Kompleks Balai Pemuda Surabaya beralih rupa. Dari kompleks yang identik dengan seni, budaya, dan pemuda, beralih menjadi pusat berkumpulnya masyarakat Surabaya. Bagaimana jatidiri dan konsepnya?
Surabayastory.com – Surabaya akan segera memiliki alun-alun di pusat kota. Berbeda dengan alun-alun di desa ataupun zaman kerajaan. Dahulu alun-alun diterjemahkan sebagai lapangan besar, berumput, dan di bagian tengah terdapat beberapa pohon besar penanda. Di sekeliling lapangan besar itu juga ditanami pohon-pohon peneduh.
Fungsi alun-alun pada awalnya adalah sebagai tempat berlatih perang prajurit kerajaan, tempat berkumpulnya warga untuk mendengar titah raja, atau menyambut perayaan hari besar.
Jika ditilik dari lokasinya, alun-alun sebenarnya adalah halaman luas yang berada di depan rumah raja, bupati, wedana atau para pembesar. Namun sekarang, alun-alun lebih merujuk pada tanah lapang di tengah kota atau depan balai kota. Alun-alun kota cenderung menjadi tempat berkumpulnya warga kota untuk rileks, bercengkerama, dan sekarang adalah lahan olah raga. Alun-alun menjadi ikon bagi setiap kota di Indonesia.
Dari segi fisiknya, alun-alun kota dari dulu hingga saat ini tidak banyak berubah. Sudah dikenal sejak zaman pra-kolonial, seiring waktu telah banyak mengalami perubahan konsep, struktur, dan filosofi. Karena itu fungsi alun-alun juga perlahan bergeser. Dari ruang yang bersifat semi-privat yang diliputi mitos dan mistis, menjadi ruang yang sangat terbuka, egaliter, dan multi-fungsi. Meskipun konsep bertemunya orang (warga kota), peran alun-alun sudah banyak tergantikan oleh mall dan plaza (dalam arti pusat perbelanjaan), alun-alun kota tetap menyimpan kebanggaan dan daya tarik.
Konsep Alun-alun Surabaya
Sementara alun-alun Surabaya yang direncanakan di Kompleks Balai Pemuda Surabaya lebih mirip sebuah plaza. Sebagai tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai arah kota untuk bersantai ataupun melakukan aktivitas bersama. Konsep ini ini banyak diterapkan pada pusat-pusat kota di wilayah Eropa. Sejak abad 12 pusat keramaian kota-kota di Eropa ada di plaza-plaza dalam arti ruang lapang dengan lantai batu andesit. Ada pula yang menamainya dengan square karena bentuknya persegi. Namun apakah itu plaza sejatinya? Mengulik dictionary.reference.com dapat diketahui bahwa: “Plaza as a noun means a public square or an open space in a city or town. It also defines as an area along an expressway where public facilities as service stations and rest rooms are available.”
Dari definisi ini dapat ditarik arti plaza adalah ruang publik berbentuk persegi di dalam kota. Plaza ini digambarkan sebagai area tempat lalu lalang warga dengan beberapa tempat beristirahat. Dilihat dari bentuk dan aktifitas yang terjadi, plaza cenderung sebagai lapangan (square) ketimbang jalur/jalan (the street) sebagai ruang publik.
Namun, kita di Indonesia, dengan semakin menyusutnya peran alun-alun kota, ditambah dengan maraknya pusat perbelanjaan yang memakai nama “plaza” membuat arti sebenarnya dari plaza dalam kota banyak tereduksi. Atau mungkin pula fungsi alun-alun ingin dipindahkan ke pusat perbelanjaan.
Kembali ke rencana alun-alun Surabaya. Bila ini disebut sebagai plaza dalam arti sebenarnya juga tak terlalu tepat. Lapangan yang ada luasannya terbatas. Juga tidak bisa diakses dengan jalan bebas kendaraan bermotor dari berbagai arah. Di perempatan Jl Gubernur Suryo-Jl Panglima Sudirman, Jl Pemuda-Jl Yos Sudarso, selalu padat dengan kendaraan bermotor. Arus lalu lintas seakan taka da putusnya. Dari fasilitas-fasilitas yang ada juga sangat berbeda dengan konsep plaza di Eropa atau square di Amerika.
Namun, bila ingin memperbanyak ruang publik, bolehlah. Apalagi bisa menjadi ikon baru kota Surabaya, serta bisa mengakrabkan interaksi warga kota yang selama ini banyak diwarnai dengan interaksi palsu lewat gawai.
Alun-alun kota Surabaya yang berpusat di tengah kota, dari informasi yang ada, akan menjadi kesatuan yang menghubungkan antara kompleks Balai Pemuda (alun-alun barat) dengan Jalan Yos Sudarso sisi timur. Basement baru tersebut, nantinya akan saling terhubung dengan basement lama. Luas basement baru yang mencapai 1000 meter persegi, rencananya terbagi menjadi dua lahan; 600 meter persegi untuk lahan basement baru, dan 400 meter persegi untuk jalur penghubung antara basement lama dan baru.
Alun-alun Surabaya itu rencananya dibangun dua lantai ke bawah. Lantai satu akan menjadi area penjualan makanan-makanan tradisional dan produk-produk khas Surabaya. Semacam UKM centre dan pusat oleh-oleh Surabaya. Di sini juga akan menjadi tempat berkumpul warga Surabaya. Di lantai itu, juga akan ada tempat untuk pertunjukan hiburan atau pentas seni, misalnya wayang orang, ludruk dan sebagainya. Di seberangnya, juga akan ada pentas pantomim dan nonton film.
Selain itu, desain plaza bawah tanah itu didesain dengan elegan dengan konsep pemuda, sehingga diharapkan akan menjadi ruang untuk para pemuda berekspresi dan melakukan pementasan budaya.
Lantai dua akan menjadi tempat parkir kendaraan. yang bisa menampung hingga 150 kendaraan roda empat. Kawasan itu akan dilengkapi tangga lebar dan eskalator. Juga area relaksasi dengan fasilitas duduk dengan pemandangan ke sisi Balai Kota.
Bila nanti basement Balai Pemuda menyambung hingga tembus ke timur ke Jalan Pemuda, akan menjadi kesatuan yang luas yang dinamakan Alun-Alun Surabaya. Proses pengerjaannya sudah semakin terlihat. Namun konsep dasar serta filosofinya sebagai ruang publik belum bisa dilihat secara nyata.
Bagaimana Alun-alun Surabaya akan menunjukkan jatidiri dan memantapkan karakternya? Sebagai ikon baru kota Surabaya atau hanya sebagai alternative ruang publik? Kita akan menunggu bersama walau kabarnya akan selesai dalam waktu lama, beberapa bulan lagi.
Alun-alun memiliki makna sakral dan profan, maka keberadaannya tidak lepas dengan sejumlah filosofi dan makna yang terkandung di dalamnya. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Surabaya punya potensi untuk mengembalikan pusat berkumpulnya warga di alun-alun kota. Metamorfosa alun-alun kota nyaris tak bisa dicegah, namun kerekatan masyarakat kota bisa punya daya untuk mengembalikannya. –sa