Ada yang menarik sekaligus miris. Sebagai Kota Pahlawan, Surabaya masih saja menyerakkan tinggalan para pahlawan.
Surabayastory.com – Ada yang menarik ketika Anda akan putar balik dari Jl Kombes M Duryat arah Jl Basuki Rachmat. Di bagian jalan putar balik terakhir itu terdapat sebuah bangunan yang hanya menempel di atas aspal (tidak tertanam dan punya pondasi). Bangunan dengan tinggi sekitar tiga meter itu bentunya seperti pilar dengan bagian ujung atas yang lebih besar diameternya (tampak dalam foto utama). Di bagian “leher” bangunan diikat dengan tali webbing (tali penarik kendaraan berat), diikat pada pohon di tikungan itu agar tidak roboh. Agak aneh, benda apa ini, dengan tempat yang tak semestinya?
Bangunan ini memang tidak umum ditemui. Dari informasi yang didapatkan, konon bangunan ini adalah bagian dari radio rakyat yang memperdengarkan pidato Bung Tomo saat membakar semangat Arek-arek Suroboyo ini. Dari radio ini arek-arek Suroboyo mendengar pidato pembangkit semangat untuk mengusir sekutu yang kembali memasuki Surabaya.
Berarti ini bagian dari sejarah Surabaya? Bila informasi itu valid, maka bagian dari perjuangan 10 November 1945 itu tak boleh teronggok begitu saja. Di mana asal bangunan ini sebelumnya belum diketahui dengan pasti. Namun, sebagai bagian dari sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo sudah sepantasnya bila warga Surabaya menjaga dan melestarikannya.
Sementara yang terlihat, sudah beberapa bulan ini kondisinya memprihatinkan. Dengan posisi yang berdiri sekenanya di belakang pos polisi di ujung Jl Kombes M. Duryat, selain tak menempatkan bagian dari sejarah itu sebagaimana mestinya, juga sangat mengkhatirkan. Bisa saja bangunan ini tertabark oleh kendaraan yang sedang putar balik karena posisinya berada di badan jalan dan tak terlihat secara jelas. Ketika malam dan cahaya hanya temaram, situasi ini lebih membahayakan. Kemungkinan lain adalah apabila tiba-tiba bangunan ini roboh dan menimpa mengendara yang sedang putar balik. Kemungkinan ini besar karena hanya diikat dengan tali ke pohon.
Radio Pemberontakan
Bila ini adalah bangunan tempat rakyat Surabaya mendengarkan radio di masa perjuangan, pusat di mana radio itu mengudara juga membuat kita miris. Bangunan yang masuk cagar budaya itu telah rata dengan tanah. Meski sekarang coba dibangun kembali, tetapi jiwanya telah tak ada.
Pusat radio itu ada di Jl Mawar 10-12 Surabaya. Dari sini dilakukan siaran radio pemberontakan untuk mengobarkan semangat para pejuang dalam pertempuran Surabaya 1945. Ceritanya, setelah insiden perobekan bendera di Hotel Yamato, dan pertempuran pertama melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945 menelan banyak korban jiwa. Sukarno kemudian mengumumkannya adanya gencatan senjata. Karena RRI Surabaya terbakar hebat maka saluran komunikasi kepada rakyat dilakukan melalui Radio Pemberontakan ini.
Namun ketika gencatan senjata tak lagi berjalan, lagi-lagi Radio Pemberontakan ini yang punya peran. Ketika pertempuran hebat berkobar di seluruh kota Surabaya pada 10 November pagi, Bung Tomo menganjurkan semua pemuda Surabaya, di mana pun berada, segera kembali ke Surabaya, dan ikut bertempur hingga titik darah penghabisan. Kiai Mashoed menggunakan radio ini untuk menyerukan para kiai dan rakyat Indonesia menuju Surabaya. Bung Tomo tak henti-hentinya terus menyatukan semangat arek-arek Suroboyo melalui radio ini. Isi Radio Pemberontakan ini juga disorot media-media luar negeri.
Gagasan Membangun Radio di Surabaya
Radio Pemberontakan di Surabaya ini digagas setelah Bung Tomo kembali dari Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1945. Awalnya ingin mendirikan stasiun pemancar radio, yang dinamakannya Radio Pemberontakan, sebagai sarana membangun solidaritas perjuangan pemuda Surabaya.
Sebenarnya saat itu di Surabaya sudah ada radio, Radio Republik Indonesia (RRI) yang juga ada di beberapa kota besar di Indonesia. Namun isi siaran RRI kebanyakan siaran resmi pemerintah. RRI tak bisa menyiarkan aspirasi daerah. Bung Tomo melontarkan gagasan ini pada Presiden Sukarno dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin di Jakarta, dan disetujui.
Bung Tomo bergegas kembali ke Surabaya dan mulai mempersiapkan perangkatnya. Dimulai dari menuju RRI Surabaya di Jalan Simpang (sekarang Jl Pemuda) untuk minta izin sementara memakai pemancar Radio Surabaya. Saat siaran Bung Tomo menceritakan apa yang terjadi di Jakarta.
Setelah siaran perdana, pemuka Surabaya Doel Arnowo meminta Bung Tomo untuk segera membangun pemancar Radio Pemberontakan. Pesawat pemancar itu kemudian dikembangkan oleh teknisi radio dan anggota BPRI Hasan Basri, Ali Oerip, dan Soemadi. Pesawat pemancar bergelombang pendek ini bekas Jepang yang dimiliki Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hasil bantuan Beruntung, Menteri Pertahanan drg. Moestopo.
Setelah rampung perangkatnya, Radio Pemberontakan segera mengudara. Jadwal resminya mengudara setiap Rabu malam dan Minggu malam. Siarannya dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris. Miss Deventery yang kemudian dikenal dengan nama Bali Ktut Tantri, seorang Amerika yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, menjadi penyiar bahasa Inggris.
Setelah Radio Pemberontakan di Surabaya berdiri, hampir di semua kota yang ada RRI menyebarluaskan siaran Radio Pemberontakan.
Sebelum lokasi Radio Pemberontakan, rumah ini adalah asrama Nederland Indische Landbouws Maaschapij (NILM), perusahaan perkebunan Belanda. Kemudian rumah ini tak bisa dilepaskan dari sosok Bung Tomo, yang lekat dengan Perjuangan 10 November 1945.
Saat ini, suasana di sini sudah sama sekali berubah. Rumah asli sudah rata dengan tanah, meski telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 1998. Hanya sebuah plakat di dinding menjadi penandanya, bertuliskan: “Rumah Tinggal Pak Amin (1935). Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RPPRI) Bung Tomo. Di sini Ktut Tantri (warga negara Amerika) menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri Jl. Mawar 10-12 Surabaya.”
Kini, tak ada lagi ingar-bingar semangat perjuangan. Rumah tempat Radio Pemberontakan yang berperan besar dalam Pertempuran 10 November 1945, telah kehilangan jiwa dan raganya. –sa
sangat eman banget…. peninggalan otentik dari Perjuangan AREK SUROBOYO ….lenyap. Tidak ada yang melestarikannya