Cerita akhir November 1945 dan peristiwa-peristiwa setelahnya menjadi rangkaian dalam sejarah pertempuran arek-arek Suroboyo untuk Indonesia.

 

Media internasional memberitakan dengan kuat tentang pertempuran arek-arek Suroboyo November 1945. (ist)

 

Surabayastory.com – Dalam bagian akhir ini ingin saya kemukakan beberapa peristiwa. Yaitu adanya pergantian kabinet di tingkat-tingkat pusat pada tanggal 14 November. Di tengah-tengah hebatnya pertempuran-pertempuran Surabaya, Kabinet Presidensiil diganti oleh Kabinet Kabinet “Perlementer” Sjahrir. Sebagai Menteri Perekonomian baru ditunjuk Ir Darmawan Mangunkusumo, mentor Angkatan Muda di Surabaya.

Pada tanggal 21 November pagi-pagi, jadi pada hari kesebelas pertempuran, tentara Inggris belum dapat menerobos pertahanan kita di Aloon-aloon Contong. Pimpinan tentara Inggris dari pelabuhan Tanjung Perak menyampaikan pesan radio kepada saya, bahwa akan dijatuhkan oleh kapal suatu “important and urgent” , suatu pesan penting dan urgen mengenai Meneteri Perekonomian baru, yaitu Ir Darmawan Mangunkusumo. Ini mungkin terjadi sekitar pukul 11.00 siang.

Memang dijatuhkan oleh sebuah pesawat terbang Inggris suatu gelondongan aluminium dengan parasut kecil, berisi surat bahwa atas permintaan PM Sjahrir supaya Ir Darmawan dapat segera berangkat ke Jakarta, melalui daerah pendudukan Inggris di Utara Surabaya. Pesan dalam gelondongan aluminium itu jatuh sekitar Gedung Bank Rakyat di dekat kampung Karang Bulak dan Keputrenan. Ini sesuai petunjuk pihak Inggris. Saya mengikuti gelondongan aluminium yang jatuh degan parasut ke bawah itu dengan membonceng di belakang sepeda motor ipar saya, Mulyanto dari BKR-Laut.

Setelah itu saya baca, dan membicarakan dengan Pak Sungkono dan Ir Darmawan, maka kita dengan tegas menolak tawaran ini. Sebab akan diadakan suatu “fire-free-zone” di sekitar Baliwerti, yaitu zone bebas tembak-menembak untuk mengantarkan Ir Darmawan dari daerah kekuasaan kita ke daerah yang diduduki Inggris. Apalagi yang bersangkutan yaitu Ir Darmawan sendiri menolak dengan tegas. Beliau berkata kepada Pak Sungkono dan saya, bahwa Inggris menganggap kita gila apa? Beliau pun tidak mengerti sikap Pusat. Beliau memang akan ke Jakarta, tapi tidak sudi dibantu Inggris.

Saya kenal wataknya Om D. Begitulah panggilan akrabnya Ir Darmawan Mangunkusumo. Watak keras, seperti watak kakaknya, yaitu Dr Tjipto Mangunkusumo, yang tidak mau kompromis dengan kolonialisme Hindia-Belanda dan fasisme Jepang. Ir Darmawan pernah beberapa minggu mendekam dalam Gedng Kempeitai Surabaya.

Esok harinya keluarga Ir Darmawan, terdiri dari isteri dan bayinya, bernama Vidya (umur sebulan dan kemudian menjadi dokter mata di RS Aini Jakarta) kita antarkan ke Jombang, dikawal oleh beberapa anggota TRIP.

Tiga mobil, yang mengantarkan keluarga Om D, mengalami pemberondongan mitralyur dari kapal udara Inggris, di dekat Jembatan Wonokromo dan Gunungsari. Untung sekali tidak ada yang kena. Sekalipun berondongan peluru mitralyur itu mengenai aspal jalan sejauh 3 meter dari iring-iringan mobil kita.

Setelah keluarga Om D kita berangkatkan dengan kereta api dari Jombang ke Jakarta, maka saya dan para pengawal TRIP sore itu kembali ke Surabaya, menggabung kembali dengan markasnya Pak Sungkono, yang sudah mundur sampai di Gedung muka Kebun Binatang, yang kemudian menjadi Museum Mpu Tantular. Saya juga mengunjungi markasnya PRI di Pacar Keling dan markasnya TRIP di Jl Sumatera dan Jl Darmo 49.

Berhari-hari dan bermalam-malam Inggris memuntahkan dentuman meriam ke Surabaya Selatan. Sebab kita telah memasuki minggu ketiga pembelaan heroik kota Surabaya. Yaitu antara tanggal 25 November sampai awal Desember.

Akhir November 1945 kita mengambil putusan meninggalkan Wonokromo. Masih ada kejadian lucu. Yaitu BKR dan PRI Dinoyo Tangsi, yang menjaga Kebun Binatang minta instruksi kepada kita diapakan binatang-binatang  dalam Kebun Binatang itu. Pak Sungkono negok kepada saya dan isyarat bagaimana enaknya.

Tanpa ragu-ragu saya jawab, “Lepaskan binatang-binatang yang buas itu. Arahkan ke tentara Inggris!” Suatu perintah yang naïf-emosional, akrena teringat bahwa pernah direktur sekolah saya di zaman Belanda yaitu Dr A.. Zijp dari HBS Ketabang pada tahun 1933 mengejek saya, “Kamu mau merdeka? Mengatur Kebun Binatang saja, dengan segala pengetahuan macam-macam makanan yang diperlukan oleh masing-masing binatang, tidak kamu ketahui dan kuasai. Jangan pun mengatur negara dan pemerintahan, mengatur kebun binatang saja, masih harus orang Belanda.” Demikian ejekan, yang masih mendenging di telinga saya.

Saya jengkel atas ejekan dulu itu. Dan kini tengah malam di Gedung Mpu Tantular keluarlah lampiasan kejengkelan itu. Saya tidak tahu apakah “perintah konyol” itu dilaksanakan atau tidak. Anehnya, pada tahun 1973, sewaktu saya diajak Jenderal Rakhmat Kartakusuma, Sekjen Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (wanhankamnas) berkunjung ke Irian Jaya (Papua), di sana anak BKR dulu itu, sudah menjadi Letkol. Dan dialah di hadapan saya dan Jenderal Rakhmat Kartakusuma melaporkan bahwa perintah “untuk melepaskan semua binatang buas dari Kebun Binatang Wonokromo pada akhir November 1945 sudah dilaksanakan. Hanya beruang-beruang yang tidak mau keluar…” Jenderal Rakhmat Kartakusuma tidak mengerti persoalannya. Dan saya hanya gelng-geleng kepala saja. Apakah arek Surabaya dari Dinoyo Tangsi ini ngeledek atau omong benar. Maklum orang Surabaya kadang-kadang kalau ngomong sak enaknya saja! Penuh ledekan, ceplas-ceplos, tapi hatinya baik.

 

Para pejuang dan arek-arek Suroboyo bertempur tanpa kenal lelah dan takut. (ist)

 

Dalam waktu itu Gunungsari dipertahankan mati-matian oleh TRIP dan BKR. Banyak yang gugur di antara tentara pelajar kita. Terciptalah pada waktu itu nyanyian dengan syair kata-kata sebagai berikut:

 

Gunungsari

Kawanku semua

Tengoklah di medan laga

Darah kawanmu mengalir dan membasahi

Gunungsari, Gunungsari

Tampak kenangan suci

Kita siap, kita sedia

Membalas menuntut bela!

 

Nyanyian TRIP lainnya, yang sangat mengharukan dan yang kita nyanyikan bersama penuh khidmat, apabila kita memakamkan teman TRIP yang gugur adalah “Temanku Pahlawan”. Syair itu berbunyi:

Teringatku kana padamu Pahlawan Indonesia

Waktu kau hendak kembali ke alam yang baka

Terbayang roman mukamu yang suci dan berseri

Saat tiba kau menghadap ke hadirat Ilahi

 

Dengan tulus dan ikhlas kau korbankan jiwamu

Kau basahi bumi dengan darah ksatriamu

 

Tak akan lenyap jasamu daripada ingatan

Perjuangan kuteruskan sampai ke akhir zaman!

 

Lagu dan syair ini diciptakan oleh dua anggota TRIP, yaitu Suwandi dan Abussaleh, dengan nada Largo di Molto. Sedangkan lagu dan syair Gunungsari adalah ciptaan Abussaleh sendiri dengan nada Maestoso.

Kata-kata terakhir dari kedua syair itu,”Membelas dan menuntut bela” serta perjuangan kuteruskan sampai akhir zaman” merupakan pesan arwah pahlawan-pahlawan Surabaya kepada kita semua.

Sejak itu, maka markas pertahanan kita bertahan di luar kota Surabaya. Dan mengepung tentara Inggris dari Driyorejo, Kebrahen, Sepanjang sebelah barat; dari Sidoarjo dan waru di sebelah Selatan, dan dari Gresik di sebelah Utara.

Semua itu dilakukan dengan penuh ketabahan, keberanian dan kepahlawanan. Semua itu adalah gemanya Hari Pahlawan 10 November 1945.

Berbahagialah Kota Surabaya yang menyumbangkan kepada Indonesia Merdeka suatu hari, yang diberi nama “Hari Pahlawan”. Tanpa keberanian dan pengorbanan rakyat Surabaya maka pengakuan Indonesia Merdeka oleh dunia internasional tidak akan lekas tercapai.

Semoga korban rakyat Indonesia itu jangan dilupakan.

Dan semoga generasi sekarang pandai mengambil pelajaran dari sejarah rakyatnya sendiri! Tanpa jiwa kerakyatan tak mungkin Indonesia Merdeka disempurnakan!

—  Cak Roeslan Abdulgani, pelaku sejarah

(dicuplik dari buku Seratus Hari di Surabaya)

 

Bercerita berarti penyampaian cerita dengan cara bertutur. Yang membedakan adalah metode penyampaiannya.

Leave a Reply

  • (not be published)