Perempuan sudah tidak hanya bekerja di dalam rumah. Perempuan juga mencari uang di luar rumah. Sebuah beban berat.
.
.
Surabayastory.com – Wanita bekerja bermula dari keinginan untuk setara dengan pria dalam berbagai kesempatan. Mereka menginginkan, tidak ada pembatasan dunia kerja bagi para wanita. Mereka yakin semua bentuk pekerjaan dapat dilakukannya. Mulai dari pekerjaan yang menuntut kekuatan otot, kecerdasan otak, kecerdasan emosi, dan juga kelembutan rasa. Oleh karena itu tidak heran jika saat ini, terdapat perempuan dalam berbagai sektor pekerjaan.
Tidak jarang diantara mereka harus bekerja sepanjang hari, pergi pagi hari sebelum anak-anak mereka bangun, dan pulang pada sore atau malam hari pada saat anak-anak mereka telah tidur. Bahkan tidak jarang diantara mereka harus meninggalkan rumah (keluarga) dalam waktu yang relatif lama, karena mendapat tugas di luar kota atau bahkan ke luar negeri
Di negeri kita banyak sekali nilai-nilai yang mendukung wanita bekerja. Selain itu gaji suami yang tidak mencukupi kini membuat semakin banyak istri yang terjun ke dunia kerja. Kini juga mulai muncul kesadaran bahwa bencana, kecelakaan, penyakit, dan PHK sewaktu-waktu bisa merenggut sumber nafkah suami, membuat banyak wanita memilih untuk bekerja.
Mary Perkins, 64, pendiri Specsavers, seorang wanita yang menjalankan bisnis keluarga bersama suami mengatakan: “Saya berpikir ada tekanan yang luarbiasa besarnya sekarang ini. Satu-satunya cara orang bisa mengelola rumah tangga adalah memiliki dua sumber penghasilan. Ini jelas sebuah tekanan berat. Itulah sebabnya sekarang orang merindukan memiliki waktu yang fleksibel.”
Kalau kebanyakan wanita harus bekerja, masalahnya sekarang siapkah wanita melakukan peran ganda mencari nafkah sekaligus mengurus pekerjaan rumah. Dan siapkah para pria berbagi peran dengan istri, dengan ikut terjun mengurusi pekerjaan rumah?
Wanita yang ingin sukses memang disarankan untuk tidak melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Seorang wanita karir, Steiner yang memiliki empat orang anak mengatakan hal itu. Ia mulai menikah sesudah menyelesaikan pendidikan dan ikut aktif dalam organisasi. Kata dia, “Saya tidak berusaha melakukan semuanya. Saya menyerahkan sebagian besar tugas rumah tangga untuk membuat kehidupanku terus berjalan.”
Memperhatikan anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, membelikan sesuatu yang kecil saja, bagi sang anak bisa memiliki makna yang dalam. Mengajak rekreasi bersama pada hari libur adalah cara yang lain. Selain itu, cara lain dalam menunjukkan perhatian adalah ikut membantunya dalam pekerjaan sekolah pada keluarga yang memiliki anak yang masih SD atau SMP.
Dalam keluarga menengah bawah persoalannya jadi lain. Ketika wanita memasuki dunia kerja muncul siapa yang akan menangani tugas-tugas rumah tangga karena mereka tak mampu membayar pembantu? Syukur-syukur kalau ada kakek/nenek atau anggota keluarga besar di rumah yang bisa mengambilalih tugas itu.
Tapi bagaimana kalau ternyata tidak ada satupun famili yang bisa diminta bantuan? Dalam hal ini seorang ayah harus menyadari bahwa tidak semua pekerjaan rumah ditimpakan kepada istri. Ia harus siap mengambilalih sebagian pekerjaan rumah tangga secara adil karena sang istri juga ikut mencari nafkah. Sebab kalau tidak ada pengertian dari suami, sang istri bisa stress dan merasa tak bahagia dengan rumah tangganya.
Namun kenyataan menunjukkan wanita yang bekerja tetap dituntut bertanggung jawab penuh pada mengurus rumah tangga serta pengasuhan anak, sehingga dengan menjalankan peran ganda, waktu dan tenaga sang istri terkuras untuk bekerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Gender Tradisional dan Modern
Berbagai penelitian di negeri kita menunjukan, peranan yang dilakukan ayah dalam pengasuhan anak tidak berbeda nyata antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Ayah pada ibu yang tidak bekerja dan ibu yang bekerja sering mengajak anaknya untuk bermain dan berjalan-jalan, tetapi dalam hal menyuapi, menyiapkan makanan, memandikan dan memakaikan pakaian, mengganti popok serta menidurkan anaknya seorang yang hanya kadang-kadang saja melakukannya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi seorang suami ikut berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga adalah pandangan peran gender yang dianut suami.
Menurut William & Best (1990), pandangan peran gender merupakan kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan saorang laki-Iaki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-Iaki atau perempuan, dan bagaimana keduanya berinteraksi.
Scanzoni (1981) membedakan pandangan peran gender menjadi dua bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern.
- Peran Gender Tradisional
Pandangan ini membagi tugas secara kaku berdasarkan jenis kelamin. Laki-Iaki
yang mempunyai pAndangan peran gender tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan, sedangkan istri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami adalah untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada di tangan suami. Perempuan secara tradisional tinggal di rumah, setelah menikah perempuan mencurahkan tenaga untuk suami dan keluarga.
- Peran Gender Modern
Dalam peran gender modern, tidak ada lagi pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin secara kaku. Kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-Iaki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumah tangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpAndangan modem, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami.
Kenyataan yang ada menunjukan pembagian peran itu tidak bersifat kaku. Banyak pria yang dapat menerima istrinya bekerja (peran gender modern) tapi enggan melaksanakan pekerjaan rumah tangga (peran gender tradisional).
Sebetulnya dibanding dengan wanita tidak bekerja, isteri yang bekerja berdasarkan penelitian Supriyatini (2002) mendapat bantuan dari suami dalam pekerjaan rutin rumah tangga. Menurut Nyquist et al (dalam Strong & De Vault, 1989), semakin tinggi nilai pekerjaan istri semakin banyak bantuan yang didapatkan dari suaminya. Strong & De Vault (1989) juga menambahkan bahwa bila isteri memiliki orientasi karir, maka suami akan lebih berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga, Pendapat di atas didukung oleh Dagun (1992) yang menyatakan bahwa isteri yang tidak bekerja memiliki suami yang kurang terlibat dalam kegiatan rumah tangga.
Hanya saja dalam berbagai penelitian, wanita yang bekerja tetap saja harus mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah yang ada. Sedangkan sang ayah meski sudah mau berbagi tugas, mereka hanya kadang-kadang saja melakukan pekerjaan rumah tangga. Tampaknya banyak ayah di negeri kita yang merasa sangat berat untuk terlibat dalam tugas-tugas rumah tangga. –drs
Terima kasih