Dalam kesempitan, kesulitan apapun akan menemukan jalan keluar. Dalam lalu lintas urban kota Surabaya, kita sudah akrab sekaligus mahfum dengan angkutan seperti ini.
Surabayastory.com – Lalu lintas dalam kota Surabaya memang sangat beragam. Dari kendaraan bermotor hingga kendaraan bertenaga ‘nasi bungkus’ alias tenaga manusia. Siapapun mahfum, di tengah kota yang gemerlap menyambut metropolitan, di sana terselip manusia-manusia yang ingin bertahan hidup atau meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan banyak cara, dengan banyak jalan.
Masyarakat urban dalam kota (urban community) yang berkembang dari hasil urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) telah menghasilkan banyak hal-hal baru yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Tentang alat, cara hidup, hingga kebiasaan.
Sebagaimana takdirnya, manusia adalah makhluk yang paling adaptif. Manusia senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dalam usahanya untuk tetap hidup dan bisa mengembangkan diri. Kota sebagai tempat tujuan merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan kebutuhan hidup. Masyarakat kota, umumnya mereka mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Pikirannya rasional dan pragmatis. Interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada ketulusan. Besarnya beban dan tuntutan kehidupan mengakibatkan kehidupan di kota berlangsung dengan cepat. Pembagian waktu sangat penting, dan semuanya berimplikasi ke rupiah.
Problem-problem baru muncul dan menjangkiti masyarakat urban. Selain problem sosiologis dan psikologis, seiring berjalannya waktu, urbanisasi juga melahirkan kepadatan penduduk, polusi, dan kemacetan. Selain itu alat dan jasa untuk memecahkan masalah ini tak banyak tersedia.
Di tengah keterbatasan-keterbatasan dan problema ini kemudian melahirkan peluang atau kesempatan. Masyarakat urban dengan ritme kehidupan yang tinggi, memaksa mereka untuk bekerja di sektor formal atau informal yang menghabiskan nyaris seluruh waktunya di luar rumah.
Modifikasi Sana-sini
Dengan berbagai tuntutan dan kebutuhan, melahirkan sebuah peluang, kesempatan, dan kreativitas. Di tengah keterbatasan fasilitas, di sanalah kesempatan lahir di tengah kesempitan untuk menjawab tantangan kehidupan. Akal digerakkan. Coba sana, coba sini juga dilakukan. Akhirnya lahirlah fasilitas baru yang tak semestinya tetapi bisa digunakan untuk memecahkan masalah.
Angkutan-angkutan dalam masyarakat urban pun kemudian tumbuh beragam. Mereka memutak otak untuk bisa mencapai tujuannya. Dalam sekali angkut bisa selesai. Sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Di kota Surabaya, pusat perdagangan barang dan jasa terbesar di Indonesia Timur, angkutan barang menjadi satu tantangan. Bagaimana bisa memindahkan barang, dengan berbagai ukuran dari satu tempat ke tempat lain. Di tangan masyarakat urban, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Angkutan barang yang melintasi jalan raya, dengan jarak jauh, sejatinya menggunakan kendaraan bermotor seperti truk atau pikup. Dua pilihan kendaraan ini tentu saja biayanya mahal. Bila membeli perlu modal lebih. Bagaimana mengatasi masalah ini? Dengan becak, semuanya bisa diatasi. Dengan akal sana-sini dan ujicoba kelas jalanan, modifikasi pun dilakukan. Hasilnya semua bisa diangkut.
Di Surabaya, becak yang telah dimodifikasi menjadi angkutan serba guna banyak kita jumpai. Mengangkut apa saja, ukuran berapa saja, yang penting bisa jalan. Trayeknya juga tak punya ukuran. Jauh, dekat, hingga jauh sekali lebih dari 20 kilometer tak jadi soal. Yang penting, tujuan tercapai.
Angkutan serba guna dengan barang dasar becak memang banyak membantu masyarakat. Begitu pula yang telah digandeng dengan sepeda motor alias bentor (becak motor). Secara aturan, becak sudah dilarang masuk ke ruas-ruas (tertentu) utama di Surabaya. Pertimbangannya karena perbedaan kecepatan yang bisa menjadi penyebab kemacetan. Juga rawan kecelakaan. Bentor juga mulai ditertibkan. Alasannya sama, keselamatan dan tidak punya landasan sebagai transportasi umum di jalanan kota.
Masyarakat urban lebih rasional dan pragmatis. Hanya untuk bertahan hidup, atau berusaha meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih nyaman. Dalam berbagai kesempitan, di sana akal manusia akan terus diperas untuk mencari jalan keluarnya. Faktor keselamatan ditempatkan di nomor kesekian. Yang penting tujuan bisa sampai, bisa terangkut, dan mendapat uang jasa untuk hidup.
Dengan beragamnya angkutan urban hasil modifikasi ini, sebaiknya perlu ada ketegasan dan aturan yang mengikat. Toleransi bisa dilakukan dengan hanya membolehkan angkutan semacam ini di lingkup tertentu seperti di jalanan kelas 3, di perumahan, perkampungan, atau kawasan terbatas. Bukan di jalan raya, jalan utama kota, atau jalan arteri yang bisa membahayakan pemakai jalan lainnya. –sa