Ini juga cerita yang belum banyak diungkap. Menjadi bagian dari sejarah peradaban dan penjuangan masyarakat Surabaya. Ini adalah cerita tentang asrama di Jalan Kamboja, di sekitar Jalan Ambengan, di tengah kota Surabaya. Dengan Balai Kota saat ini, jaraknya tak lebih dari 1 km.
Cerita asrama Kamboja ini dimulai dari adanya Perlindoengan Peladjar, sebuah tempat bagi siswa Indonesia yang bersekolah dan tidak punya tempat tinggal. Perlindoengan Peladjar didirikan tahun 1920 dipimpin oleh Dewan Kota Sudirman. Asrama ini di bawah kepemimpinan kehormatan Pangeran Mangkoenegoro VI, bupati Surabaya. Dalam perkembangannya kemudian berkembang menjadi semacam perkumpulan pelajar.
Di Surabaya sebelumnya sudah dikenal dengan asrama untuk anak laki-laki. Di saat asrama pria sedang rencana untuk membangun gedung baru, kumpulan lain Lingkaran Pedalaman juga menyatakan keinginan untuk menemukan tempat perlindungan yang sebanding untuk anak perempuan. Di tahun 1930, rumah sementara pertama ‘Perlindoengan Peladjar Pemoeda Istri’ (PPPI) dipindahkan ke alamat Irisstraat 5 (Jalan Iris di sekitar Jalan Kusumabangsa). Data ini diperkuat dengan tulisan di Surabajaasch Handelsblad. Bunyinya begini: “Asosiasi Perlindoengan Peladjar telah membuka rumah kos baru di Irisstraat, terutama untuk anak perempuan asli dari orang tua kaya yang belajar di Surabaya. Mereka terutama adalah putri pegawai negeri sipil.”
Kebutuhan akan asrama semacam itu terbukti besar. Dari fakta bahwa meskipun sekolah asrama belum buka selama seminggu, permintaan untuk masuk sudah begitu besar sehingga beberapa gadis harus ditolak karena kurangnya ruang. Hanya satu pengecualian telah dibuat, yaitu untuk seorang gadis yang datang jauh-jauh seperti dari Aceh untuk belajar di sekolah dokter gigi. Seperti lembaga baru lainnya, asrama ini juga saat ini menghadapi kesulitan keuangan besar. Lembaga saat ini memiliki delapan anak perempuan, yang bersekolah di tempat berbeda-beda, seperti Mulo, AMS, Sekolah Dokter Gigi, dan sebagainya. Para siswa ini membayar 30 gulden sebulan. Karena usianya sangat berbeda (dari 15 hingga 23 tahun), masing-masing dari mereka juga memiliki minat sendiri.
Asrama Pria
Cerita asrama dimulai dari tahun 1922. Asrama pertama dibuka di 28 Van den Boschlaan dan menampung 17 anak laki-laki. Tidak lama kemudian, alamat ini sudah ditukar dengan sebuah gedung di Juliana Boulevard (Jalan Cendana, sekarang jadi Jalan Kombes Pol M. Duryat). Empat tahun kemudian, di tahun 1926, rumah kedua dibuka, di Soeloeng 18. Rumah kedua ini, dengan 40 kamar. Rumah kedua ini terutama ditujukan untuk siswa yang hanya bisa membayar biaya sederhana 25 gulden/ bulan. Untuk orang elit Eropa, itu uang sedikit, tetapi bagi kebanyakan orang Indonesia itu sangat besar.
Tahun 1930 bangunan di Juliana Boulevard dinyatakan bobrok oleh kotamadya, sehingga anak-anak itu harus pindah ke tempat baru di Kedoenganjar (Kedung Anyar). Terlepas dari kenyataan bahwa hal itu ditetapkan oleh keputusan pemerintah bahwa rumah kos yang dikelola oleh Perlindoengan Peladjar (menampung 30 dan 36 anak laki-laki pada tahun 1928). Untuk memenuhi kebutuhan ditanggung oleh mereka yang menginap di sana, walaupun ada subsidi kecil dari pemerintah. Rencana untuk bangunan baru untuk menggantikan kedua rumah ditunda untuk sementara waktu karena kebutuhan biaya yang tinggi.
Asrama ini adalah jawaban dari masalah semakin banyaknya anak laki-laki Indonesia yang mampu bersekolah ke MULO atau HBS di Surabaya. Kemudian mereka juga mengambil pelatihan kejuruan (banyak yang mendaftar di Sekolah Seni India Timur Belanda), namun tidak ada tempat berlindung. Yang ada saat itu adalah kamar sewaan dengan kondisi yang buruk. Keadaan ini kemudian memanggil Perlindoengan Peladjar untuk membantu mereka, dengan kontribusi dari orang Indonesia yang kaya dan mungkin dibantu oleh pemerintah kota.
Asrama Para Gadis
Kembali ke asrama perempuan. Asrama perempuan ini kemudian mencuri perhatian. Di bulan April 1932, tempat ini dipandang sangat mewah di zamannya. Kemewahan bangunan baru ini pun sempat diperdebatkan di media. Ms B. Soepono melaporkan di Indische Courant: “Terkadang dikatakan bahwa rumah itu terlalu ‘mewah’ untuk gadis Indonesia kami. “Karena jika gadis itu memulai kehidupan nanti, dia tidak akan berada di lingkungan yang begitu indah. Rumah itu juga terlalu mahal untuk seorang gadis. Seorang gadis harus puas dengan rumah kos sederhana. ”
Namun ada pula yang mendebat. Dalam pikiran yang berbeda, di asrama yang bagus ini para perempuan Indonesia ini juga harus memiliki pendidikan rumah yang baik. Pendidikan praktis di luar sekolah ada di asrama ini.
Gadis-gadis kita juga harus belajar untuk tidak salah tempat di lingkungan yang mewah. Jika takdir membawanya ke lingkungan yang buruk, pendidikan yang ia nikmati di lingkungan yang mewah akan menghiasi dirinya sepanjang hidupnya. Karena kehidupan perempuan harus harmonis, melalui pengetahuan dan keterampilan, seorang gadis dapat berpikir lebih luas. Pemikiran yang lebih luas ini dapat membuat hidup lebih bahagia dan dapat lebih mudah beradaptasi dengan keadaan.
Betapapun mewahnya sekolah asrama itu, gadis-gadis yang ada di sana tetap sederhana dalam tindakan mereka, sehingga ketakutan akan menjadi manja dengan fasilitas mewah menjadi tidak berdasar.
Asrama di Surabaya, seperti sekarang, memiliki banyak alasan untuk eksis. Namun harus didukung oleh banyak orang dalam keberlangsungannya. Dengan sekolah asrama, tata karma dasar sejak di rumah dan sekolah akan terjaga. Ini karena sudah banyak orang tua sekarang yang tak lagi paham (atau tak punya waktu) untuk mengajari sopan-santun bangsa Timur sehari-hari. Mempersiapkan putra-putri dengan aturan dasar yang kuat.
Kembali ke dokumen yang disebutkan oleh Ms B. Soepono bahwa asrama ini terlalu besar untuk kelompok kecil gadis di Kembodjastraat (hanya ada delapan). Ia menyatakan dengan rumah yang lebih kecil dengan fasilitas yang lebih sederhana akan membuat biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa bisa lebih murah, sehingga orang tua asli yang kurang kaya juga bisa mengirim anak-anak mereka belajar di Surabaya.
Alasan lain adalah perbedaan sudut pandang. Dengan rumah besar yang menyerupai rumah keluarga Eropa, dianggap sebagai lingkungan yang relatif mewah untuk anak perempuan Indonesia.
Namun, dengan segala kritik yang datang, Asrama Kamboja tetap berjalan. Dari foto-foto yang tersimpan, terlihat hubungan yang akrab antara ibu asrama (Ms. Mangoenkoesoemo) dengan para perempuan di sana. Mereka belajar dan menjalankan hobi. Suasana tampak bahagia meskipun sekolah asrama terkenal sangat disiplin.
Sekolah asrama ini terus berjalan dengan baik hingga zaman Jepang datang. Dengan subsidi kecil dari dewan kota, kemudian eksistensi asrama guncang. Perkumpulan Perlindoengan Peladjar kemudian dimasukkan dalam ‘klub studi Indonesia’ yang didirikan pada tahun 1922 oleh Dr. Soetomo, dokter dan guru di sekolah kedokteran NIAS. Klub Studi tersebut kemudian diubah menjadi perkumpulan ‘Persatoean Bangsa Indonesia’ (PBI), yang pada gilirannya bergabung dengan organisasi pada tahun 1935 dengan perkumpulan nasionalis tertua Boedi Oetomo, yang ada sejak 1908, dan beberapa perkumpulan lain dengan nama ‘Partai IndonesiaRaya (Parindra).
Sekolah asrama yang sangat unggul itu perlahan meredup ketika Indonesia merdeka. Saat itu perlahan di setiap daerah dibuka sekolah untuk umum. Namun, sekolah asrama dan Asrama Kamboja telah menapakkan jejaknya dalam peradaban masyarakat Surabaya. –sa, dari berbagai sumber.