Menyambut HUT Republik Indonesia ke-73, Surabayastory.com akan menurunkan cerita-cerita tentang perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian segenap anak bangsa untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Bagian pertama ini akan menurunkan peristiwa yang dikisahkan oleh Roeslan Abdulgani, seorang negarawan dan mantan menteri luar negeri Indonesia yang kala itu terlibat langsung dalam pertempuran menuju kemerdekaan.
Surabayastory.com – Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta, terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Hari itu adalah hari Jumat Legi. Kota Surabaya mendengar berita proklamasi itu melalui radio Jepang, yang keserobot oleh pemuda-pemuda kita, pada hari Sabtu. Surat kabar Soeara Asia di Surabaya (satu-satunya surat kabar yang boleh terbit) baru memuat berita itu pada hari Senin tanggal 20 Agustus.
Hari minggu tanggal 22 Agustus diumumkan instruksi- instruksi dari Jakarta supaya segera daerah-daerah seluruh Indonesia mendirikan KNI, yaitu Komite Nasional Indonesia; BKR, yaitu Badan Keamanan Rakyat, dan satu “staatspartij”, yaitu PNI atau Partai Nasional Indonesia. Instruksi ke-3 yaitu tentang mendirikan satu partai politik yang kemudian dicabut.
Segera kota Surabaya, dengan dimotori oleh angkatan mudanya mulai bergerak. Hari Kamis tanggal 23 Agustus, Jawatan Listrik yang masih dikuasai Jepang kita paksa untuk menghentikan peraturan penggelapan waktu malam. Kota menjadi terang kembali, setelah beberapa tahun hidup dalam kegelapan. Hari Selasa tanggal 28 Agustus, Komite Nasional daerah Surabaya dibentuk, terdiri dari 32 orang anggota, dipimpin Cak Doel Arnowo sebagai ketua, Bambang Suparto dan Dwidjosewoyo SH sebagai Wakil I dan II. Di antara anggota-anggotanya yang kelak menduduki jabatan-jabatan penting dalam Pemerintahan Pusat antara lain dr Siwabessy (pernah Menteri Kesehatan), almarhum Ir Darmawan Mangunkusumo (Menteri Perekonomian dalam Kabinet Syahrir), Notohamiprodjo (pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan), dr Moh Suwandhi, Kastur, HM Tohir Bakri, H. Abdulkarim (pengusaha) dan lain-lain.
Atas desakan Angakatn Muda kemudian pada tanggal 3 September 1945, hari Senin Pak Sudirman memproklamasikan dibentuknya Pemerintah Republik Indonesia daerah Surabaya, lepas dari Pemerintah Jepang. Proklamasi berdirinya Pemerintah RI daerah Surabaya ini didahului gerakan “vlaggen-actie”, yaitu gerakan untuk di mana-mana hanya mengibarkan bendera merah putih saja, dan menurunkan bendera Jepang Hinomaru.
Bersamaan dengan berdirinya pemerintah daerah, maka BKR pun tersusun pula. Pimpinannya adalah di tangan Pak Sungkono, dr Mustopo, Pak Muhammad, Jonosewoyo dan lain-lain, sedangkan untuk Angkatan Lautnya pimpinan dipegang oleh Pak Atmadji.
Demikianlah maka kurang lebih 2,5 minggu setelah proklamasi kemerdekaan, Kota Surabaya mulai melengkapi dirinya dengan aparatur pemerintah daerah. Mulailah timbul cekcok dengan pihak Jepang, sebab militer Jepang telah mendapat instruksi dari pihak Sekutu, bahwa mereka harus tetap memegang kekuasaan dan senjatanya. Tidak memberikan kepada siapapun, kecuali Sekutu. Ini berarti bahwa Indonesia akan diperlakukan sebagai inventaris mati, yaitu dulu jajahan Belanda, kemudian jajahan Jepang, dan kini akan diserahkan kembali ke pemilik lama, yaitu Belanda melalui Sekutu. Sudah barang tentu kita tidak bisa menerima perlakukan demikian. Dan mumpung Sekutui belum dating, maka kita mulai mengorganisasi bentrokan kecil-kecilan dengan pihak Jepang. Umpama saja aksi penurunan bendera Jepang di kantor-kantor Jepang, dan menggantinya dengan bendera merah-putih tidak selalu berjalan lancar. Di beberapa kantor Jepang mengancam akan menembaki kita. Namun berkat ketabahan pemuda- pemuda kita dibantu dengan pegawai- pegawai muda di dalam kantor masing-masing yang tergabung dalam Panitia Angkatan Muda, maka hal ini dapat diselenggarakan. Terkecuali di Markas Besar Angkatan Darat Jepang, Markas Besar Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu, di Gedung Kenpetai dan lain-lain markas militer.
Pada masa aksi-aksi pengibaran bendera demikian, maka timbul suatu persoalan baru, yaitu bahwa kamp-kamp interniran orang Belanda yang berada di Gubeng, Darmo, Sawahan dan sebagainya mulai ditinggalkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda ini yang selama 3,5 tahun meringkuk dalam tempat tersebut sebagai kaum interniran, berlagak sebagai pemenang perang. Mereka menghubungi pihak Jepang, minta kembali rumah-rumahnya, took-toko, dan perusahaannya. Malahan juga minta senjata kepada pihak Jepang untuk dapat bisas memukul republik kita yang baru kita susun itu. Mereka merasa kuat, sewaktu ada kapal udara Belanda yang dating dari Balikpapan menyebarkan selebaran yang berisi supaya mereka siap-siap menerima kedatangan tentara Sekutu dan Belanda dalam waktu dekat. Surat selebaran itu dihias dengan bendera Belanda merah-putih-biru dengan gambar Ratu Wihelmina. Di-“mabuk”-kan oleh selebaran-selebaran inilah, maka sekelompok oprang Belanda Indo (peranakan) dan totok (asli), di bawah pimpinan Mr. Ploegman pada hari Rabu tanggal 19 September 1945 menaiki atap Hotel Oranye di Tunjungan, dan mengibarkan bendera Belanda. Secara demonstratif mereka kemudian berdiri di atas atap dan mengelilingi Hotel Oranye, dengan sikap menantang sambil bertingkah laku gagah-gagahan siap menjaga dan mempertahankan kibaran bendera mereka. Beberapa di antara mereka malahan mempunyai senjata Jepang.
Timbullah kemudian “insiden” di muka Hotel Oranye (sekarang bernama Hotel Majapahit). Puluhan pemuda dan rakyat kita menerobos lingkaran orang-orang Belanda tersebut, dan terjadilah perkelahian seru; banyak yang luka-luka, dan Mr. Ploegman sendiri mati karenanya. Bendera Belanda dapat diturunkan, dirobek bagian birunya, dan berkibarlah kemudian Sang Merah-Putih. Aksi ini dipimpin oleh saudara Koesnowibowo, Angkatan Muda Kantor Kotamadya Surabaya.
Dengan meninggalnya Mr Ploegman, rakyat kita mulai mencium bau darah. Kita menyadari bahwa mulai sekarang lawan kita adalah dua, yaitu militer Jepang dan orang-orang bekas interniran Belanda. Malahan terlihat gejala dan bukti bahwa lawan berdua saling bantu membantu, dalam arti kata senjata Jepang mulai diserahkan kepada orang-orang Belanda. Kita tidak ragu-ragu lagi. Keduanya harus kita kepung dan kita serang. Sasaran pertama adalah militer Jepang. Mulai terkenal ”si….aaaap” dari mulut ke mulut, sebagai tanda menyerang markas-markas Jepang dan tempat orang-orang Belanda mendirikan “kubu-kubu”-nya di daerah Ketabang, Gubeng, Darmo, Sawahan, dan sebagainya. Mobil-mobil Jepang kita rampasi; senjata- senjata dari serdadu dan opsirnya kita ambil; gudang-gudang Jepang kita serbu dan di mana-mana kita tempeli dengan slogan- slogan seperti: “milik RI”, “Up Republic” dan sebagainya.
Kota Surabaya mulai demam! Pertempuran kecil-kecilan mulai terjadi; senjata yang baru kita peroleh mulai kita gunakan. Lebih keras. Ketika Jepang bertahan, lebih gencar serangan kita. Pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945 dengan serentak kita mulai menyerang Gedung Kenpetai, Markas Beras Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu, Markas-Markas Angkatan Darat Jepang di Darmo, Gunungsari, Sawahan dan lain-lain lagi. Dalam pertempuran-pertempuran itu banyak sekali korban kedua belah pihak jatuh. Dan kita sejak saat itu dapat merebut beberapa tank Jepang. Pertempuran-pertempuran berlaku beberapa hari lamanya, dan menjalar juga ke Pulau Madura. Gudang mesiu di dekat Kamal dapat direbut oleh kita, setelah ledakan-ledakan berlaku selama empat jam mulai pukul 5 sore. Hal itu terjadi pada hari Jumat sore tanggal 5 Oktober 1945.
Penulisan sejarah kita oleh pihak Barat umumnya, khususnya oleh pihak Belanda, selalu menekankan bahwa dalam periode yang saya lukiskan di atas, Republik Indonesia tidak pernah bertempur dengan militer Jepang untuk memperoleh senjata Jepang. Dikatakan, bahwa Jepang bersekongkol dengan orang-orang Indonesia. Dengan sengaja dan tanpa perlawanan sama sekali Jepang menyerahkan begitu saja senjatanya kepada pihak Indonesia; malahan ada yang mengatakan bahwa Jepang dengan aktif mempersenjatai BKR dan pemuda-pemuda kita. Semua Republik Indonesia itu adalah “Japanese made”, dan bahwa nasionalisme dan patriotism Indonesia itu baru terbangun oleh hasutan-hasutan Jepang!
Kejadian-kejadian di Kota Surabaya di atas adalah pengkalan sejarah yang jelas terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. Malahan pihak Jepang sendiri mengakui, bahwa rakyat Indonesia di kota Surabaya pada hari-hari itu diliputi oleh suatu kondisi yang revolusioner.
Dengarkan apa yang dikatakan oleh Admiral Shibata, komandan Angkatan Laut Jepang di Surabaya, pada waktu beliau ditawan dan diinterogasi oleh tentara Sekutu di Singapura pada tanggal 6 Agustus 1946. Saya menemukan dokumennya ini di Amsterdam dan London. Di situ Admiral Shibata antara lain berkata, bahwa “by the 1st of October 1945 the Surabaya populace had alrady turned riotous, and they were kidnapping Japanese, and robbing them of their arms and motorcars….” Artinya bahwa rakyat Surabaya pada waktu itu sudah menjadi pemberontak semua, dan mereka semua menculik anggota- anggota tentara Jepang, merampok sendaja dan mobil-mobilnya. Shibata juga mengatakan bahwa pangkalan udara di pelabuhan serta pangkalan marine Surabaya telah diserbu dan diduduki oleh rakyat; Embong Wungu telah putus hubungannya dengan luar. Kata Shibata, bahwa pada tanggal 2 Oktober 1945 sekitar pukul 10 pagi Markas Besar Embong Wungu “was surrounded by riotors, 700 in number, armed with a tank, heavy machine guns, spears and swords. They demanded the surrender of our arms.” Artinya bahwa sekitar pukul 10 pagi Embong Wungu telah dikepung oleh 700 rakyat bersenjatakan tank, senapan-senapan mesin berat, bambu runcing dan pedang. Mereka menuntut supaya kita menyerahkan senjata kita….”The trend of the state of affairs present a regular revolusionary situation!” Situasi berubah cepat, menjadi revolusioner. Demikian Shibata mengakhiri keterangannya.
- Sumber: Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia – Dr. H. Roeslan Abdulgani