikal seperti Herbert Marcuse berargumentasi bahwa budaya tinggi kadang-kadang menjadi pelayan dari kelas pemimpin yang opresif dan antirevolusioner seperti budaya massa, dan argumen Marcuse diulangi dengan sangat tidak sopan oleh rekan-rekannya yang lebih muda. Sedikit banyak, para kritikus budaya massa yang terdahulu menerima kebenaran dari kata-kata Marcuse, karena paling tidak beberapa orang sekarang mulai melihat ciri-ciri positif dalam konservatisme budaya massa, mungkin dengan harapan, mungkin secara tidak sadar, bahwa para pembela budaya massa akan bergabung dengan mereka untuk memerangi musuh bersama yang baru, seperti yang mereka lihat.
Perubahan arah lain bahkan lebih drastis, dikarenakan paling tidak oleh implikasi dari berakhirnya kritik budaya massa karena gagasan budaya tinggi telah diterima oleh dan dalam budaya populer. Maka, Nathan Glazer menulis bahwa:
Sampai tahun lima puluhan, perbedaan antara karya tinggi, karya tanggung, dan karya rendah adalah penting dalam mendiskusikan budaya Amerika. Semua itu sekarang sudah lenyap… karena gagasan karya tinggi… sekarang telah menguasai audiens lama dari karya tanggung.
Daniel Bell bahkan melangkah lebih jauh, berargumentasi bahwa konflik kelas yang lama di antara budaya tinggi dan budaya massa telah lenyap karena, untuk bagian yang signifikan dari populasi, pilihan-pilihan budaya tidak lagi ditentukan oleh kedudukan kelas:
Seni [yang dimaksudnya adalah seni budaya tinggi] telah menjadi semakin otonom, membuat seniman menjadi pencipta-selera yang berkuasa atas usahanya sendiri; “lokasi sosial” dari individu (kelas sosialnya atau posisi lainnya) tidak lagi menentukan gaya hidup dan nilai-nilainya…. Untuk mayoritas masyarakat… dalil umum ini masih dianggap benar. Tetapi semakin nyata bahwa untuk bagian yang signifikan dari populasi, hubungan posisi sosial terhadap gaya budaya, terutama apabila seseorang berpikir dalam dimensi bruto seperti kelas pekerja, kelas menengah dan kelas atas—tidak lagi berlaku.
Glazer dan Bell sangat benar pada waktu mengusulkan bahwa standar dan gagasan budaya tinggi telah menyebar lebih luas dalam masyarakat, dan telah menjadi lebih dapat diterima pula, paling tidak dalam kelas menengah-atas. Namun demikian, perbedaan di antara budaya tinggi dan budaya populer tidak menghilang; bahkan pandangan sepintas lalu pada jadual program televisi di malam hari atau di majalah mengindikasikan bahwa budaya populer masih sangat berbeda dengan budaya tinggi. Lebih jauh lagi, budaya pemuda tahun 1960-an sekarang sudah menurun, paling tidak dalam pandangan publik, dan tidak lagi dilihat sebagai ancaman bagi pendukung budaya tinggi seperti halnya hanya beberapa tahun yang lalu. Memang, banyak di antara budaya pemuda itu sekarang bergabung dalam budaya populer komersial. Rolling Stone telah menggantikan Beatles dan Elvis Presley sebagai idola penyanyi pop, namun sementara musik mereka dan tema budaya dan politik dalam lirik mereka berbeda dari para pendahulunya, mereka menarik bagi audiens para pemuda yang sama dan ditangani oleh perusahaan rekaman yang sama. Maka, sementara budaya pemuda tahun 1960-an menjadi bagian dari budaya populer dominan tahun 1970-an, perbedaan di antara budaya populer dan budaya tinggi sekali lagi menjadi melebar, sehingga menyediakan paling tidak bahan mentah untuk kebangkitan kembali kritik budaya massa.
Bagaimanapun, ada alasan yang lebih penting untuk mencurigai adanya kebangkitan kembali kritik. Sebenarnya, keberadaan kritik hanya sedikit berhubungan dengan perubahan dalam budaya tinggi dan populer daripada dengan posisi kaum intelektual dalam masyarakat, terutama kaum intelektual yang menjadi atau merasa dirinya sendiri bagian dari “Kemapanan”; dengan berjalannya waktu, kritik telah muncul ketika kaum intelektual telah kehilangan kekuasaan dan status yang menyertai kekuasaan, dan itu sebenarnya lenyap ketika kaum intelektual mendapatkan kekuasaan dan status. Maka, kritik mencapai puncaknya selama akhir tahun 1940-an dan tahun 1950-an, tidak begitu banyak disebabkan karena kenaikan kemakmuran pada periode itu dan ekspansi dramatis dari barang-barang konsumsi dan produk-produk budaya populer lainnya yang menyertainya, tetapi karena kemakmuran, status, dan kekuasaan kaum intelektual selama periode itu tidak meningkat pula, dan sebenarnya menurun sebagai hasil dari “apati budaya” di era Eisenhower dan serangan buas Senator Joseph McCarthy terhadap kaum intelektual sayap kiri dan liberal. Sebaliknya, kritik menurun sepanjang tahun 1960-an tidak hanya karena berkembangnya budaya pemuda, tetapi juga karena kaum intelektual mengalami kenaikan besar dalam pendapatan, kekuasaan, dan status selama era Kennedy dan Johnson.
Bagaimanapun, dua kecenderungan baru dalam masyarakat Amerika menunjukkan bahwa penuruan status intelektual lainnya sebentar lagi akan terjadi, dan diperkirakan bahwa kritik akan segera kembali ke posisi penting dalam agenda intelektual. Kecenderungan pertama adalah depresi akademis saat ini, yang menghantam universitas—di mana kebanyakan praktisi budaya tinggi sekarang berada—selama perang Vietnam, dan yang sekarang terus berlanjut sebagian karena penyusutan kelompok populasi usia-universitas, dan sebagian karena kebijakan ekonomi dan politik pemerintahan pusat. Tidak hanya para siswa, yang pada akhirnya, merupakan rekrut potensial bagi generasi selanjutnya dari budaya tinggi, kehilangan beasiswa mereka, tetapi Administrasi Nixon dengan sadar mencoba menurunkan pengaruh kaum intelektual liberal dan sayap kiri—dan para profesional lainnya—dalam kehidupan Amerika bahkan ketika itu meningkatkan subsidi publik untuk seni. Dan apabila kebijakan administrasi Nixon ini berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Ford, dan lebih-lebih lagi, mendapat dukungan populer di kelas menengah Amerika, kritik intelektual terhadap budaya populer kelas menengah Amerika mungkin akan bangkit kembali.
Sumber kedua dari ancaman potensial terhadap posisi kaum intelektual berasal dari kecenderungan politik yang sangat berbeda—kebangkitan kembali dari gagasan egaliter yang sedang terjadi di Amerika. Pendorongnya terutama berasal dari sumber-sumber nonintelektual: dari siswa, wanita, kulit hitam dan populasi lainnya yang tidak diperlakukan sama, dan dari ketidakpuasan yang meningkat dengan perbedaan ekonomi di antara kelas menengah Amerika yang harapannya akan standar hidup yang lebih tinggi telah dikecewakan oleh kombinasi resesi-inflasi yang dimulai pada akhir tahun 1960-an. Meskipun sementara intelektual mengambil peran dalam kebangkitan kembali ini, yang lainnya, terutama intelektual humanis, menentang ini, karena mereka melihat persamaan yang lebih merata sebagai sumber bahaya terhadap budaya tinggi. Pandangan mereka sama sekali tidak seluruhnya irasional, karena sepanjang kekuatan ekonomi budaya tinggi bergantung kepada orang-orang yang sangat kaya yang merupakan pelanggan dan pendukungnya, yang mensubsidi majalah, musium, konser, dan institusi lain yang menyebarkan budaya tinggi, kesetaraan ekonomi yang lebih baik akan mengurangi jumlahnya, atau paling tidak mengurangi jumlah uang yang harus mereka belanjakan pada dan untuk kepentingan budaya tinggi. Sebagai tambahan, sementara pendukung budaya tinggi takut bahwa persamaan yang lebih merata akan mengancam dasar dari kepemimpinan oleh orang-orang yang mampu di mana budaya tinggi itu dipilih, dan bahwa dasar-dasar lainnya, termasuk perekrutan wanita dan minoritas rasial dan etnik kepada institusi budaya tinggi, akan menipiskan kualitas budaya tinggi dan standar yang menjadi dasar penilaiannya.
Meskipun kedua ketakutan itu dapat dimengerti, kita percaya bahwa keduanya itu tidak berdasar, karena apa pun perubahan permintaan saat ini untuk persamaan yang terjadi di Amerika, para pengguna budaya tinggi memiliki gengsi dan kekuatan yang cukup untuk melindungi kepentingan mereka. Misalnya, bahkan apabila redistribusi pendapatan mengurangi daya pengeluaran orang yang sangat kaya, subsidi pemerintah dan lembaga untuk budaya tinggi akan mengencangkan kekendurannya; dan bahkan apabila kepemimpinan oleh orang-orang yang mampu yang berdasarkan credentialism (kepercayaan yang berlebihan kepada mandat dalam menentukan kebijakan) yang kini ada diubah sehingga para wanita dan anggota kelompok ras dan etnis minoritas disewa oleh institusi budaya tinggi, kepemimpinan oleh orang-orang yang mampu yang berdasarkan pada performa tidak perlu diganggu, dan kombinasi yang sama dari penilaian kritis dan penilaian audiens yang sekarang menentukan standar dan isi budaya tinggi akan bertahan. Meskipun demikian, ketakutan para pendukung budaya tinggi tidak mungkin dihilangkan, dan ketakutan ini dapat menyemangati mereka untuk menjadi kritis terhadap permintaan egalitarian, dan terhadap kelas menengah Amerika yang menciptakannya. Maka, dimungkinkan bahwa kritik budaya massa akan bangkit kembali untuk digunakan sebagai sebuah argumen melawan kecenderungan egalitarian.
Apa pun naik-turunnya kritik budaya massa di masa depan, buku ini tidak terlalu memperhatikan konflik di antara budaya tinggi dan populer namun lebih berusaha mengerti keduanya. Buku ini juga memperhatikan pertanyaan yang lebih mendasar mengenai peranan apa yang dimainkan oleh budaya tinggi maupun populer dalam masyarakat Amerika, sebagian untuk tiba pada kebijakan yang dapat menggantikan konflik budaya dengan kehidupan budaya secara berdampingan—atau pluralisme—dan akan mendukung kreatifitas yang lebih tinggi dalam semua budaya, tinggi dan populer. –herb