Masuknya listrik di Surabaya menarik untuk diikuti. Tapaknya masih jelas hingga saat ini. Beberapa bagian sejarahnya ada yang terputus, namun bisa dilihat secara samar.
Surabayastory.com – Menarik untuk menelusuri kembali jejak sejarah listrik di Surabaya. Dari catatan sejarah, tentang listrik di Surabaya dimulai ketika perusahaan gas Nederlands Indische Gas Maatschappij (NIGM) mendirikan ANIEM di Jakarta, 26 April 1909. Algemene Nederlandsche Indische Electrisch Maatscappij (ANIEM) adalah perusahaan swasta yang di beri hak untuk membangun dan mengelola sistem kelistrikan di Indonesia pada waktu itu.
Secara umum, di Hindia Belanda jaringan listrik dimulai pada tahun 1897. Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM atau Perusahaan Listrik Hindia Belanda), yang merupakan perusahaan yang berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Perusahaan ini berpusat di Amsterdam, Belanda. NIEM merupakan perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda.
Di Batavia (Jakarta), NIEM membangun PLTU di Gambir di tepi Sungai Ciliwung. PLTU berkekuatan 3200+3000+1350 kW tersebut merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Hindia Belanda dan memasok kebutuhan listrik di Batavia dan sekitarnya.
Di Surabaya, kala masa industrialisasi berkembang, listrik mulai mengubah kebiasaan hidup kota Surabaya. Dari dulu yang gelap gulita kala malam, menjadi terang. Suasana kota pun lebih semarak.
Sumber listrik ini juga menghidupkan trem listrik sebagai angkutan umum. Trem listrik menggantikan trem uap yang asapnya menghitam, membuat polusi udara, dan mengotori muka dan baju penumpangnya.
ANIEM adalah cikal bakal Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini. Seiring dengan waktu dan kebutuhan industry, ANIEM berkembang cepat. ANIEM kemudian menjadi perusahaan listrik swasta terbesar di Hindia Belanda dan menguasai distribusi sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik di negeri ini. Berkembang memang tak mengenal henti. Ekspansi pun dilakukan. Dengan dasar kebutuhan listrik, ANIEM masuk ke Banjarmasin, 26 Agustus 1921. Mendapat kontrak hingga 31 Desember 1960. Berikutnya tahun 1937, ANIEM sudah masuk ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan.
Dengan listrik diproduksi secara sendiri-sendiri di berbagai wilayah, maka laju perkembangan kelistriak di Hindia Belanda semakin cepat, efektif, dan terus meluas.
Kinerja yang baik dari ANIEM kemudian terhenti setelah masuknya Jepang ke Indonesia tahun 1942. Perusahaan listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang, dan dikendalikan oleh Djawa Denki Djigjo Kosja. Lembaga itu kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo. Djawa Denki Djigjo Sja dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat (Seibu Djawa Denki Djigjo Sja) berpusat di Jakarta, di Jawa Tengah (Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja) berpusat di Semarang, dan di Jawa Timur (Tobu Djawa Denki Djigjo Sja) di Surabaya.
Pengelolaan listrik oleh Djawa Denki Djigjo Sja tak berlangsung lama karena kemudian Jepang menyerah kepada Sekutu dan diikuti kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan, hingga terbentuk Djawatan Listrik dan Gas Bumi, 27 Oktober 1945. Kepala jawatan pertama dipegang oleh Ir. R. Soedoro Mangoenkoesoemo, yang ditetapkan pada 27 Oktober 1945. Peristiwa inilah yang kelak menjadikan 27 Oktober sebagai Hari Listrik Nasional.
Perjalanan kelistrikan di Surabaya sejalan dengan perkembangan yang ada di Hindia Belanda. Karena wilayah Surabaya termasuk wilayah utama yang menjadi perhatian ANIEM. Perkembangan listrik di Surabaya kemudian berjalan, berkembang seiring dengan kemajuan Indonesia pasca proklamasi, dan beberapa babak pembangunan.
Namun masih ada jejak sejarah yang tersisa. Beberapa tapak yang tersisa, selain gedung PLN, juga gardu-gardu listrik yang tersebar di seluruh penjuru kota Surabaya. Tak satu pun yang bisa difungsikan karena perkembangan teknologi sudah tak lagi bisa diikuti. Namun eksotisme arsitekturalnya, menjadi bagian dari lanskap kota Surabaya. –sa