Ludruk Surabaya dirindukan sekaligus terpinggirkan. Bagaimana nasibnya 20 tahun lagi?
Surabayastory.com – Kesenian tradisional di kota besar bak buah mengkudu di atas meja. Di satu sisi diyakini bisa menjadi penyembuh, di sisi lain tak banyak yang suka meski kaya manfaat. Kesenian tradisional pun membiaskan ironi seperti ini. Siapapun akan marah dan meniupkan jiwa nasionalisme ketika kesenian tradisional dimainkan negara lain, namun ketika tertidur di negeri sendiri tak ada yang peduli.
Akhir-akhir ini, paling tidak dalam satu bulan terakhir ini, beberapa pementasan ludruk di gedung kesenian terselenggara. Bentuknya dalam beberapa versi; modern, milenial, campuran, serta beberapa varian yang lain. Penontonnya ramai, seluruh kursi penuh. Sangat berbeda dengan pementasan ludruk versi aslinya di tempat aslinya di gedung ‘ala kadarnya’. Pertanyaannya adalah: apakah ludruk memang masih digemari dan dicari? Atau cuma sekadar romantika dan latar selfie bagi anak muda milenial?
Kita mendengar, ludruk sering didengungkan sebagai kesenian daerah Surabaya/ Jawa Timur yang harus dilestarikan. Banyak usul, banyak wacana. Namun hingga sekarang tak pernah ada yang tuntas. Semua berjalan hanya setengah jalan, bahkan ada yang berhenti setelah pembukaan program saja. ‘Revitalisasi’ ludruk berjalan setengah hati.
Sejak 10 atau 20 tahun lalu, gerakan untuk mengaktifkan ludruk kembali sebagai kesenian khas daerah terjadi berulang kali. Mulai dari gedung asli di Pulo Wonokromo hingga kompleks THR. Namun semuanya perlahan luntur seperti warna stempel yang nempel di celana. Siapakah yang peduli sebenarnya?
Mengenal Ludruk
Di kota Surabaya, kita mengenal adanya ludruk Surabaya. Kalau tidak kenal, paling tidak pernah mendengar kesenian tersebut. Ludruk sebenarnya bukan lahir di Surabaya. Kesenian rakyat ini konon bermula dari Desa Ceweng, Kecamatan Gudo, Jombang. Sebagai teater rakyat, ludruk menceritakan tentang jagoan, kepahlawanan yang dibawakan dengan remo, tembang, dan banyolan. Di sana ada kisah satir, guyonan parikeno, serta mengubah kepahitan kenyataan hidup menjadi humor yang menghibur.
Di Surabaya, ludruk masih tetap bertahan walaupun tak semeriah 20 tahun lalu. Jumlah pengunjung yang biasanya menonton terus menurun. Penghasilan yang rendah membuat para pemain mencari pekerjaan lain seperti membuka warung, kerja serabutan, tenaga tata rias, dll.
Ludruk dengan pakem (urutan dan tema) yang sama sejak 50 tahun lalu, dinilai telah menggerus komunitas penonton. Para penggemar sejak puluhan tahun lalu kemudian bertambah tua dan tidak digantikan oleh generasi berikutnya. Generasi saat ini cenderung asing dengan bentuk dan komunitas ludruk yang ternyata berbeda dengan kondisi saat ini.
Perkembangan masyarakat saat ini, diakui atau tidak memang berpengaruh pada keberadaan kesenian ludruk. Di masa lalu, masyarakat memilih ludruk sebagai satu di antara hiburan di tengah kepenatan selepas bekerja sehari-hari. Ketika sore menjelang malam, tak ada yang mereka kerjakan, lalu menghibur diri dengan menonton ludruk. Hiburan lain belum ada. Akibatnya penonton selalu penuh, dan membentuk banyak komunitas pecinta ludruk.
Perkembangan zaman dengan munculnya banyak tempat hiburan dan rekreasi, tak direspon oleh ludruk dan komunitasnya. Tak ada pula tangan yang bisa menyambungkannya dengan perubahan zaman itu. Hasilnya bisa ditebak, jika tak mau berubah bisa punah. Adagium tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri pun berlaku.
Akhirnya, ludruk perlahan tinggal penyisakan komunitas penontonnya dulu yang tersisa. Tak ada perubahan signifikan, tak ada penambahan komunitas penonton baru yang besar. Para pemain juga terus menua tanpa regenerasi. Bagaimana orang muda bisa total bermain ludruk bila tak bisa menjadi sandaran hidup? Ludruk hidup segan mati tak mau. Ketika mati ditangisi, ketika masih hidup tak ada yang peduli.
Kebudayaan adalah Kehidupan
Tak ada yang perlu disalahkan. Karena sejatinya kesenian adalah bagian dari kehidupan kita. Jadi ludruk adalah tanggung jawab bersama masyarakat Surabaya, bagaimana menghadirkan ludruk sebagai tontonan sekaligus bagian dari ciri khas kota Surabaya.
Untuk mengadaptasi perubahan zaman, pementasan ludruk bisa saja tidak selengkap pertunjukan yang digelar di masa-masa lalu, namun paling tidak tetap memiliki pakem-pakem yang terus dipertahankan dalam setiap pertunjukannya. Pakem-pakem ini menjadi bagian penting pertunjukan seni ludruk agar tetap bisa menjaga alur serta hakikatnya sebagai kesenian rakyat.
Bagaimana dengan pemerintah? Tentu saja peran pemerintah sangat diperlukan untuk tetap melestarikan budaya khas Jawa Timur ini. Ludruk yang menjadi bagian dari kesenian rakyat dan kebudayaan tentu pemerintah punya tanggungjawab besar. Tak ada kebudayaan yang bisa bertahan dengan sendirinya. Berbeda dengan kesenian pop yang terus mengikuti zaman tanpa harus membawa hakikat kehidupan di setiap zaman.
Ludruk semakin terpinggirkan di kotanya sendiri. Seniman-seniman ludruk seperti Cak Markeso, Cak Kartolo, Cak Basman, Cak Kancil, dan Cak Sapari semakin dilupakan. Ludruk menjadi kesenian langka di tengah-tengah kota Surabaya yang dulu membuatnya besar dan melegenda.
Banyak upaya yang bisa dilakukan untuk membuat ludruk kembali lestari. Namun bila dilakukan dengan setengah hati, ludruk hanya bisa tinggal cerita yang ditangisi. –sa